17 Februari 2008

Merayakan Kehidupan

Refleksi pada Ibadah Pemakaman almarhumah Ny. Barnece Sonda Samben
Seriti, 16 Februari 2008

Salam sejahtera.

Pada kesempatan ini saya sampaikan dua pokok refleksi singkat.

A. Pertama, Catatan dari Sejarah Seko.

Saya sedang merampungkan naskah sejarah masyarakat Seko. Mudah-mudahan terbit secepatnya. Saya juga berharap ada kawan-kawan yang meneliti dan menulis sejarah masyarakat Ranteballa/Pantilang, Rongkong, Maleku/Mangkutana, Kalumpang, Tana Toraja, Mamasa/PUS, Bugis Soppeng, Bugis Makassar, dan lain-lain masyarakat Kristen, yang menderita pada masa Gerombolan DI/TII. Khusus sejarah Ranteballa/Pantilang saya sudah bicara dengan Pdt. J.R. Pasolon, dosen sejarah Gereja STAKN Toraja. Mudah-mudahan pada waktunya dapat diterbitkan supaya anak cucu kita tahu sejarah masyarakat kita, khususnya periode tahun 1950-an - 1960-an masa penghambatan gereja oleh Gerombolan DI/TII.

Ada 3 kesimpulan yang saya ingin sampaikan dari sejarah masyarakat Seko. Pertama terkait dengan pengungsian. Orang Seko memilih mengungsi karena mempertahankan imannya kepada Tuhan Yesus Kristus menentang pemaksaan dan kelaliman Gerombolan DI/TII. Adanya masyarakat Seko di Seriti ini terkait dengan pengungsian karena iman itu.

Yang kedua, iman Kristen masyarakat Seko bukanlah pilihan gampang, melainkan dipertahankan dengan korban nyawa. Saya mendata para korban yang terbunuh masa Gerombolan DI/TII. Angka sementara 96 orang martir Kristen Seko, dan kemungkinan akan bertambah lagi setelah korban-korban diungkapkan.

Kesimpulan ke-3 mengenai pendidikan masyarakat Seko. Sekolah yang pertama dibuka di Kariango (kampung Pdt. Yahya Boong) pada tahun 1923. Kemudian di Pohoneang, di Beroppa’ dan lain-lain. Yang mencolok dalam hal pendidikan ini adalah gairah anak-anak Seko untuk bersekolah. Bahkan setelah tamat di Seko banyak yang melanjutkan di luar Seko: Masamba, Rongkong, Rantepao, Ma’kale, Palopo. Dan umumnya mereka yang menyelesaikan pendidikannya pulang ke Seko menjadi guru. Tidak terlalu lama mereka sekolah, hanya beberapa tahun, tetapi mereka menjadi guru yang benar guru: pengetahuan mereka mantap dan sikap mereka matang, serta komitmen mereka untuk pulang memajukan masyarakat Seko sangat tinggi. Mereka serius belajar dan rela menderita dalam perjuangan. Bagaimana anak-anak Seko berjuang dalam penderitaan bisa ditelusuri dari hidup menumpang ma’baso’-baso’ di rumah orang sampai hidup dalam “gubuk derita”. Berbeda dengan kenyataan dewasa ini, banyak orang berpendidikan tinggi dan dengan gampang mendapat gelar kesarjanaan yang isinya kosong. Karena itu jangan terkecoh dengan gelar-gelar kesarjaaan. Gelar bisa dibeli. Kalau orang suka pamer gelar kesarjaaannya, periksa apa memang ada isi di balik gelar itu; apakah apa yang dikemukakannya bermakna, dan apakah kata-katanya terbukti dalam tindakan dan komitmennya.

Salah satu temuan saya dalam sejarah masyarakat Seko mengenai pendidikan dan para guru ini adalah adanya beberapa guru yang bersekolah pada tahun-tahun awal kemerdekaan tidak pulang mengabdi di Seko. Bukan karena tidak mau melainkan karena kenyataan pendudukan gerombolan dan pengungsian. Saya mencatat secara khusus empat orang guru yang “hilang” di rantau; semuanya kebetulan keluarga saya: Kamandi, Tuttung, dan 2 dari 3 Guru Sa’bi – Frans dan Philipus Sa’bi. Hanya Pither Guripang Sa’bi yang sempat pulang. Mereka yang tidak pulang itu jadinya menikah dengan “orang luar” di rantau. Namun sekali pun tidak pulang, mereka tetap berkomitmen melayani dalam dunia pendidikan sebagai guru dan mengangkat nama orang Seko di rantau. Begitulah maka Om Kamandi menikah dengan Tante almarhumah.

B. Merayakan Kehidupan

Sampai di sini saya masuk pada pokok refleksi yang kedua: merayakan kehidupan. Belakangan ini mulai dikembangkan pendekatan baru kedukaan orang Kristen. Bukan lagi kesedihan dan penghiburan, melainkan ucapan syukur merayakan kehidupan. Intinya adalah mengucap syukur atas kasih dan kemurahan Tuhan memberi alamarhum/ah kehidupan dan menuntunnya menjalani kehidupan yang bermakna. Kita bisa bertanya apakah ada yang sungguh-sungguh patut kita syukuri atas kehidupan almarhumah Tante Mama Yako’? Pasti banyak hal; tetapi saya ingin menekankan 2 hal saja. Pertama-tama mendampingi Om Kamandi sehingga Om dapat menjalankan panggilannya baik sebagai guru maupun sebagai tokoh gereja dan tokoh masyarakat. Dalam hubungan itu dan yang bagi saya sangat penting adalah menjadi Ibu bagi anak-anaknya, adik-adik saya para Samben yunior ini. Sering orang mengatakan kesimpulan yang keliru bahwa kalau anak-anak lao sala, ibunya yang dipersalahkan; tetapi kalau anak-anak sukses bapaknya yang dipuji-puji. Yang saya mau katakan adalah fakta keberhasilan adik-adik saya para Samben muda ini: tidak saja rata-rata menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi, tetapi juga dalam karir masing-masing – dengan kelebihan dan kekurangan – mereka diterima, dihargai, diakui mutu pemikiran dan ketrampilan kerja serta pelayanan di dalam gereja dan masyarakat. Dan inilah satu pokok penting yang harus disyukuri atas hidup alamarhumah Tante, yang bersama-sama dengan Om, sukses mendidik dan menyekolahkan anak-anak dan mengantar mereka menjadi Samben-Samben muda yang membuat nama Samben tidak sekadar nama biasa, melainkan suatu nama yang bergema, yang memuat makna tertentu, makna keberhasilan, makna sumber daya manusia yang diandalkan. Dalam percakapan sambil lalu dengan beberapa keluarga saya kemukakan bahwa alamarhuman Tante adalah seorang torampe yang sungguh istimewa karena kesuksesannya melalui anak-anaknya; pada hal Tante almarhumah hanyalah ibu rumah tangga biasa. Alamarhumah patut menjadi teldan kita semua.

Saya tidak membesar-besarkan keluarga saya ini. Tetapi itulah faktanya dan itulah yang kita harus syukuri, kita rayakan. Kenyataan membawa suatu nama besar memang bisa menjadi beban bagi anak-anak dan cucu, para Samben muda. Tetapi kita meletakannya dalam perspektif iman bahwa Tuhan yang memberi Tuhan pula yang memampukan mereka membawa dan mempertanggungjawabkan nama besar itu. Dalam hubungan itu refleksi ini saya akhiri dengan mengutip satu ayat lain, ayat 7 dari Yesaya 26:

Jejak orang benar adalah lurus,
sebab Engkau yang merintis jalan lurus baginya.


Zakaria Ngelow

Tidak ada komentar: