09 Maret 2018

Daftar Martir Kristen Seko


Seko, Negeri Para Martir Kristen
Daftar Martir Kristen Seko
Zakaria J. Ngelow

Dalam khotbah di Gereja Toraja, Jemaat Eno, Seko Padang, pada Hari Minggu Prapaskah III, 4 Maret 2018, saya menyebut Kekristenan di Seko sebagai “Kekristenan di Negeri Para Martir”. Sebagaimana dicatat dalam buku Masyarakat Seko Pada Masa DI/TII (1951-1965), lebih seratus orang Seko dibunuh pada masa pendudukan DI/TII, termasuk Ds. Pieter Sangka-Palisungan, Pendeta Gereja Toraja Resort Rongkong dan Seko, pada bulan Oktober 1953 bersama beberapa martir lainnya di daerah Malangke (kini bagian Kab. Luwu Utara).
Di antara para martir Seko dapat dicatat waktu, tempat dan nama-nama mereka di bawah ini. Kebanyakan mereka hanya dikenal nama kecilnya, tidak diperoleh nama baptis. Masa itu juga belum banyak orang Seko yang memakai nama keluarga.
Dua yang pertama. Pembunuhan pertama pada bulan Februari 1953 atas dua orang Beroppa di Rongkong (kampung Limbong?), yaitu:
1. Kele (Ambe’ Kondong) dan
2. Sassi’ (suami Indo’ Ritte’).

Korban-korban berikutnya setelah itu adalah,
3.    Bangkung, seorang remaja, yang ditembak pada bulan September di Kasimpo, dekat Beroppa, karena ikut kelompok yang melarikan diri.
4.    Sayang, seorang pemuda bernama asal Seko Tengah, dibunuh dan dikubur di jembatan Longa pada bulan September 1953.

Antara tahun 1953-1954 beberapa orang beriman lainnya dibunuh gerombolan DI/TII di Seko Tengah, yaitu:

5.    Emor Pangemanan (guru asal Minahasa, kakek Pdt Wilson Budiawan Pangemanan), mayatnya digantung di jembatan Sae (dekat Amballong), dan
6.    Pepa' (kakek Pdt Topan Pepa), bersama
7.    Ruung (seorang perempuan, ikut Seinendan pada zaman Jepang). Pepa’ dan Ruung berusaha menolong sejumlah perempuan yang suaminya sudah mengungsi, untuk melarikan diri ke tempat pengungsian suami mereka.
8.    Sambeang Kalambo, putra sulung Tomokaka (Kepala Adat) Beroppa', juga dibunuh di Longa, dengan diseret kuda.

Delapan martir di Pohoneang. Pada hari Minggu, tanggal 27 September 1953 gerombolan DI/TII menghukum mati dengan memancung delapan orang pemuda Seko di Pohoneang (Seko Tengah), yang ditangkap karena berusaha meninggalkan Seko ketika dipaksa masuk Islam. Mereka dipancung disaksikan masyarakat Seko dari berbagai kampung, yang dipaksa gerombolan DI/TII datang menyaksikan eksekusi itu. Diperoleh informasi bahwa keluarga para korban dengan dukungan Gereja Toraja Klasis Seko Embonatana telah mendirikan suatu monumen di Pohoneang untuk kedelapan martir itu. Mereka adalah:

1. Ello’,
2. Koti.
3. Panunda,
4. Saleno’,
5. Tehong,
6. Tilangka’,
7. Tumonga,
8. Tungga’.

Korban lain setelah itu di Seko Tengah:
1.     Bonga Palindang – dibunuh di Pasiriang, dekat Longa; mayatnya dihanyutkan di Sungai Betue.
2.    Kaba – seorang tua, petani, dibunuh di belakang rumahnya di Longa.
Para martir dari Seko Padang, 1954, 1956:
1.     Hibeto’ asal Singkalong, dibunuh di Po’ Bangka, dekat Lantang Tedong.
2.    Hikoro, wakil Kepala Kampung Singkalong, dibunuh di Mehire, dekat Kariango, karena melarikan diri dari Beroppa’.
3.    Amanna (ayah) Tahureke,
4.    Tahureke, dan
5.    Takossi’ (3-5 dibunuh di Malaling (antara Busak dan Hono), dekat Sungai Lodang)
6.    Sabbara’, asal Busak, dibunuh di Bengke;
7.    Toja’, dibunuh di Busak.
8.    Hirindu,
9.    Dombo,
10.  Toddo’ dan
11.   Pai (isteri Toddo’); 8-11 berasal dari Singkalong, ditangkap dan dibunuh ketika berusaha mengungsi ke Kalamanta (Sulawesi Tengah) pada tahun 1956.

Guru Injil dan 16 korban di Beroppa. Pada bulan Februari 1953 Pallai (Ambe’ Kaju) melarikan diri dari Beroppa’, namun kemudian ditangkap dan ditembak mati di hadapan masyarakat Beroppa’. Pada bulan Juni tahun 1954 gerombolan menghukum mati Guru Injil Paulus Rapa’ bersama delapan orang lain di Beroppa’, yang ditangkap di hutan karena melarikan diri. Mereka adalah:
1.     Paulus Rapa’ (Guru Injil)
2.    Otniel Osi’
3.    Pento’
4.    Po’ Losang
5.    Ongko
6.    Saleka
7.    Kodji’
8.    Tammemu’
9.    Ambe’ Kafutu
Yang sebelumnya sudah terbunuh ditembak gerombolan DI/TII di hutan itu ada tujuh orang, yaitu:
10.  Ambe’ Nganjak
11.   Wolter Bethony (balita)
12.  Indo’ Nareng
13.  Russa’
14.  Liana (balita)
15.  Barubuk
16.  Podi’ (gadis remaja 10-12 tahun) tersesat lebih 40 hari di hutan bersama sepupu sebayanya Reni Takudo. Keduanya ditemukan masih hidup tetapi Podi’ meninggal tak lama kemudian.
Sebelas syuhada pertempuran di Longa. Pada bulan September atau Oktober 1954 gugur sebelas putera Seko dalam pertempuran melawan gerombolan DI/TII di Longa. Mereka adalah:
1.     Lika
2.    Mallopi’
3.    Okko
4.    Penusuk
5.    Sungkilang (=Sukkilang)
6.    Tamare’
7.    Tambaru
8.    Tambolang
9.    Tasa’
10.  Tata’ (Kalaha’)
11.   Ambe’ Tiangnga’
Kemudian dua orang anggota pasukan pemuda Seko terbunuh, masing-masing
1.     Kasu - gugur pada awal 1955 ketika bertugas piket di antara Beroppa - Kariango, dan
2.    Patakka’ - gugur pada bulan Maret 1955 dalam penghadangan gerombolan DI/TII di Mapo' (wilayah Kalumpang).

Kepala Distrik, Proponen dan Tiga puluhan martir di Haunghulo-Lodang. Pada bulan Februari atau Maret 1963 gerombolan DI/TII menangkap dan membunuh Herman Batu Sisang, Kepala Distrik Seko di Pengungsian (mengungsi di Omu’, Sulawesi Tengah), bersama 32 orang rombongannya. Mereka sengaja berkunjung di masa damai (ceasefire) antara TNI dengan DI/TII. Di kampung Haunghulo 18 orang dibunuh lalu dimasukkan ke dalam tiga lubang, dan di kampung Lodang 15 orang dibunuh dan dimasukkan ke dalam dua lubang berisi sembilan orang (Kepala Distrik H.B. Sisang dkk), dan enam orang di lubang yang lain. Informasi yang diperolah kemudian bahwa mereka dibunuh pada pagi hari dan di salah satu rumah ada yang masih menawarkan makan sahur kepada beberapa korban. Kalau benar terjadi menjelang lebaran tahun 1963, maka kejadiannya pada bulan Februari. Dalam kalender Masehi tahun 1963 Idul Fitri pada tanggal 26-27 Februari. Mereka yang dibunuh adalah:
1.     Herman Batu Sisang (Kepala Distrik)
2.    Titus Tombang (Juru tulis Kepala Distrik)
3.    Jakob Ngali’ Batto’ (Proponen Gereja Toraja)
4.    Tasi’ Sisang (Guru Jemaat, Kepala Kampung Ledo)
5.    Barnabas Kaliputu
6.    Barrena
7.    Birri’ (Amanna Saripa)
8.    Darisan
9.    Daro
10.  Dette
11.   Doa’
12.  Johanis Kalang
13.  Kasong
14.  Kosi’
15.  Lambanang
16.  Lemo
17.  Lori
18.  Luther Assa’
19.  Mani’
20. Maro
21.  Marthinus Panandu
22. Matius Jokkok
23. Nombe
24. Parapa’
25. Poppanda Lekke’
26. Rattena
27. Sadi’
28. Tapandu
29. Tappu Sulo’
30. Taruk
31.  Tata’
32. Terang
33. Tonde’
Beberapa korban lain setelah pembunuhan rombongan Kepala Distrik Seko di Haunghulo dan Lodang:
1.     Peung – ditembak gerombolan DI/TII di Kare’pak, Rantedanga’, pada tanggal 31 Maret 1963.
2.    Indo’ Dui – seorang nenek tua yang ditemukan hangus dalam pondoknya yang dibakar gerombolan DI/TII di Kare’pak, pada tanggal 31 Maret 1963.
3.    Mali’ – anggota pasukan Seko yang piket di Pessintojangan ditembak gerombolan DI/TII pada tanggal 19 April 1963.
4.    Tarundu’ – anggota TNI Yon 758 asal Seko yang berlibur dari kesatuannya di Toraja, dibunuh gerombolan DI/TII di Buntubai (Rongkong) pada tahun 1963.

Selain monumen untuk delapan martir Seko di Pohoneang, para martir lainnya belum dibuatkan monumen. Sebaiknya juga di Beroppa dan di Haunghulo-Lodang didirikan monumen sebagai tanda bahwa Kekristenan di Tanah Seko didirikan di atas darah para martirnya. Tertulianus (kl. 155-240), salah seorang Bapa Gereja, yang hidup di masa awal Kekristenan yang penuh penganiayaan dan pembunuhan orang beriman, menyatakan: Darah para martir adalah benih gereja.

Rujukan:
Catatan di atas berdasarkan naskah Zakaria J. Ngelow, “Daftar Korban yang terbunuh pada Masa Gerombolan DI/TII di Seko (1953-1965)”, dalam Zakaria J. Ngelow & Martha Kumala Pandonge (eds), Masyarakat Seko Pada Masa DI/TII (1951-1965). Makassar: Yayasan Ina Seko, 2008, hh. 203-209. Daftar disusun berdasarkan informasi lisan dari sejumlah nara sumber, dan setelah dicek, dimuat dengan catatan “tetap terbuka untuk dikmoreksi”. Sejak penerbitan belum ada fihak yang mengoreksi daftar yang ada. Daftar memuat semua nama yang dibunuh atau gugur selama masa gerombolan, beberapa di antaranya beragama Islam. Dalam catatan ini, hanya yang beragama Kristen yang dicantumkan, sejumlah 96 orang.

Makassar, 9 Maret 2018

Zakaria J. Ngelow
-       lahir di Beroppa, Seko tahun 1952
-       studi teologi dan mendalami Sejarah Kekristenan












08 Maret 2018

Gereja sebagai Tanda

Majelis  Gereja Toraja Jemaat Sion, Eno (Seko Padang)

Yo 2: 13 – 22

Khotbah pada kebaktian Hari Minggu Prapaskah III, 4 Maret 2018
Dipersiapkan untuk disampaikan di salah satu Jemaat di Seko Tengah, dalam rangka tugas sebagai anggota Tim Kerja Sosialisasi Hasil Pertemuan Raya Masyarakat Seko (Meli, Masamba, 2-4 Fabruari 2018) namun tidak sempat karena ada halangan. Tetapi kemudian ditugaskan melayani di Gereja Toraja Jemaat Sion, Eno, Seko Padang. Boleh disebut ini suatu “khotbah sulung”, karena merupakan kesempatan pertama penulis melayani jemaat di Seko.

Zakaria J. Ngelow*

Pengantar: Tanah Seko Negeri Para Martir Gereja

Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan Yesus. Saya ingin awali renungan Minggu Prapaskah ke-3 ini dengan mengemukakan bahwa dalam perspektif sejarah gereja, Kekristenan Seko -- yang akan genap 100 tahun beberapa tahun lagi -- adalah Kekristenan di negeri para martir. Martir (atau syahid) adalah orang yang dibunuh karena imannya.
Kampung-kampung Pohoneang, Beroppa', Haunghulo, Lodang adalah situs, atau lokasi sejarah, para martir Seko. Di Pohoneang dan Beroppa pembunuhan terjadi pada tahun 1953-54, sedangkan di Haunghulo dan Lodang 10 tahun kemudian, pada tahun 1963.
Banyak lagi yang terbunuh di tempat-tempat lain pada waktu yang berbeda-beda. Jumlahnya lebih 120 orang laki-laki dan perempuan dalam daftar hasil penelitian yang pernah kami sempat lakukan dan diterbitkan 10 tahun lalu. Darah Tuhan Yesus Kristus menyucikan kita dari dosa, dan darah para martir memotivasi kita hidup dalam kesetiaan iman dan pelayanan. Mereka menjadikan Kekristenan Seko teruji seolah-olah emas melalui api.
Adakah yang sudah dilakukan gereja di Seko untuk mengenang para martirnya? Sudah lama saya impikan ada monumen yang dapat menjadi tanda, bahwa di negeri ini banyak orang tertumpah darahnya dan kehilangan nyawanya karena kesetiaan imannya kepada Tuhan Yesus Kristus. Saya menyebut monumen sebagai tanda, karena saya akan bicara tentang gedung gereja sebagai tanda.

Info

·      Sebagaimana dicatat dalam buku Masyarakat Seko Pada Masa DI/TII (1951-1965), lebih seratus orang Seko dibunuh pada masa pendudukan DI/TII, termasuk Ds. Pieter Sangka-Palisungan, Pendeta Gereja Toraja Resort Rongkong dan Seko, pada bulan Oktober 1953 bersama beberapa martir lainnya di Malangke.

·     Pada hari Minggu, tanggal 27 September 1953 gerombolan DI/TII menghukum mati dengan memancung delapan orang pemuda Seko di Pohoneang (Seko Tengah), yang ditangkap karena berusaha meninggalkan Seko ketika dipaksa masuk Islam. 
·    Pada bulan Juni tahun 1954 di Beroppa’ gerombolan menghukum mati Guru Injil Paulus Rapa’ bersama delapan orang lain, yang ditangkap di hutan karena melarikan diri. Sedang yang terbunuh dalam pengejaran di hutan itu tujuh orang.
·  Pada bulan September atau Oktober 1954 gugur sebelas putera Seko dalam pertempuran melawan gerombolan DI/TII di Longa.
·  Pada bulan Februari atau Maret 1963 gerombolan menangkap dan membunuh Herman Batu Sisang, Kepala Distrik Seko di Pengungsian, bersama 32 orang rombongannya, di kampung Haunghulo dan di kampung Lodang. 



Bagian I Bait Allah Yahudi

Bait Allah sangat penting bagi orang Yahudi, karena merupakan rangkaian dari 3 simbol kehadiran Allah di tengah mereka sebagai umat Allah, yaitu Torat (firman Allah), Tanah Israel dengan Kota Yerusalem, dan Bait Allah di dalamnya.
Pada abad ke-6 sM, kota Yerusalem dihancurkan dan Bait Allah dijarah serta orang Yehuda dibuang ke Babel. Mereka kehilangan Yerusalem dan Bait Allah, karena itu di Babel mereka kembangkan pendalaman Torat dengan mendidik para Ahli Torat dan imam-imam, supaya dapat mengajar umat mengenal Allah dan menaati firman-Nya. Mereka juga diajar mencintai kota Yerusalem dan merindukan ziarah ke Bait Allah, (sebagaimana diungkapkan dalam sejumlah teksa kitab Mazmur).
Setelah kembali dari pembuangan, mereka mendirikan kembali kota Yerusalem dan membangun Bait Allah. Demikianlah kehadiran Allah yang dikenal melalui Firman-Nya, dihayati dalam ibadah bersama di Bait Allah, serta kehidupan sosial seisi kota Yerusalem, bahkan seluruh bangsa.
Tetapi kemudian bangsa Yahudi sekali lagi kehilangan Tanah Israel dan Bait Allah ketika pada tahun 70M tentara Romawi di bawah Jendral Titus menghancurkan Bait Allah, dan mengusir semua orang Yahudi dari, Tanah Israel, yang kemudian diduduki orang Arab-Palestina. Baru pada tahun 1947 orang Yahudi mendirikan Negara Israel, namun terus berkonflik memperebutkan kota Yerusalem. Sementara itu sejak tahun 681 penguasa Islam mendirikan Mesjid Al-Aqsa di bekas Bait Allah, yang berdiri megah sampai sekarang. Orang Yahudi hanya menggunakan Tembok Ratapan, yaitu dinding bekas Bait Allah, untuk berdoa (sambil menangis).

Bagian II Yesus dan Bait Allah

Sesuai tradisi, di zaman Tuhan Yesus Bait Allah dikunjungi orang Yahudi dari berbagai negeri perantauan, khususnya pada hari raya, seperti Perayaan Paska Yahudi dan Pentakosta.
Karena orang selalu ramai ke Bait Allah untuk beribadah dan membutuhkan berbagai keperluan ibadah seperti hewan-hewan qurban. dan karena mereka datang dari berbagai negara, mereka membawa mata uang yang berbeda-beda, sehingga perlu penukaran uang. Maka di Bait Allah ramailah orang berjual-beli hewan qurban dan menukar uang.

Yohanes 2:14 (TB) Dalam Bait Suci didapati-Nya pedagang-pedagang lembu, kambing domba dan merpati, dan penukar-penukar uang duduk di situ.
Yohanes 2:15-16 (TB) Ia membuat cambuk dari tali lalu mengusir mereka semua dari Bait Suci dengan semua kambing domba dan lembu mereka; uang penukar-penukar dihamburkan-Nya ke tanah dan meja-meja mereka dibalikkan-Nya. Kepada pedagang-pedagang merpati Ia berkata: "Ambil semuanya ini dari sini, jangan kamu membuat rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan."

Tuhan Yesus menentang perdagangan di Bait Allah, bukanlah berarti bahwa orang Kristen tidak boleh berdagang, melainkan karena perdagangan itu di Bait Allah merupakan pemaksaan kepada umat. Agama dipakai memeras umat, yang dibacking oleh para pejabat agama. Maka dalam Injil Matius 21:13 Yesus menyebut para pedagang sebagai penyamun: "Ada tertulis: Rumah-Ku akan disebut rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun."
Selain menentang pemerasan itu, Yesus mengusir para pedagang itu karena tempat mereka berjual beli di Bait Allah itu adalah bagian yang dikhususkan bagi pengunjung yang bukan orang Yahudi. Bagian dalam Bait Allah hanya bagi orang Yahudi. Dengan mengusir para pedagang dari tempat itu, Yesus memberi tempat bagi para peziarah yang bukan orang Yahudi, supaya orang asing itu belajar dan mengenal Allah dan hukum-hukum-Nya. Nabi Yesaya menubuatkan orang akan berduyun-duyun ke Bait Allah untuk belajar Firman Tuhan (lihat Yes 2:3, band. 51: 3-5).

Bagian III Memaknai Gedung Gereja

Bagaimana menerapkan kisah Yesus menyucikan Bait Allah ini? Kita bisa belajar dari orang Yahudi, yang menekankan kehadiran Allah dalam pengenalan dan ketaatan kepada firman-Nya (Torat) dan melalui ibadah di Bait Allah, yang merupakan pusat kehidupan persekutuan seluruh masyarakat, dalam satuan yang kecil seperti kampung dan desa, sampai ke seluruh bangsa bahkan umat manusia.
Singkatnya, Bait Allah merupakan tanda adanya persekutuan orang yang mengenal Allah dan hidup dalam ketaatan kepada firman-Nya, serta peduli dengan masalah yang dihadapi masyarakatnya.
Dalam pemaknaan ini, adanya gedung gereja adalah tanda bahwa di tempat itu ada persekutuan jemaat, yaitu orang-orang yang mengenal Allah dan menaati firman-Nya, serta peduli atau melayani masyarakat umum.
Gereja bukan hanya gedungnya, melainkan persekutuan yang hidup disekitar firman Allah yang diberitakan di dalamnya. Sering kali ada gedung gereja yang dibangun mewah dan mahal. Mungkin itu dapat dikritik sebagai penindasan kepada umat atas nama agama. Sering pula di balik gedung hebat itu ada persekutuan yang penuh konflik atau pementingan diri. Tidak ada pelayanan sosial kepada warga gereja dan warga masyarakat yang membutuhkan. Pada hal panggilan gereja, sebagaimana juga umat Allah dalam Alkitab, adalah menjadi berkat bagi segala bangsa. Jemaat yang hidup dalam konflik, tidak saling melayani dan tidak melayani ke luar bersama-sama, maka gedung gerejanya, sebenarnya reruntuhan.
Saya percaya di sini, di negeri para martir Kristen, jemaat setia pada firman Allah dan hidup saling melayani dan bersama-sama melayani masyarakat luas.
Amin

Bagian IV “Membangun dari Reruntuhan”
(yang tidak disampaikan, karena sudah agak panjang).

Tema pemberitaan pada Hari Minggu Prapaskah III ini adalah “Membangun dari Reruntuhan”, yang dihubungkan dengan sabda Yesus, “"Rombak Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali." (Yo 2:19)
Pengertian sabda ini telah dijelaskan dalam ayat 21 dan 22,
“Tetapi yang dimaksudkan-Nya dengan Bait Allah ialah tubuh-Nya sendiri. Kemudian, sesudah Ia bangkit dari antara orang mati, barulah teringat oleh murid-murid-Nya bahwa hal itu telah dikatakan-Nya, dan merekapun percayalah akan Kitab Suci dan akan perkataan yang telah diucapkan Yesus.”
Tema “Membangun dari Reruntuhan” memberi perspektif yang terkait dengan kehidupan jemaat, bahwa dalam Kristus yang bangkit dari kematian, gereja selalu punya harapan, juga ketika menurut ukuran dunia orang tidak berdaya lagi. Juga ketika kematian seolah-olah menang, ketika kekerasan, kejahatan atau kebodohan tidak bisa diatasi. Orang Kristen tetap percaya bahwa Allah bekerja mengubah, mengarahkan dan membuat terobosan ketika semua jalan seolah buntu. Begitulah kematian yang umumnya diterima sebagai akhir kehidupan, ternyata dalam Kristus dapat dilampaui. Kebangkitan bukan kembali ke dalam kehidupan sehari-hari, melainkan hidup melampaui kematian. Kata Paskah berarti melewati. Kalau kematian itu seakan sungai besar yang mengakhiri kehidupan, kebangkitan adalah jembatan menyeberanginya.
Maka bagi gereja, “Membangun dari Reruntuhan” bermakna menyambut kemenangan Kristus untuk menghidupkan harapan ketika orang seolah tidak berdaya lagi. Dan sesuai panggilannya, gereja menabur harapan di mana ada keputusasaan. Maka gereja hidup mengikuti doa terkenal dari St. Fransiskus Asisi:
Gereja adalah pembawa damai.
Bila terjadi kebencian, membawa cinta kasih.
Bila terjadi penghinaan, membawa pengampunan.
Bila terjadi perselisihan, membawa kerukunan.
Bila terjadi kesesatan, membawa kebenaran.
Bila terjadi kebimbangan, membawa kepastian.
Bila terjadi keputus-asaan, membawa harapan.
Bila terjadi kegelapan, membawa terang.
Bila terjadi kesedihan, membawa sukacita.

Ada banyak tantangan yang dihadapi masyarakat, di mana gereja harus berfungsi memikirkan dan juga melakukan pelayanan yang tepat.
Tadi saya mulai renungan ini dengan menanyakan adakah perhatian gereja kepada para martirnya, yang baru sekitar 50 tahun lalu terbunuh. Pertanyaan selanjutnya, apakah yang diperbuat gereja terhadap masyarakat Seko selama dan setelah pengungsian? Apakah gereja sempat membangun  dari reruntuhan masyarakat Seko?
Khusus di Makki (Karataun) dan Karama, saya tahu yang dilakukan sendiri para pemuka masyarakat, pemerintah dan gereja bagi masyaraklat Seko pengungsi masa itu: mererka mengumpulkan yang tersebar berhamburan di berbagai tempat, dan mengatur supaya setiap kelompok kampung dari Seko tetap berkelompok di pengungsian, supaya pemerintahan dan kehidupan jemaat tetap berjalan normal, ditambah dengan aspek penting: ada sekolah dasar (SR waktu itu) di setiap kampung. Dan untuk menjaga keamanan, suatu organisasi keamanan dibentuk dengan susunan dan tugas yang jelas.
Apa yang dilakukan gereja sejak kembali dari pengungsian sampai sekarang, biarlah menjadi bahan kajian orang terpelajar Seko maupun ahli dari luar. Tetapi sekarang kita perlu bertanya, apa yang difahami gereja mengenai keadaan masyarakat Seko dewasa ini, dan apa yang perlu dilakukan gereja menghadapinya? Misalnya, perusahaan-perusahaan besar akan masuk Seko; demikian juga jalan raya akan lebih baik dan lebih lancar. Banyak orang dari luar akan datang cari hidup di Seko. Tantangan (atau peluang) apa yang dilihat gereja pada perkembangan itu? Apa yang perlu dipersiapkan gereja menghadapi perkembangan itu? Ada banyak hal dapat dipikirkan. Sebagai satu contoh kita sebutkan pendidikan. Apakah pendidikan Kristen (Sekolah Minggu, Katekisasi, Katekisasi Pranikah, Pembinaan) diselenggarakan dengan mengantisipasi perkembangan-perkembangan itu, supaya anak-anak kita teguh dalam imannya serta setia menyaksikan Injil dan kehidupan Kristen? Bagaimana gereja mendukung pendidikan umum (SD, SMP, SMA, sampai perguruan tinggi) untuk mengembangkan SDM yang bermutu dan dapat diandalkan menghadapi berbagai perkembangan Seko dalam 5 - 15 tahun ke depan? Mudah-mudahan sudah dan terus ada perhatian gereja terhadap dunia pendidikan. Misalnya mendirikan dan menambah koleksi buku-buku dan bahan-bahan belajar lainya.
“Membangun dari Reruntuhan” tidak harus menunggu hancur dulu, melainkan bisa juga dalam pendekatan sedia payung sebelum hujan.
Amin