29 April 2008

Masyarakat Seko Pada Masa DI/TII (1951-1965)

Terbit dalam jumlah terbatas: Buku Kumpulan Karangan mengenai Sejarah, Masyarakat dan Kebudayaan Seko (360 hlm). Informasi harga per buku segera menyusul. Pesan secepatnya melalui email: zngelow@yahoo.com

Zakaria J. Ngelow & Martha Kumala Pandonge (eds)

Malea Allo Mepantu’, Borrong Bulan Meampangngi: Masyarakat Seko Pada Masa DI/TII (1951-1965)
Yayasan Ina Seko, Makassar, 2008


Baru pada awal dekade ketiga abad ke-20 masyarakat Seko – yang terpencil di pegunungan Luwu (Utara), di hulu sungai Karama -- mulai mengalami perubahan-perubahan sosial karena masuknya pendidikan moderen, pekabaran Injil, pemerintahan kolonial, dan ekonomi pasar, yang disusul pendudukan militer Jepang dan revolusi kemerdekaan Indonesia. Tetapi yang paling mendasar bagi sejarah dan identitas masyarakat Seko adalah pendudukan gerombolan pemberontak DI/TII.


Buku kumpulan karangan mengenai Seko ini memperlihatkan perjalanan masyarakat Seko melalui kesaksian dan pengalaman sejumlah pelaku sejarah. Sejak awal tahun 1950-an belasan tahun masyarakat Seko menghadapi kenyataan derita penindasan dan kekejaman serta pengungsian dari kekuasaan gerombolan. Masyarakat Seko menolak pemaksaan berpindah ke agama Islam, dan berbagai kelaliman gerombolan pemberontak itu; maka sambil menyusun kekuatan perlawanan, masyarakat Seko mengungsi ke daerah-daerah tetangga di Kalumpang (Karama, Karataun), sampai Tana Toraja dan ke Lembah Palu.


Dalam bagian kedua buku ini dimuat beberapa karangan menyangkut kebudayaan Seko, yang juga dimaksudkan sebagai suatu upaya melestarikan warisan masa lalu, yang kini makin terlupakan. Mudah-mudahan buku ini berguna pula untuk kalangan yang lebih luas, misalnya mendorong upaya meneliti dan menerbitkan “sejarah masyarakat Kristen” di pegunungan Sulawesi Selatan, Barat, Tengah dan Tenggara pada masa gerombolan DI/TII Kahar Muzakkar.

ISBN

Daftar Isi
Pengantar & Terima kasih

Bagian I Sejarah Seko
1. Zakaria J. Ngelow - Sejarah Ringkas Masyarakat Seko
2. Tahir Bethony – Catatan Mengenai Pemerintahan Seko
3. Tahir Bethony – Catatan Mengenai Pendidikan di Seko
4. Zakaria J. Ngelow - Gugurnya Lamba’ Kalambo dan Betulang Tomallo’ di Rantepao.
5. Zakaria J. Ngelow – Kesaksian Beberapa Pelaku Sejarah.
6. Y. K. Ngelow, Pengalaman Perjuangan Masa Revolusi dan Masa Gerombolan
7. P.K. Bethony - DI/TII di Seko, 1953-1963
8. M. Tandiappang - Mengungsi dari Beroppa’
9. Petrus Katjang – Pengalaman Seorang Pengungsi Seko
10. Abdi Bangkalang - Gelombang Pengungsian Toseko Padang
11. Silas Rapa, Jemaat - Jemaat Kristen Seko di Lembah Palu
12. Silas P. Kalambo - Komando Operasi Ponghuloi (Seko 1963-1964)
13. Daftar Martir Seko Masa Gerombolan DI/TII (1953-1965)
14. Kronologi Peristiwa

Bagian II Masyarakat dan Kebudayaan Seko
15. J. Kruyt – Ma’bua’ dan Moronno’
16. Y. Tippo’ - Sallombengang dan Roka
17. Y. Tipppo’ dkk - Tari Lumondo
18. Marsunyi Bangai -- Budaya Tradisional di Pohoneang
19. Estepanus Tahuleliki - Kesenian Seko
20. Y.K. Ngelow – Tolemo Tempo Doeloe
21. Martha Kumala - Beberapa Tradisi To Seko Lemo
22. Martha Kumala - Masa Depan Bahasa Daerah To Seko Lemo
23. Thamar Masa - Syair Baendon
24. Mahir Takaka - Pengalaman Masyarakat Adat Seko
25. Darius Ngelow - Membangun Seko: Beberapa Pertimbangan
26. Aleksander Mangoting - Kesan-kesan Perkunjungan ke Seko
27. Beberapa Lagu Rakyat Seko

Data Para Penulis

Beberapa Ide Membangun Seko

[Surat dari Seth Asmapane, 28 April 2008]

Syalom!
Ada beberapa pemberitaan mengenai Seko secara keseluruhan baik melalui media elektronik, media cetak serta informasi melalui orang2 tertentu, kita sekalipun Seko masih bergumul dengan predikat daerah tertinggal, namun paling tidak sudah ada upaya dari pihak2 tertentu dan pemerintah serta orang Seko sendiri untuk memajukan kehidupan perekonomian, kehidupan pendidikan, kesehatan dan teristimewa kehidupan bidang spritualitas masyarakatnya yang pluralist. Untuk mengejar ketertinggalan masyarakat Seko tersebut maka tidak ada alternatif lain kecuali menggalakkan pembangunan yang multi dimensi yang sifatnya partisipatif dalam arti program pembanguna yg multi dimensi tadi benar2 melibatkan elemen masyarakat Seko yang sangat mengerti akan kebutuhannya.Untuk itu ada beberapa ide yang dapat saya sampaikan (kalau ide ini sudah terlambat ya syukurlah kalau sudah dilakukan) antara lain:

1. Untuk pembangunan fisik berupa sarana prasarana di Seko sebaiknya diusulkan agar pemerintah melibatkan LSM atau lembaga sosial yang ada di Seko (orang Seko) untuk mengawasi jalannya pembangunan tersebut agar anggaran pembangunan tersebut benar2 tepat sasaran, hal ini untuk menghindari terjadinya korupsi dana pembangunan di Seko.

2. Pembangunan fisik terserbut sebaiknya merupakan rumusan pembangunan dari masyarakat Seko yang mengerti akan kebutuhan pembangunan yg prioritas di Seko misalnya akses jalan poros Seko - Sabbang.

3. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka perlu adanya keterwakilan orang Seko di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten, sehingga ada saluran aspirasi yg tepat bagi masyarakat seko. Juga termasuk jika dimungkinkan ada orang Seko yang menjadi camat di Seko agar benar-benar dapat memberjuangkan masyarakatnya.

4. Untuk pembangunan dibidang pertanian mohon agar diusulkan kepada pemerintah kabupaten untuk pengupayakan Pegawai Penyuluh Lapangan Pertanian ke Seko agar dapat memberikan penyuluhan kepada masyarakat dalam bertani.

5. Untuk pembangunan bidang spritual saya sangat setuju dengan program yang sedang digalakkan oleh Alexander Mangoting dengan teman-temanya untuk mencetak tenaga pemberdayaan di Seko melalui program pendidikan satu tahun ke Jawa, hanya saja perlu diperjelas program pendidikannya agar relevan dengan kebutuhan orang seko.

6. Khusus untuk tenaga pelayan yakni Pendeta di Seko yang masih sangat kurang, agar Yayasan Ina Seko mengajukan kepada Badan Pekerja Majelis Sinode Gereja Toraja untuk melakukan 2 hal:
a. Menambah tenaga Pendeta di Seko dimana gaji dari para Pendeta tersebut harus dibayar khusus dari BPMS melalui anggaran khusus yang dibebankan kepada Jemaat di Kota yang mampu membantu program tersebut agar Pendeta tidak khawatir dengan jaminan hidupnya.
b. Harus ada MoU antara BPMS Gereja Toraja dengan Pendeta yang akan ditempatkan di Seko menyangkut periode maksimal mereka bertuga di seko, misalnya maksimal 5 tahu sudah harus keluar dari Seko ke jemaat lain, agar tidak ada lagi Pendeta yang menolak ditempatkan di Seko karena khawatir akan pensiun atau menghabiskan waktu berpuluh tahun di seko, sekalipun kelihatannya hanya sebagai batu loncatan bagi para pendeta namun yang penting adalah tujuan pelayanan/pembinaan iman bagi masyarakat Seko sudah tercapai.

7. Untuk program pendidikan yang digalakkan oleh Yayasan Ina Seko, perlu penyebaran informasi yang lebih luas mengenai dua hal yakni a) bantuan buku bacaan (bekas) kepada murid di Seko dan b) honor untuk guru bidang studi tertentu. Mungkin ada baiknya Yayasan mengirim surat secara resmi kepada perwakilan2 orang Seko di daerah2 tertentu untuk membantu dua hal diatas, sehingga atas dasar surat resmi dari Yayasan Ina Seko tersebut perwakilan/orang yang ditunjuk tersebut dapat berusaha/bergerak secara legal dan pasti didukung oleh orang Seko yang sudah mampu membantu hal tersebut.

8. Mohon Yayasan Ina Seko melakukan pendekatan dan pencerahan kepada orang tua dan calon mahasiswa dari Seko agar jangan asal kuliah, maksudnya selalu memilih jurusan yang relative gampang maaf misalnya “Bahsa Indosesia”, “PMP/Sejarah” dll, tetapi agar benar-benar memilih jurusan di Perguruan Tinggi yang memang masih sangat dibutuhkan pasar tenaga kerja, sehingga setelah selesai kuliah bisa berkompetisi dgn yg lain, bukan kembali ke Seko menjadi “patteke”. Prinsipnya jangan kuliah asal kuliah tetapi kuliah yang punya goal yang jelas, karena sekarang zamanya sudah beda dengan zaman dulu dimana “pekerjaan mencari orang”, sekarang “orang memperebutkan pekerjaan”.

9. Hal lain yang turut memprihatinkan saya (syukurlah kalau ini sdh hilang) yakni pola kuliah di Palopo yang tinggal di gubuk-gubuk dimana dulu terbukti banyak yang gagal dari pada yang berhasil karena akibat kehidupan bebas dalam gubuk, sehingga bukannya pulang ke Seko membawa prestasi kuliah yang baik tetapi pulang ke Seko membawa prestasi pertambahan populasi penduduk. Hal ini dulu pernah sangat mengendorkan semangat orang tua untuk menyekolahkan anaknya pada perguruan tinggi khususnya di Palopo. Untuk itu mungkin lebih baik mereka didorong untuk kuliah dengan menumpang dirumah orang sehingga terawasi dan lebih tertantang untuk belajar keras.

Demikian ide2 yang dapat saya sampaikan, jika tidak berkenan mohon maaf!

Set Asmapane
Hp 18125506003