21 Mei 2008

Lagi: Tentang Tower Seluler di Seko

Kawan2 yang baik,

Menarik sekali dari ulasan2 yang disajikan oleh Kakanda Roberth dan saya mendukung sekali.

Saya sangat optimis dari apa yang selama ini sudah kita perjuangkan adalah bisa menjadi modal dalam membangun Seko dimasa yang akan datang. Saya melihat dari pengalaman saya selama ini ikut memperjuangkan pengakuan masyarakat adat Seko (lihat SK Bupati Luwu Utara No. 300/2004) perlu ada satu momentum yang kita bangun misalanya “HARI JADI TANAH SEKO� yang bisa dijadikan sebagai  ruang untuk saling ketemu, berbagi pengalaman, berbagi suka dan duka, berbagi sejarah asal-usul orang seko dari generasi ke generasi, menjadi forum untuk memperkuat seni dan budaya.

Kalau dari sekian momentum yang bisa kita mulai mengumpulkannya adalah antara lain kita bisa memeriksa “sejarah perjuangan Orang Seko untuk dibebaskan dalam pembayaran UPETI dari Kerajaan Luwu� atau dengan terbentuknya “Sub Distrik Seko� dijaman pemerintahan Kolonial Belanda, dll. Dengan adanya peringatan tahunan tersebut kita akan bisa lebih luas membahas masalah yang berkaitan dengan keberadaan Orang Seko sebagaimana telah kita diskusikan selama ini yang bisa kita dorong untuk jadikan sebagai  momentum tahunan untuk orang Seko dalam menata masa depannya.

Mungkin kawan2 ada yang bisa memberi justifikasi yang lain?

Salam,

Mahir Takaka

ALIANSI MASYARAKAT ADAT NUSANTARA
"Berdaulat Secara Politik - Mandiri Secara Ekonomi - Bermartabat Secara Budaya"


From: roberth w.maarthin [mailto:roberthw_maarthin@yahoo.co.id]
Sent: 18 Mei 2008 23:27


Yang Terhormat Kerabatku To Seko!

Suatu Permenungan

Menarik bahwa jejaring komunikasi To Seko di Perantauan mulai menggeliat dalam informasi dan pemikiran-pemikiran tentang masa depan Tondok/Lipu Seko.
Saya sungguh bersyukur dan berterima kasih atas semua usaha ini, terutama pada Yayasan Ina Seko dan beberapa teman-teman yang aktif di berbagai LSM/NGO yang selama ini intens memperhatikan To Seko.
Menyimak beberapa tulisan di WWW.geocities.com/inazeko, juga di http://toseko.blogspot.com/ dan beberapa mailing list Kanda pak. Dion atas surat-surat yang dikirim kealamat beliau, juga dari dinda Mahir Takaka.
Sungguh sebuah Ironi, bahwa ditengah peradapan Pasca modern ini kita To Seko masih harus berkutet soal-soal kebutuhan membangun sarana dan prasarana perkembangan Tondok/Lipu/ kampung kita. Saya tidak tahu, mengapa wilayah yang bernama Seko, dimana kita lahir, besar dan berjuang menggapai harapan, harus berlaku seperti itu?! Saya juga tidak berani menuduh atau melempar pada siapa tentang mengapa tercipta ‘situasi dan kondisi’ seperti ini.Yang jelas bahwa ini realitas kita, To Seko.
Bukan untuk dipersoalkan, bukan untuk dicari-cari akar terciptanya situasi dan kondisi itu! Tapi bagaimana mengubah situasi ini, menantang ketidak mungkinan manjadi mungkin. Mewujudkan mimpi dalam nyata!
Kita memang sangat tertinggal! Tiap kali saya pulang ke SEKO, tiap itu pula jalan yang sama saya lalui. Berliku-liku, kubangan lumpur, berbatu-batu. Saat hujan jalanan menjadi sungai kecil dan selalu membuatnya licin bukan saja untuk pejalan kaki juga bagi pengojek-pengojek yang merupakan “sarana tranportasi pilihan utama’ To Seko.
Saat-saat seperti itu, dibenak saya adalah…Apakah Seko juga merupakan wilayah NKRI yang sudah merdeka 63 tahun?
Kerabat yang kukasihi, saya yakin perasaan dan pemikiran seperti ini, juga kerabat miliki! Pertanyaan kemudian, apa yang bisa kita lakukan? Dalam Refleksi Perenungan ini, saya coba melihat dalam beberapa sisi.

Sosial Kultural To Seko!
Menarik tulisan Dinda Mahir. Bahwa To Seko memiliki kearifan lokal yang mesti dicermati sekaligus di pertahankan. Musyawarah Adat/Kerapatan Adat/Mufakat Adat. Memang bukan hanya ciri khas To Seko, sebab hampir semua suku-suku di Indonesia kaya tradisi ini. Persoalannya adalah, “mensitir� ungkapan Dinda Mahir, bahwa Musyawarah Adat/Kerapatan Adat/Mufakat Adat sudah lama hilang dari komunitas To Seko! Padahal ini merupakan Basic budaya To seko!

Belajat dari Sejarah
Dalam Penelitian dan Tulisan Kanda Zakaria Ngelow di Inazeko website, ketika orang-orang Seko terpaksa diaspora oleh Gerakan DI/TII. Basic Musyawarah Adat (sangat terlihat) jadi wahana (yang mengikat) orang-orang Seko Mengungsi/Diaspora dalam membangun dan membentuk suatu “komunitas ekskluif� dalam pendirian kampung-kampung dimana mereka mengungsi ketika itu. Demikian juga, ketika “operasi Pungholoi� merebut Seko kembali, atau disaat “mengembalikan pengungsi� ke Tanah airnya. Situasi ketika itu sangat “didominasi oleh Perasaan sebagai TO SEKO� hingga fungsi-fungsi Musyawarah Adat sangat efektif menggerakkan To Seko, bahu membahu, untuk pemulihan Kedaulatan To Seko. Demikian juga masa-masa ‘recorvery’ phsykies/mental dan pisik akhir thn 60-an sampai awal 80-an dimana pembentukan dan pembangunan perkampungan dilakukan atas Musyawarah Adat! Bahkan sampai pada hal-hal Pertanian pun diatur bersama. Seperti, musim menanam padi, berkebun/berhuma, Hutan mana boleh dibuka/digarap dan yang tidak boleh. Atau menentukan syukur tahunan atas panen segala hasil pertanian tanpa melihat latar belakang Agama.
Ada kurang lebih 15.000 – 20.000 jiwa (bahkan mungkin lebih) To seko Diaspora, tersebar di Donggala, Palu, Omu, Poso, Malili, Soroako, Wasuponda, Bone, Kampung Baru, Masamba, Sabbang, Palopo, Tanah Toraja, Makassar, Kalimantan, Jawa, Sumatra, Bali – Lombok, Irian, termasuk di Luar Negeri.

Sekarang Tanah Seko dikuasai oleh “MUSUH� Keterpencilan dan Keterbelakangan Pembangunan.
Sangat dibutuhkan suatu kesadaran dalam bentuk Kerapatan/Musyawarah Adat To Seko Diaspora untuk menghalau “MUSUH� Keterpencilan dan Ketertinggalan Pembangunan di Kampung kita! Bahkan lebih berat seperti ketika merebut Seko dari Tangan DI/TII Kahar Muzakar.
Dapatkah kita To Seko diaspora mengulang kembali ‘betapa dashyat’ akibat dari Kesatuan berbasis Kerapatan/Musyawarah adat itu? Bahwa Kerapatan/Musyawarah adat To SEKO Diaspora pernah membawa Pencerahan yang amat berarti untuk TO SEKO pada Masa DI/TII Kahar Muzakar!
Kalau Masa itu, To Seko Diaspora bahu-membahu memanggul senjata demi kemerdekaan “KAMPUNG-LIPU-TONDOK� masak sekarang tidak bisa?
Kalau zaman itu Pendahulu kita memanggul Senjata! Generasi sekarang memanggul Pena dalam bentuk pemikiran yang konstruktif, dalam bentuk ide yang Edukatif, Elegan dan membangun.
Persoalannya kemudian bahwa kita To Seko tidak lagi (maaf) menghargai dan belajar dari sejarah kita To Seko! Kerinduan melihat secara bersama-sama Kampung halaman dalam kungkungan “Musuh Ketertinggalan Pembangunan dan Keterpencilan� itu sepertinya bukan kebutuhan “kita bersama�. Kita sangat terpesona (mohon maaf lagi) dengan pencapaian dan target-target pribadi juga keluarga! Dengan membangun “citra� diri/keluarga atau “larut� pada Romantisme sejarah keluarga di masa lalu. Lalu bentuk target dan pencitraan itu seolah-olah menjadi bagian dari kemajuan To Seko!
Dan bila ada perhatian ke kampung halaman, itu juga dalam rangka target dan pencitraan yang dimaksud diatas (sungguh-sungguh saya minta maaf).

Pertanyaan penting di sikapi To Seko Diaspora, adalah : “Bagaimana Membuat Kampung-Tondok-Lipu To Seko dapat melepas rantai-rantai Isolasi yang membuatnya Terpencil sekaligus memutus rantai itu agar berlari mengejar ketertinggalan seperti bagian lain dari negeri ini!Â

Dalam catatan saya, Komunitas Masyarakat Seko diaspora yang tersebar dimana-mana itu, masing-masing memiliki Persatuan (kalau tidak mau disebut Musyawarah Adat/Kerapatan Adat Seko) sesuai latar belakang kampung para pengungsi dan daerah asal masing-masing. Seperti Persatuan Keluarga To Lemo, Persatuan Keluarga To Padang, Persatuan Keluarga to Seko Tengah. Belum lagi, Persatuan Pelajar – Mahasiswa – Pemuda Seko, dst-dst. Dimana Persatuan atau kerukunan itu menjadi suatu musyawarah/kerapatan adat bagi To Seko Diaspora.
Bahkan jauh sebelum itu, Musyawarah Adat merupakan Roh dan Etika bermasyarakat To Seko. Isitilah-istilah “TO BARA’�, “TO MAKAKA� adalah symbol-symbol Kerapatan Adat/Musyawarah Adat yang dibungkus kemasan “MUKOBU – MUKOBO - MA’BUA KALEBU�. To Bara’ - To Makaka merupakan Symbol Identitas Adat! Lambang Masyarakat Adat Seko. To Bara’ dan To Makaka lahir dalam ‘Mokubu – Mukobo - Ma’bua Kalebu�. Karena To Bara’ - To Makaka merupakan symbol Adat, maka dia tidak berdiri sendiri! Apalagi otonom! To Bara’ - To Makaka terikat pada nilai-nilai Mukobu – Mukobo - Ma’bua Kalebu ditengah Masyarakat SEKO.
Pada Zaman Prakemerdekaan To Bara’ - To Makaka, adalah Pemimpin dan “To Barani�, secara khusus menghadapi musuh-musuh dari luar Seko. Sebagai To Bara’ – To Makaka, ia akan terjun dalam medan perang dan memimpin langsung pertempuran menghalau musuh. Tapi pada masa normal, To Bara’ – To Makaka kembali hidup seperti biasa. Terjun kesawah, berladang, berburu,  hidupnya jadi panutan/teladan! Ia mendorong, memberi semangat dalam bidang apapun termasuk menyeleseikan berbagai persoalan kehidupan bermasyarakat. Dan bila ada persoalan/kasus yang tidak dapat diseleseikan, To Bara’ – To Makaka menghimpun masyarakat - Mukobu – Mukobo – Ma’bua Kalebu mencari jalan keluar terhadap persoalan/kasus tersebut.
To Bara’ – To Makaka sekaligus juga symbol kemandirian dan otonomisasi To Seko atas Daerah dan wilayah adat To Seko, tanpa dipengaruhi, terlebih dianggap sebagai bawahan (atau dalam kekuasaan) Daerah lain. Dari beberapa Goresan sejarah Lokal To Seko, dalam bentuk tulisan tangan para pendahulu juga catatan-catatan resmi Karya Ilmiah, termasuk kisah-kisah yang sering kita dengar dari orang-orang Tua To Seko, memberi “sinyal� bahwa To Seko sejak jaman dahulu kala adalah Daerah Merdeka, Otonom tanpa campur tangan kekuasaan dari daerah lain. Sampai pada zaman kemerdekaan seperti sekarang.
To Seko memang memiliki Daerah dan wilayah yang merupakan hak Ulayat, Hak adat, dan Hak kepemilikan. Termasuk Hak untuk mengelola, menikmati dan membangun daerahnya. Hak-hak itu dilindungi oleh Undang-undang!
Karena itu ia harus diberi ruang gerak oleh Pemerintah (daerah dan juga pusat) berdasar pada Undang-undang NKRI. Persoalan Hak ini menjadi serius kita sikapi demi otonomisasi dan hak hidup To Seko atas Tanah dan Wilayah Ulayatnya! Dalam kaitan dengan itu, Fungsi-fungsi To Bara’ – To Makaka yang akhir-akhir ini cukup ramei dibicarakan (diperebutkan??) To Seko di Kampung Halaman, mestinya juga memahami dengan sungguh dan benar! Bahwa kehadiran mereka bukan saja sebagai symbol adat To Seko, tetapi juga suatu pernyataan pada dunia luar bahwa Daerah dan Wilayah To Seko adalah daerah dan wilayah yang bertuan. Daerah dan Wilayah yang tidak boleh “dieksploitasi� dengan alasan apapun tanpa seijin Pemilik dan Tuan atas Daerah dan Wilayah tersebut. Terlebih dimiliki oleh “orang lain�.
Bukan hanya Para To Bara’ – To Makaka, tokoh-tokoh Agama dan Tokoh-tokoh masyarakat To Seko juga musti tahu! Musti Ikut memikir lalu menuangkan pemikiran itu dalam bentuk pragmatis dialogis di tengah komunitas To seko! Saya tahu, bahwa To Seko tidak pernah kehilangan Pemikir, tetapi dalam tatanan pragmatis dialogis para pemikir-pemikir itu amat lemah. Yang ini juga suatu persoalan kita To Seko.

Kalau zaman pra kemerdekaan To Bara’ – To Makaka menjadi To BARANI menghadapi musuh dari luar Tanah Seko, maka zaman sekarang, ia juga musti “berani� mempertahankan wilayah dan daerah To Seko dari berbagai “musuh� yang hendak “menggarong – mengeksploitasi� kekayaan alam To Seko. Sebab itu para To Bara’ – To Makaka harus didukung oleh seluruh Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat termasuk elemen-elemen yang ada didalam maupun di luar Tondok – Kampung – Lipu Seko untuk mempertahankan kerapatan/musyawarah adat To Seko dalam bungkus “MUKOBU – MUKOBO - MA’BUA KALEBU� untuk menjaga, memakai, membangun dan memelihara Daerah dan Wilayah To Seko. Hanya dengan cara seperti itu, Hak Ulayat, Hak Adat/budaya dan Hak kepemilikan atas daerah dan wilayah To Seko dapat dipertahankan. Persatuan dan Kesatuan sebagai To Seko yang terikat dalam Adat istiadat dan budaya yang sama, seharusnya menjadi Spirit kebersamaan yang mampu merantai seluruh To Seko diaspora maupun yang tinggal di Tondok – Kampung – Lipu. Tapi soal ini juga jadi masaalah bagi kita!.
Â
Masa Modern (Pasca Modern?) dan Jaringan Telepon Celuler di Seko?

Tidak ada satu bangsa di dunia ini yang mampu menghalau, mencegah, dampak dari perkembangan modernisasi. Bahkan Negara sehebat USA dan Jepang pun menjadi salah satu korban dampak buruk dari akibat modernisasi ini! Tetapi tidak semua hasil modernisasi buruk, sebab nyata bahwa spirit dibalik modernisasi adalah memudahkan Manusia dalam segala hal.
Modernisasi adalah suatu keadaan dimana terjadi “pemaksaan� sarana dan prasarana terhadap suatu daerah/wilayah/negara tanpa ada kesempatan untuk memilih terlebih menolaknya. Demikian juga di kampung halaman kita, Tondok – Kampung – Lipu Seko. Modernisasi, lambat atau cepat pasti merambat kesana.
Yang mestinya kita Kritisi bersama, bila perlu kita duduk bersama, adalah bagaimana menyuarakan persoalan-persoalan yang amat di butuhkan, bukan yang diinginkan oleh orang lain, termasuk oleh Pemerintah terhadap Masyarakat Seko, Kampung kita!
Sering kali Pemerintah kita terjebak pada rasa “sok tahu� bahwa program-program Pembangunan “terlalu sering� diyakini merupakan Kebutuhan Masyarakat. Termasuk rencana PEMKAB LUWU UTARA soal membangunan Tower Celuler di Seko.
Sebagai Putra Seko yang sudah merasakan dan memanfaatkan “Mobile Phone� tentu itu kita sambut gembira. Tapi ada yang dilupakan, bahwa membangun komunikasi mestinya dari dasar dulu. Dasar atas perkembangan kumonikasi antar/intra komunitas satu dan komunitas yang lain. Yaitu Komunikasi dalam bentuk interaksi! Interaksi satu daerah dan daerah yang lain. Dan Komunikasi seperti itu belum dirasakan, apalagi dinikmati oleh Komunitas Masyarakat Seko. Interaksi seperti ini, amat dibutuhkan oleh Masyarakat seko. Sebab interaksi yang demikian adalah dasar-dasar perkembangan Komunikasi. Dan dasar-dasar komunikasi adalah tersedianya sarana interaksi intra/antar Komunitas, yaitu tersedianya sarana jalan yang representatif!
Coba Kerabat renungkan, bagaimana mungkin suatu daerah terpencil seperti Seko akan mampu berkomunikasi (dalam arti luas) terhadap daerah lain hanya dengan Pengadaan dan Pembangunan Tower Telpon Celuler? Harus saya akui bahwa Pembangunan jaringan itu akan memperpendek jarak dan waktu kita bercakap-cakap dengan sanak saudara! Tapi apakah itu kebutuhan utama To Seko? Apakah itu dapat membangun Interaksi yang intens To Seko dengan Komunitas diluar sana? Apakah itu dapat berakibat pada peningkatan “income� To Seko? Atau mampu meningkatkan Sumber Daya Insani To Seko sehingga memiliki bergaining kuat terhadap orang lain? Dst-dst! Saya pikir, Tidak!
Inilah salah satu dampak negatif dari modernisasi! Serba Instan, serba mudah! Dan sering kali “menghilangkan� yang hakiki! Yang hakekat! Seolah-olah dengan pembangunan jaringan Tower celuler di daerah-daerah terpencil, maka masaalah komunikasi selesei, daerah terpencil seperti Seko segera terbuka! Solusi instan dan sangat tidak bertanggung jawab.
Saya berfikir tidak segampang itu! Pemerintah Kab. Luwu Utara, terlalu intans memahami Instruksi dan program MENGKOINFO. Juga terlalu instan dan gampang menunda-nunda pembangunan Jalan Raya menuju Seko! Saya mengerti, saya memahami betapa rakyat seko, membutuhkan seluruh akses Komunikasi, termasuk jaringan telepon celuler. Tetapi To seko bukan masyarakat mobile! Bukan pula masyarakat yang sudah membutuhkan komunikasi telepon tiap waktu!
Rencana itu, akal-akalan! Bukan menjawab kebutuhan Masyarakat!

Lalu Bagaimana dong?
Menerima kenyataan bahwa Pemkab Luwu Utara membatalkan Pembangunan Jalan menuju Seko dan berencana untuk Membangun Jaringan Telepon celuler di Seko perlu pemikiran yang konstruktif dan elegan dari setiap Tokoh-tokoh To Seko. Baik To Seko Diaspora maupun To Seko di Kampung Halaman. Pemikiran-pemikiran itu perlu disatukan, lalu disuarakan! Dinyatakan kepada Pemerintah! Sebab kalau To Seko hanya berdiam diri atau hanya terpekur dalam pemikiran saja, Musuh “Keterpencilan dan Ketertinggalan Pembangunan� di Kampung Halaman akan terus menjadi “Raja� atas Daerah dan Wilayah To Seko.
To Seko tidak perlu malu-malu (padahal butuh) menyuarakan kebutuhannya secara Politis dengan memproteksi daerah dan wilayahnya terhadap “eksploitasi� atas To Seko dari pihak manapun! Termasuk dari Pemerintah yang sering kali menjual “jamu� pada To Seko tiap kali “berkunjung� ke Daerah dan Wilayah To Seko.
Sebagai Daerah dan Wilayah NKRI, To Seko memiliki Hak untuk diperlakukan sejajar dengan saudara-saudaranya di daerah lain. Dan itu merupakan hak yang harus dituntut kepada pemerintah daerah maupun pusat. Persoalan berikut kemudian adalah, Apakah To Seko mampu bersuara Lantang, Kritis dan konstruktif untuk memperjuangkan Hak-hak itu?

Untuk itu perlu perenungan ini! Namanya saja Perenungan! Yang dihasilkan tentu saja sebuah perenungan! Perenungan atas persoalan-persoalan yang ada diseputar kehidupan kita To Seko. Â

RW Maarthin dan Keluarga.
Jl. Bgd. Aziz Chan 19 Padang 25111
Sumatra Barat.

13 Mei 2008

M.Samben: Transmisi Seluler di Seko?

Salam Kasih dalam Tuhan,

Pendirian tower trasmisi celluler betul-betul harus dicermati dan perlu pemahaman kepada masyarakat Seko bukan saja yang ada di kampung asal kita tapi juga dari kita to Seko di tempat lain.Peluang mendirikan tower komunikasi bisa saja digunakan orang lain untuk menarik keuntungan sepihak dengan mengiming-iming bahwa akan memberi kemudahan untuk bekomunikasi dengan keluarga diluar Tana Seko, namun akan berdampak buruk bagi ekonomi, budaya dan perkembangan generasi kita. Yang diutamakan membangun Seko adalah mengembangkan SDM, yang pada gilirannya akan berdapak pada berkembangnya wawasan, ekonomi, sosial, politik dan ........

Harapan kita dengan terbitnya buku kumpulan karangan mengenai Seko dapat memberi dampak positif yang signifikan.

Sehubungan dengan membangun SDM saya teruskan perenungan yang sempat saya copy dari internet "refleksi dan tindakan"

Perbedaan antara negara berkembang (miskin) dan negara maju (kaya) tidak tergantung pada negara itu. Contohnyanya negara India dan Mesir, umumnya lebih dari 2000 tahun, tetapi mereka tetap terbelakang (miskin. Di sisi lain- Singapura, Kanada, Australia dan New Zelan- negara yang umurnya kurang dari 150 tahun dalam membangun saat ini mereka adalah bagian dari negara maju di dunia dan penduduknaya tidak lagi miskin

Ketersediaan sumber daya alam suatu negara juga tidak menjamin negara itu menjadi kaya atau miskin. Jepang mempunyai area yang sangat terbatas, Daratannya, 80% berupa pegunungan dan tidak cukup untuk meningkatkan pertanian dan peternakan

Tetapi, saat ini Jepang menjadi raksasa ekonomi nomor dua di dunia. Jepang laksana suatu negara "industri terapung" yang besar sekali, mengimpor bahan baku dari semua negara di dunia dan mengekspor barang jadinya.

Negara manakah yang berhasil mengalahkan negara adikuarsa Amerika Serikat. Vietnam satu-satunya negara yang berhasil mengalahkan negara adikuasa Amerika Serikat. Vietnam berhasil mengusir Amerika Serikat dalam perang kemerdekaan pada tahun 1975. Mengapa? Sikap wirausaha bangsa Vietnam
Gigih, Ulet, Disiplin, Kerja Keras, Berani penuh perhitungan bukan .... ngawur / bonek-bondo nekat

Keberhasilan tidak datang tiba-tiba begitu saja. Keberhasilan adalah sebuah upaya yang dilakukan terus menerus dari penerapan nilai-nilai kewirausahaan.

Swiss negara sangat kecil, hanya 11% daratannya bisa ditanami. Swiss tidak mempunyai kebun coklat tetapi dikenal sebagai negara pembuat coklat terbaik di dunia.

Para eksekutif dari nagara maju dan dari negara terbelakang sependapat bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal kecerdasan.

Ras atau warna kulit juga bukan faktor penting. Para imingran di negara asalnya ternyata sumber daya yang sangat Produktif di negara-negara maju/kaya di Eropa.

Lalu Apa Bedanya??
Perbedaan pada sikap/ perilaku dan ... kemampuan berfikir masyarakatnya yang dibentuk sepanjang masa melalui kebudayaan dan pendidikan. Berdasarkan analisis atas perilaku masyarakat, ternyata mayoritas penduduk dinegara maju menerapkan prinsip-prinsip dasar sebagai berikut dalam kehidupan keseharian.

Prinsip Dasar Kehidupan :
1. Etika, sebagai prinsip prinsip dasar dalam kehidupan sehari-hari
2. Kejujuran dan integritas
3. Bertanggungjawab
4. Taat pada aturan & hukum masyarakat
5. Hormat pada hak orang /warga lain
6. Cinta pada pekerjaa/ profesi
7. Berusaha keras untuk menabung & investasi
8. Mau dan mampu bekerja keras
9. Sadar waktu, sadar mutu, sadar biaya.

Dinegara terbelakang/ miskin / berkembang, hanya, sebagian kecil (minoritas) masyarakatnya mematuhi prinsip dasar kehidupan di atas. Kita bukan miskin, terbelakang, karena kurang sumberdaya alam atau karena alam yang kejam kepada kita.
Kita terbelakang /lemah/miskin karena perilaku kita yang "kurang / tidak baik".
Kita kekurangan kemauan kemauan untuk mematuhi dan mengajarkan prinsip-prinsip dasar kehidupan yang memungkinkan kita pantas membangun masyarakat, ekonomi dan negara

Kita harus mulai dari mana saja. Kita HARUS BERUBAH dan BERTINDAK dan Perubahan harus kita mulai dari DIRI (MASYARAKAT )KITA SENDIRI.

Mari kita bangun bersama :
- kebanggaan (pride)
- harga diri (dignity)
- jati diri (identity)

Terima kasih

"martinus samben"

11 Mei 2008

Masyarakat Seko pada Masa DI/TII (1951-1965)

Malea Allo Mepantu’, Borrong Bulan Meampangngi: Masyarakat Seko pada Masa DI/TII (1951-1965)

ISBN: 978 - 979 - 17976 - 0 - 3

Intisari Isi Buku:

Buku kumpulan karangan ini memperlihatkan dinamika kehidupan masyarakat Seko pada masa pendudukan gerombolan pemberontak DI/TII tahun 1951 - 1965 di Sulawesi Selatan. Masyarakat Seko – yang terpencil di pegunungan Luwu (Utara), di hulu sungai Karama – baru mulai mengalami perubahan-perubahan sosial karena masuknya pendidikan moderen, pekabaran Injil, pemerintahan kolonial, dan ekonomi pasar pada tahun 1920-an, yang disusul pendudukan militer Jepang dan revolusi kemerdekaan Indonesia. Tetapi yang paling mendasar bagi sejarah dan identitas masyarakat Seko adalah pendudukan gerombolan pemberontak DI/TII. Sejak awal tahun 1950-an belasan tahun masyarakat Seko menghadapi kenyataan derita penindasan dan kekejaman serta pengungsian dari kekuasaan gerombolan. Masyarakat Seko menolak pemaksaan berpindah ke agama Islam, dan berbagai kelaliman gerombolan pemberontak itu; maka sambil menyusun kekuatan perlawanan, masyarakat Seko mengungsi ke daerah-daerah tetangga di Kalumpang (Karama, Karataun), sampai ke Tana Toraja dan ke Lembah Palu di Sulawesi Tengah.

Dalam bagian kedua buku ini dimuat beberapa karangan menyangkut masyarakat dan kebudayaan Seko, yang juga dimaksudkan sebagai suatu upaya melestarikan warisan masa lalu, yang kini makin terlupakan.

***

08 Mei 2008

SK Masyarakat Adat Seko

KEPUTUSAN BUPATI LUWU UTARA

Nomor 300 Tahun 2004

TENTANG

PENGAKUAN KEBERADAAN MASYARAKAT ADAT SEKO
DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI LUWU UTARA

Menimbang : a. Bahwa masayarakat Adat Istiadat dan Budaya meupakan Pilar utama kerjasama dalam menyelenggarakan Roda Pemerintahan yang yang harus tumbuh dan berkembang sesuai dengan semangat Undang-Undang Dasar 1945;

2. Bahwa di tanah Seko terdapat Adat Istiadat dan Lembaga Adat yang memiliki kearifan tumbuh dan berkembang secara turun temurun dan diakui oleh masyarakat Seko;

c. Bahwa maksud huruf (a) dan (b) tersebut diatas, maka perlu ditetapkan dengan Keputusan Bupati Luwu Utara.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Luwu Utara (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3826);

2. Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Azasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165; Tambahan Lembaran Negara nomor 3886).
3. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437);
4. Keputusan Menteri Agraria dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat;
5. Peraturan Daerah kabupaten Luwu Utara Nomor 53 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Kabupaten Luwu Utara Sebagai Daerah Otonomi (Lebaran Daerah Tahun 2004 Nomor 82);
6. Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Utara Nomor 12 Tahun 2004 tentang Pemberdayaan, Pelestarian, Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat (Lembaran Daerah Tahun 2004 Nomor 19).

Memperhatikan : Hasil Rapat Pembahasan Draft Keputusan Bupati Luwu Utara tentang Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat Seko tanggal 2 Desember 2004.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : KEPUTUSAN BUPATI LUWU UTARA TENTANG PENGAKUAN KEBERADAAN MASYARAKAT ADAT SEKO.

BAB I

Ketentuan Umum

Pasal 1

1. Daerah adalah Kabupaten Luwu Utara.
2. Bupati adalah Bupati Luwu Utara.
3. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom.
4. DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kab. Luwu Utara.
5. Pemerintah Desa adalah Kepala Desa dan Perangkat Desa.
6. Orang Seko adalah orang yang memiliki garis keturunan orang Seko baik yang ada didalam maupun diluar wilayah Adat Seko.
7. Wilayah Adat Seko adalah wilayah yang dipagari oleh Pegunungan, Sungai, Lembah dan Situs-situs Budaya.
8. Adat Istiadat alalah aturan prilaku yang diakui secara bersama-sama oleh suatu masyarakat yang memiliki asal-usul yang sama serta mendiami suatu wilayah tertentu dan memiliki Adat dan Istiadat yang sama.
9. Hukum Adat Seko adalah aturan atau norma yang tidak tertulis yang berlaku dalam setiap wilayah hukum adat Seko, yang bersifat mengatur, mengikat dan dipertahankan serta mempunyai sanksi yang dihargai dan dihormati oleh semua pihak.
10. Kelembagaan Adat Seko adalah Struktur Kepemimpinan Adat dan perangkat-perangkatnya yang memiliki dimasing-masing Wilayah Adat di Seko.

BAB II

PENGAKUAN TERHADAP MASYARAKAT ADAT SEKO.

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 2

Pemerintah Daerah mengakui Masyrakat Adat Seko sebagai komunitas Masyarakat Adat yang memiliki Tata Nilai, Sistem Hukum Adat dan Kelembagaan Adat.

Bagian kedua

Masyarakat Adat Seko.

Pasal 3

Masyarakat Adat Seko adalah masyarakat yang berdasarkan asal-usul leluhur dan mendiami wilayah adat Seko serta memiliki tata nilai dan atau norma-norma adat istiadat serta lembaga adat yang diakui bersama secara turun temurun dan memiliki kearifan-kearifan lokal.

Bagian ketiga

Daerah dan Wilayah Masyarakat Adat Seko.

Pasal 4

Daerah Seko terdiri dari 3 (tiga) daerah yakni Seko Lemo, Seko Tengah, Seko Padang

Pasal 5

Wilayah Masyarakat Adat Seko meliputi 9 (Sembilan) wilayah hukum adat, yang terdiri dari;

1. Singkalong;
2. Turong;
3. Lodang;
4. Hono’;
5. Ambalong;
6. Hoyane;
7. Pohoneang;
8. Kariango;
9. Beroppa’.

Pasal 6

Wilayah hukum adat Seko sebagimana dimaksud dalam pasal 5 (lima) akan ditentukan kemudian berdasarkan kesepakatan dengan prinsip keadilan, kejujuran, dan keterbukaan dengan melibatkan pihak-pihak yang terkait.

Bagian keempat

Kelembagaan Masyarakat Adat Seko.

Pasal 7

Masyarakat Adat Seko memiliki 9 (sembilan) kepemimpinan tertinggi di masing-masing wilayah hukum adat tersebut, yakni:

1. To Key Singkalong : Pemangku Adat Singkalong;

2. Tu Bara’ Turong : Pemangku Adat Turong;

3. Tu Bara’ Lodang : Pemangku Adat Lodang;

4. Tu Bara’ Hono : Pemangku Adat Hono;

5. To Bara’ Ambalong : Pemangku Adat Ambalong;

6. To Bara’ Hoyane : Pemangku Adat Hoyane;

7. To Bara’ Pohoneang : Pemangku Adat Pohoneang;

8. To Mokaka Kariango : Pemangku Adat Kariango;

9. To Mokaka Beroppa’ : Pemangku Adat Beroppa’.

Pasal 8

Alat kelengkapan lembaga adat sebagaimana disebutkan pada pasal 7 (tujuh) akan disempurnakan lebih lanjut melalui musyawarah adat setempat.

BAB III

PERLINDUNGAN TERHADAP MASYARAKAT ADAT SEKO.

Pasal 9

Pemerintah Daerah wajib melindungi Masyarakat Adat Seko sebagai komunitas Masyarakat Adat yang memiliki Tata Nilai, Sistem Hukum Adat dan Kelembagaan Adat.

Pasal 10

Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 (sembilan) diatas diwujudkan dengan cara:

1. Setiap pemberian izin pemenfaatan sumber daya alam di Wilayah Masyarakat Adat Seko harus sepengetahuan Masyarakat Adat Seko;
2. Pemerintah wajib memberdayakan, melestarikan, melindungi dan menghormati lembaga adat Seko.

BAB IV

Penutup

Pasal 11

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dengan ketentuan bahwa apabila dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan di dalamnya akan diadakan perbaikan ataupun penyempurnaan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di Masamba

Pada tanggal 23 - 12 - 2004

BUPATI LUWU UTARA

H. M. LUTHFI MUTTY

Diundangkan di Masamba

Pada tanggal, 23 – 12 – 2004

SEKRETARIS DAERAH

DRS. A. CHAERUL PANGERANG

PKT PEMBINA TK 1

NIP : 010 108 780

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA TAHUN 2004 NOMOR 25.4.

Tembusan Kepada Yth :

1. Gubernur Prop. Sulawesi Selatan di Makassar;
2. Ka. Badan Koordinasi Wil. I Prop. Sulawesi Selatan di Pare-Pare;
3. Ketua DPRD Kab. Luwu Utara di Masamba;
4. Ka. Bawasda Kab. Luwu Utara di Masamba;
5. Kadis P dan K Kab. Luwu Utara di Masamba;
6. Camat Seko di Eno;
7. Para Kades Kec. Seko;
8. Para Pemangku Adat Kec. Seko;
9. Pertinggal.

Seko: Perlu Langkah Strategis

A. Mangoting

Mencermati perkembangan yang ada di Seko dalam soal pembangunan maka ada beberapa catatan kecil yang meski kami sampaikan, walaupun kami bukan orang Seko tetapi dalam beberapa hal, kami sudah diterima sebagai salah seorang “warga Seko”. Untuk itu, mohon perkenan untuk beberapa informasi dari kami sesuai pengamatan di lapangan, juga dalam serangkaian pembinaan dan diskusi yang kami lakukan selama tiga kali kunjungan ke Seko pada tahun 2007.
Pertama, Kalau kita cermati, mungkin memang soal jaringan HP yang ingin masuk ke Seko, menurut analisis saya di lapangan, memang akan menjadi sebuah “bencana” bagi masyarakat Seko. Memang hal yang amat mendesak untuk dibangun adalah sarana jalan.
Kedua, Masyarakat Adat Seko harus berdaulat di tengah-tengah masyarakat di Indonesia. Untuk itu, perlu pengembangan dan pembangunan di sekitar masyarakat adat Seko, sehingga orang Seko bernar-benar-benar dapat eksis dalam perkembangan yang ada dan tidak tergusur dari kampung halamannya. Masyarakat Adat Seko sudah diakui pada tahun 2004 tetapi penguatan ke arah itu, itulah yang menjadi sebuah pekerjaan berat.
Ketiga, Masalah HPH. Pada tahun 1996, kami sudah meneliti mengenai banjir yang dialami oleh masyarakat di Malangke dan sekitarnya. Kesimpulan kami, semua itu akibat dari penebangan kayu di hutan secara membabi buta dan dampak hal itu masih terasa hingga sekarang. Belum lagi kerugian lain. Perusahaan HPH ini jugalah yang “mencuri” kekayaan orang Seko dan merusak masa depan, termasuk dampak langsung ke daerah sekitarnya termasuk Mamuju. Belum lagi perkebunan yang akan dibuka di Seko. Bahkan sejumlah data yang kami peroleh, sudah ribuan HA tanah Seko bukan lagi orang Seko yang memilikinya. Banyak orang luar yang masuk mengkapling tanah di Seko.
Keempat, soal jaringan HP yang akan masuk, ini juga merupakan salah satu stategi bisnis untuk mengeruk keuntungan dari masyarakat Seko. Mungkin memang kerugian lebih banyak dcari keuntungan. Tergantung bagaimana masyarakat menyikapi dan menggunakan teknologi itu. Persoalan ini tentu, mau atgau tidak mau, siap atau tidak siap, tetapi persoalan sekarang bagaimana menyiapkan masyarakat menyikapi perkembangan dan lompatan atau kilat pembangunan yang akan dialami oleh masyarakat Seko.

Persoalan paling berat
Persoalan yang paling berat adalah bagaimana mendampingi saudara-saudara kita di Seko untuk menghadapi kehidupan ini, sehingga mereka mampu eksis dan tidak tergilas oleh pembangunan termasuk kilat pembangunan yang akan dialami mereka.
Jadi kalau kita tidak mampu mengadakan pendampingan dalam menghadapi persoalan sekaligus peluang , maka masyarakat di Seko akan korban.
Kita butuhkan langkah-langkah kecil dan sederhana tetapi kalau dapat, kita sedikit berlari dalam soal pendampingan sehingga korban dari pembangunan dapat diperkecil.
Marilah kita mengambil peran sekecil apapun dalam rangka mengantisipasi persoalan yang akan dihadapi oleh masyarakat Seko.
Jadi kita butuhkan langkah strategis. Kalau setiap kita dapat mengabil peran, maka tentu persoalan-persoalan itu akan semakin kecil, dan yang muncul adalah peluang dan buah-buah yang berguna bagi kita semua.
Siapa lagi kalau bukan kita !!!

05 Mei 2008

Mahir Takaka: Tentang HP di Seko

Dear kawan-kawan Seko dkk yang baik,

Menarik sekali dengan tulisan dari Set Asmapane. Dalam dunia yang semakin modern ini kita harus mampu menunjukkan bahwa Masyarakat Adat Seko harus mampu untuk:

1. BERDAULAT SECARA POLITIK dalam arti bahwa kita harus mengembalikan otonomi asli masyarakat adat Seko dengan menghidupkan lagi musyawarah adat sebagai demokrasi tertinggi. Kita sudah lama kehilangan yang namanya Mukobu (Umumnya dilakukan di Seko Padang), Mukobo (umumnya dilakukan di Seko Tengah) dan Ma’bua Kalebu/Kombongan/...??? (umunya dilakukan di Seko Lemo). Dengan musyawarah adat inilah yang menjadi roh masyarakat adat Seko sehingga sekarang ini kita masih eksis. Namun masalah dan tantangannya adalah kita sudah hampir melupakannya sehingga tidak jarang konflik yang terjadi sudah tidak mampu lagi kita selesaikan. Saya sangat yakin kalau demokrasi tertinggi ini kita bangkitkan dan kita revitalisasi kembali Seko akan menjadi masyarakat yang mampu mengelola semua sumber daya yang kita miliki yang sudah diwariskan oleh nenek moyang kita secara turun-temurun. Pemerintahan Adat harus kita kembalikan dengan semangat SK Bupati Luwu Utara No. 300/2004 tentang Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat Seko. Demikian halnya beberapa perundang-undangan yang bisa dijadikan sebagai rujukan (UUD 45 pasal 18B ayat 1 dan 2, dll). Untuk itu saya meminta dukungan kawan2 untuk memberikan kontribusi mengenai hal ini. Posisi tawar kita dalam ranah politik kita hampir tidak memiliki kekuatan. Sudah berapa kali PEMILU yang diikuti oleh Orang Seko namun tidak mampu kita menghasilkan kader-kader politik yang mampu memperjuangkan pengakuan hak-hak masyarakat adat Seko. Apalagi dalam konteks mendorong alokasi pembangunan yang berkeadilan bagi masyarakat adat Seko.

2. MANDIRI SECARA EKONOMI, kita “masyarakat adat Seko” sangat melimpah ruah dengan potensi sumber daya alam namun kita tidak pernah mandiri secara ekonomi. Kita punya hutan adat namun yang merasakan manfaatnya adalah justru orang luar. Saya yakin kawan2 masih ingat bagaimana HPH PT. KTT mengangkut kayu2 dari wilayah adat kita. Termasuk pohon damar yang nenek moyang kita tanaman demi untuk anak cucunya. Dengan pengalaman ini, mari kita mendorong sebuah penyadaran kritis untuk menengok kembali potensi sumber daya alam lainnya yang juga sudah dilirik oleh prang luar. Kita juga sudah mendengar adanya rencana Eksplorasi Tambang di Seko yang diawali oleh PT. North Mining dan sekarang masih sedang berlangsung. Kita juga punya padang savanna yang cukup menjadi kebanggaan kita “orang bilang sebagai California ke dua” sementara kepemilikannya sudah dipihak ke tigakan oleh pemerintah ke PT. Seko Fajar sekitar 35.000 ha dan sudah sekitar 1.100 ha yang disertifikasi atas nama pribadi. Kalau semua rencana ini berjalan, kita akan kehilangan lagi dan secara hukum memang kita sudah kehilangan. Mau kemana lagi generasi yang ada saat ini dana akan cucu kita bergembala ternak (Pasang-pasang) sudah habis di ambil oleh orang luar. Kita punya hasil hutan non kayu lainnya (rotan, madu, obat-obatan, dll). Dengan pengalaman ini apa yang harus kita lakukan..............???????????



3. BERMARTABAT SECARA BUDAYA, kawan2 masih ada yang ingat bagaimana bentuk rumah, pakaian, hukum adat, tari/seni, peradilan adat. Saya sangat sedih ketika anak-anak kita yang sudah sekolah diluar dan pulang kampung dengan bangga sudah menggunakan bahasa Indonesia. Saya juga sangat sedih acara-acara tahunan yang berlangsung di Tana Seko lebih meriah dengan budaya2 luar dari pada budaya-budaya asli kita. Saya juga sedih ketika kurikulum pendidikan lokal justru yang diajarkan adalah budaya dari luar. Saya masih ingat ketika tahun 70-an, guru2 masih mengajar membuat atap dari bambu, alang-alang, sapu ijuk, dll. Saya sangat prihatin kalau kita tidak memikirkan untuk mencari langkah-langkah memperkuat kembali budaya asli Seko, kita akan kehilangan budaya. Saya juga sedih ketika membaca buku tulisan dari Andriani (peneliti dari Belanda) yang melakukan penelitian di Seko dan berhasil mengumpulkan ada 11 macam ukiran yang khas di Seko tapi saat ini klita tidak menemukannya lagi termasuk rumah asli.

Atas renungan ini, saya tidak bermaksud menggurui kawan2 namun ini saya sampaikan sebagai bagian dari berbagi rasa dan semoga mampu menggugah.


Mengenai rencana pembangunan tower HP di Seko, saya hanya melihat dari segi positifnya saja. Dengan dunia modern dimana globalisasi menjadi raja, memang kita tidak bisa menghindarinya. Saya melihat dengan rencana pembangunan sarana telekomunikasi di Seko justru akan mampu mendukung konslidasi antara orang Seko yang ada di luar/rantau dengan keluarga yang masih berkomitmen untuk tinggal dan mempertahankan hak-hak masyarakat adat Seko.


Hal-hal lain adalah sudah saatnya kita merebut seluruh sumber daya yang masih kita miliki untuk mempertahankan wilayah adat kita.


Salama’



Mahir Takaka

Hp. 08111103798

Email: mtakaka@aman.or.id / mtakaka@telapak.org / mtakaka2003@yahoo.com

03 Mei 2008

Mencermati Manfaat Jaringan Seluler di Seko

Yang Terhormat Bapak/Ibu PEMDA LUWU UTARA
di -
MASAMBA.



Membaca berita posting di Website PEMDA LUTRA soal Internet di Desa-desa LUWU UTARA (14 Maret 2008) sungguh menggembirakan dan salut untuk Program itu.
Yang jadi Persoalan kemudian adalah, beberapa Kecamatan di Lutra sampai saat ini masih terisolasi oleh karena akses jalan raya yang tidak ada! Apakah PEMDA LUTRA sudah memikir Pembangunan dan Pengadaan Transmisi Celluler (Tower) yang akan dibangun di Desa-desa yang berada di Kecamatan SEKO? Buat kami orang Seko, Internet bukan kebutuhan! Telekomunikasi Telepon pun belum menjadi suatu kebutuhan! Yang kami butuhkan adalah, SARANA JALAN RAYA! Jalan Raya menuju Seko adalah kebutuhan utama Rakyat SEKO! Dalam beberapa kali Perkunjungan kami ke Seko, kami sering bercakap-cakap dengan Pak Camat, baik camat yang dulu pun Pak Camat yang sekarang! Karena itu, mohon Bapak BUPATI untuk memprioritaskan Pembangunan Jalan Raya sebagai Sarana untuk Pembangunan dan peningkatan Ekonomi Masyarakat Seko! Dan sebagai Putra-putri Seko, meminta agar Sarana Jalan Raya menjadi Program Utama! Kami tahu, Pemerintahan Pusat memprogramkan Celluler masuk desa, Tapi program ini dilaksanakan pada daerah-daerah yang sudah ada akses jalan raya. Saya menjadi heran atas Program PEMDA LUTRA soal ini! Apakah ini Daerah Seko sudah memiliki Ruas jalan yang representatif sehingga komunikasi celluler dapat membantu kemudahan berkomunikasi masyarakat seko?
Saya berpendapat, KAMI TO SEKO tidak butuh itu (setidak-tidaknya dalam beberapa waktu kedepan) Yang amat mendesak ialah Pembangunan Jalan Raya menuju SEKO!


NB :

Email ini adalah email yang ke-4 saya kirim ke PEMDA LUTRA via http://www.luwuutara.go.id/


Salam Pak Angel!

Mencermati Manfaat Jaringan Seluler di Seko

Set Asmapane


Sepintas memang kita pasti berpendapat bahwa dengan dibangunnya tower (menara transmisi) telepon seluler di Seko, Ambalong dan Beroppa, maka komunikasi antara orang yang tinggal di seko dengan orang seko diperantauan akan lebih lancar, memang hal ini adalah benar, namun menurut saya pembangunan menara transmisi tersebut bukan yang prioritas dan bukan yang mendesak dibutuhkan oleh orang seko. Saya sependapat dengan kekhawatiran Om Pak Dion bahwa itu akan justru membuat masyarakat seko menjadi konsumtif dibidang telekomunikasi yang dalam hal ini sangat kontra produkstif dengan kondisi masyarakat seko yang masih dalam tarap mengumpulkan nafka untuk menyambung/mempertahankan kehidupan dan maaf belum sampai kepada pola hidup untuk memmenuhi kebutuhan sekunder.

Menurut saya kalau toh ada pembangunan fisik/infra struktur yang harus dilakukan ke seko, maka yang pertama harus dibangun adalah Kualitas Sumber Daya Manusianya baik itu kualitas intelektualnya maupun kualitas imannya, karena sudah banyak negara di belahan dunia yang membuktikan bahwa kualitas sumber daya manusia yang tinggi akan menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat, sekalipun sumber daya alam kurang. Kalau seko kita kenal kaya dengan sumber daya alam tetapi sumber daya manusianya tidak berkualitas, maka yang akan menikmati kekayaan sumber daya alam nantinya adalah orang lain (pendatang).

Selain itu pembangunan yang juga dipandang prioritas bagi seko adalah pembangunan infra struktur terutama membuka keterisolasian masyarakat Seko dengan Sabbang, Mamuju, Palu dan Tana Toraja. Kalau akses ini bisa terbuka maka orang seko tidak perlu lagi membeli kebutuhan pokok dengan harga mahal lalu menjual hasil produksi pertanian atau peternakan dengan harga yang murah. Kondisi ini yang membuat masyarakat seko sangat tidak berdaya dalam perdagangan selalu membeli barang dgn harga mahal, tetapi menjual hasil dengan harga murah. Untuk itu program pembangunan jalan ke seko perlu didorong oleh semua elemen orang seko baik itu rakyat, LSM, Yayasan dan Pemerintah agar dapat diakses dengan mudah. Pembangunan jalan ini akan membawa efek multiplier yang tinggi dalam pertumbuhan ekonomi di seko, karena dengan terbukanya jalan tsb maka harga beli kebutuhan primer dan mungkin sekunder diseko tidak akan semahal sekarang dan sebaliknya masyarakat seko sudah bisa menjual hasil-hasilnya dengan harga yang lebih mahal, dengan demikian akan meningkatkan perputaran uang di seko yang akhirnya akan meningkatkan Pendapatan Domestik Bruto orang seko.

Setelah pembangunan sarana dan prasaran yang mendasar di lakukan serta pertumbuhan ekonomi masyarakat seko sdh memadahi untuk kebutuhan primer, barulah kita memikirkan untuk kebutuhan sekunder seperti telekomunikasi melalui Hand Phone. Saya paham bahwa dalam dunia moderen siapa yang tidak menguasai informasi maka akan jadi pecundang, namun demikian kondisi masyarakat di seko belum dalam tatanan tersebut, masih dalam tatanan pembenahan kebutuhan hidup yang mendasar.

Saya pikir sudah tepat jika di seko untuk sementara amasih menggunakan telepon satelit, dimana setiap basis kampung diusahakan ada satu, agar informasi yang ingin disampaikan baik dari seko maupun ke seko bisa lancar, toh kominikasinya baru sebatas kebutuhan yang sangat temporer, bukan seperti dikota besar yang kehidupan dan pekerjaannya sangat tergantung kepada alat komunikasi berupa hand phone. Untuk itu masyarakat seko perlu menyadari tawaran pembangunan dari pihak2 tertentu jangan sampai pembangunan tersebut tdak membawa kesejahteraan tetapi justru mendatangkan kesengsaraan akibat dampak dari pembangunan tersebut yang belum tepat dengan kondisi masyakat kita.

Mohon maaf bila komentar saya tidak berkenan, Imanuel

Samarinda, 30 April 2008

Set Asmapane

Hp 18125506003