18 September 2010

Memaknai Pengungsian Masyarakat Seko

[Surat 3 tahun lalu]


UCAPAN SELAMAT Pengurus Yayasan Ina Seko
menyampaikan
selamat berbahagia dan turut bergembira
atas Pengucapan Syukur ke-2 Masyarakat Seko
memperingati kembalinya dari pengungsian,
tanggal 27 - 31 Oktober 2007.
Kiranya Tuhan memberkati Masyarakat Seko seluruhnya,
baik di Seko maupun di rantau.

Makassar, 13 Oktober 2007
Atas nama Pengurus Yayasan Ina Seko,

Zakaria J. Ngelow/Ketua,

Marsunyi Bangai/Sekretaris,


Bersama Ucapan Selamat ini kami lampirkan sambutan pribadi Ketua Yayasan Ina Seko untuk seluruh masyarakat Seko. Kami mohon untuk dibacakan pada saat perayaan oleh Koordinator Perwakilan Yayasan Ina Seko di Seko, Bapak Drs. Tahir Bethony. Terima kasih.



MAKNA SEJARAH PENGUNGSIAN MASYARAKAT SEKO

oleh Zakaria Ngelow

Sambutan pada Perayaan Syukur ke-2 Kembalinya Masyarakat Seko dari Pengungsian, akhir Oktober 2007 di Rantedanga’, Desa Tirobali, Kecamatan Seko. (Dibacakan oleh Drs. Tahir Bethony, Koordinator Perwakilan Seko Yayasan Ina Seko)

Ibu-ibu, Bapak-bapak, Saudara-saudara masyarakat Seko yang saya kasihi dan rindukan. Ibu-ibu, Bapak-bapak, Saudara-saudara para undangan yang saya hormati.

Syukur kepada Tuhan atas perkenan-Nya bagi masyarakat Seko untuk kedua kalinya merayakan Kembalinya Masyarakat Seko dari Pengungsian. Pertama-tama saya mohon maaf karena hanya dapat menjumpai masyarakat Seko dalam perayaan syukur ini melalui sambutan ini. Saya tetap rindu dan mudah-mudahan Tuhan beri waktu kepada saya untuk bertemu langsung dengan masyarakat Seko di Seko pada waktu yang diperkenankan-Nya. Tuhan memberi saya kesempatan berkali-kali berkunjung ke banyak tempat di dalam dan di luar negeri, tetapi belum disempatkan lagi ke Seko sejak terakhir kali tahun 1975.

Saya menghargai prakarsa perayaan syukur kedua ini. Dalam catatan saya perayaan syukur dilangsungkan tahun 1966, dihadiri antara lain Pdt. A,J, Anggui, M.Th darti Badan Pekerja sinode Gereja Toraja. Saya usulkan supaya perayaan syukur ini dijadikan tradisi perayaan masyarakat Seko sekali dalam 5 (lima) tahun. Bisa pula dipikirkan supaya perayaan syukur itu menjadi pertemuan raya berkala seluruh masyarakat Seko, baik yang di Seko maupun yang di rantau. Selain kebaktian syukur, perayaan ini perlu diisi dengan kegiatan-kegiatan yang bermakna dalam menggalang persatuan, kemajuan dan tanggungjawab masyarakat Seko, termasuk warga Seko yang tinggal di rantau. Perayaan seperti ini juga merupakan peluang berkreasi mengembangkan berbagai bentuk kesenian tradisional Seko (menari, menyanyi, dsb). Pada waktunya perayaan syukur bisa menarik perhatian dunia pariwisata di Seko.

Sejarah Pengungsian

Sejarah pengungsian masyarakat Seko berlangsung dari tahun 1953 - 1964. Dalam masa lebih 10 tahun itu masyarakat Seko mengalami penindasan gerombolan DI/TII, pelarian ke luar Seko, usaha-usaha menyelamatkan warga masyarakat yang masih dikuasai gerombolan, mengatur kehidupan masyarakat Seko di pengungsian, mengembalikan masyarakat Seko ke Seko, dan usaha-usaha mengamankan Seko dari pendudukan gerombolan DI/TII.

Kembalinya masyarakat Seko dari pengungsian dimulai pada tahun 1961 ketika berlangsung genjatan senjata (cease fire) antara TNI dengan gerombolan DI/TII. Almarhum Bapak Timotoius Tombang, yang masa itu tinggal di Pemanikan (Makki) sebagai pelaksana tugas Kepala Distrik Seko di Pengungsian, bersama sejumlah pemimpin masyarakat Seko -– antara lain almarhum Bapak T. Tompe (Ambe’ Marina), almarhum Bapak M.P. Reseng (Ambe’ Rassan), almarhum Bapak Otniel Ontong Patanduk dll -– memprakarsai pemulangan masyarakat Seko dari Makki. Almarhum ayah saya ikut di dalam perencanaan itu, walau pun kemudian almarhum lebih tertarik pada tawaran almarhum Andi Bintang, seorang bangsawan Luwu’ di Palopo –- rekannya di penjara pada zaman revolusi –- untuk memindahkan para pengungsi dari Makki ke suatu tanah hibah kerajaan Luwu di daerah Bone-bone.
Sesudah berbagai persiapan, suatu pertemuan besar dilakukan di Barre’ menyangkut upaya pemulangan pengungsi ke Seko, termasuk menyatakan terima kasih dan pamit kepada pemuka dan masyarakat Makki (Karataun, Karama, dan Kalumpang), dan juga membahas dan memutuskan berbagai masalah yang dapat timbul di Seko kelak (antara lain mengenai kerbau yang masih tersisa di Seko, batas-batas tanah yang bergeser atau kabur, dsb). Disepakati bahwa pemulangan pengungsi dimulai dengan merintis pembukaan kebun: para laki-laki mendahuli ke Seko membuka kebun di Rantedanga’, lalu keluarga akan menyusul setelah tersedia makanan. Masyarakat Seko di Makki waktu itu terpecah antara yang mendukung upaya memulangkan pengungsi dan yang menentangnya. Baru sejak tahun 1964 -– ketika Seko sudah aman -– kelompok yang menentang beramai-ramai kembali ke Seko. Terbunuhnya almarhum Bapak Harun Batu Sisang pada tahun 1963 adalah bagian dari upaya membuka kemungkinan memulangkan masyarakat Seko dari pengungsian di Sulawesi Tengah.

Perayaan syukur ini hendaknya disertai upaya-upaya serius dan terus menerus mengenal peristiwa pengungsian pada tahun 1950-an sampai 60-an sambil mengembangkan makna mendasar yang terkandung di dalam peristiwa pengungsian orang Seko itu. Dari tahun ke tahun para orang tua kita yang masih mengalami pengungsian satu per satu dipanggil Tuhan dari tengah-tengah kita. Kita semua dan anak-anak kita bisa kehilangan jejak sejarah masyarakat kita yang demikian penting ini jika tidak ada upaya-upaya serius mewariskan dan memaknai pengalaman pengungsian mereka. Kita perlu menulis pengalaman-pengalaman pribadi pengungsian masyarakat Seko dan merenungkan keajaiban tuntunan Tuhan kepada kita.

Saya mulai menulis tentang pengungsian orang Seko dalam suatu presentasi untuk loka karya internasional para teolog muda Kristen di Kyoto (Jepang) pada tahun 1985. Saya juga pernah menulis suatu karangan mengenai selayang pandang sejarah masyarakat Seko. Beberapa tokoh masyarakat Seko telah saya wawancarai pengalaman hidup masing-masing secara ringkas. Beberapa dari mereka sudah meninggal. Almarhum ayah saya, Yusuf Kontang Ngelow, sudah menulis pengalaman-pengalamannya turut memimpin masyarakat Seko sejak pendudukan DI/TII di Beroppa’ sampai masa pengungsian di Makki. Bapak Kapt TNI-AL (Purn) Silas P. Kalambo menulis naskah tentang Komando Operasi Pong Huloi, yakni upaya pengamanan daerah Seko Padang dari pendudukan gerombolan DI/TII pada tahun 1964-1965. Jauh sebelumnya almarhum Bapak P.K. Bethony menulis beberapa pokok mengenai Seko dalam suatu naskah panjang tulisan tangan. Naskah-naskah itu belum diterbitkan. Yayasan Ina Seko sedang mengumpulkan tulisan-tulisan mengenai Seko dan pengungsian orang Seko, yang masih sangat sedikit jumlahnya itu. Mudah-mudahan dengan perkenan Tuhan maka tahun depan bisa diterbitkan dalam satu buku kumpulan karangan.

Beberapa Pemaknaan

Saya mencoba mengemukakan beberapa makna penting dalam sejarah pengungsian Seko itu sebagai berikut:

Pertama, pengungsian adalah bencana yang menimpa seluruh masyarakat Seko.
Pengungsian akibat pendudukan dan penindasan gerombolan DI/TII meliputi seluruh masyarakat Seko: To Lemo, To Pevanean, To Padang. Sebab itu perayaan syukur peringatan kembalinya masyarakat Seko dari pengungsian harus merupakan peringatan bersama seluruh masyarakat Seko, termasuk kelompok-kelompok masyarakat Seko yang tetap tinggal di daerah pengungsian, misalnya di Makki, Toraja (To’tallang), Seriti, Omu’, Palolo dll. Karena itu saya usulkan supaya perayaan syukur pada kesempatan mendatang dilakukan bergilir oleh ketiga rumpun masyarakat Seko. Pada perayaan syukur kali ini To Lemo menjadi penyelenggara. Perayaan berikutnya To Pevanean, lalu berikutnya lagi To Padang, dst. Untuk itu perlu dilakukan percakapan-percakapan dalam persaudaraan, dan dengan rendah hati, keterbukaan, saling menghargai dan tanpa prasangka di antara para pemimpin masyarakat Seko. Semangat kesatuan dan persatuan seluruh masyarakat Seko harus dinyatakan dan dikembangkan dalam perayaan syukur itu. Harap diingat pula bahwa saudara-saudara kita yang beragama Islam adalah juga warga masyarakat Seko yang turut menderita sebagai korban pendudukan dan penindasan gerombolan DI/TII. Mereka juga harus dilibatkan dalam perayaan syukur ini, bukan sebagai tamu melainkan sesama warga masyarakat Seko yang turut menyatakan perayaan syukur bersama.

Kedua, pengungsian meninggalkan para pahlawan.
Sejarah pengungsian masyarakat Seko berakibat bukan saja banyak korban harta tetapi juga banyak korban jiwa. Saya berusaha menyusun data (yang belum lengkap) dari sekitar 100 orang Seko yang dibunuh oleh gerombolan DI/TII antara tahun 1953 - 1963. Kita harus mengingat dan menghargai pengorbanan jiwa mereka itu, baik yang ditangkap lalu dibunuh, maupun mereka yang gugur dalam perlawanan bersenjata melawan DI/TII, serta yang gugur dalam pelarian. Antara lain gugur 11 orang pasukan Seko dalam perlawanan terhadap DI/TII di Pevanean pada bulan Oktober 1954. Demikian juga gerombolan DI/TII membunuh dengan biadab Bapak Harun Batu Sisang (Kepala Distrik Seko di Pengungsian) dan Bapak Timotius Tombang serta Proponen (Calon Pendeta) Yakob Ngali’ bersama lebih 30 orang pemuka dan warga masyarakat Seko di Lodang pada tahun 1963. Sudah lama saya usulkan supaya masyarakat Seko mendirikan monumen atau tugu sebagai tanda peringatan bagi mereka, bahkan mengupayakan mengumpulkan sisa-sisa jasad mereka untuk dikuburkan kembali bersama-sama di satu atau beberapa lokasi yang terpilih. Sudah ada yang mengusulkan supaya monumen peringatan didirikan di tiga tempat: di Pevanean, di Beroppa’, dan di Lodang (Hanghulo). Mudah-mudahan kita semua dapat mewujudkan hal ini secepatnya dan sudah selesai sebelum perayaan syukur berikutnya. Tetapi lebih dari sekadar tugu atau monumen, mereka yang gugur itu harus dikenang sebagai pahlawan masyarakat Seko, yang memberi kita seluruh warga masyarakat Seko jati diri, kebanggaan, dan inspirasi untuk memajukan masyarakat Seko, dan bahwa kita juga rela berkorban jiwa daripada ditindas oleh siapa pun.

Ketiga, pengungsian karena iman Kristen.
Sejarah pengungsian masyarakat Seko terkait dengan penolakan orang Seko terhadap penindasan dan pemaksaan meninggalkan agama Kristen oleh gerombolan DI/TII. Sebab itu, sejarah pengungsian haruslah memotivasi kesetiaan beriman, keluhuran budi, dan persekutuan jemaat orang Kristen Seko bahwa kekristenan kita dipertahankan dengan darah dan nyawa para martir Kristen Seko. Kita juga perlu mengingat secara khusus pembunuhan terhadap almarhum Pdt. P. Sangka’-Palisungan, pendeta Gereja Toraja untuk wilayah Rongkong dan Seko pada tahun 1953. Orang Seko memang tidak sendiri mengalami penindasan DI/TII. Masyarakat-masyarakat Kristen di daerah Rongkong, Rampi, Kalumpang, Ranteballa, Pantilang, Maleku-Mangkutana, Tana Toraja, Mamasa, Soppeng (Bugis), Malino (Makassar), dan daerah-daerah lain juga mengalaminya. Juga banyak orang Kristen di daerah-daerah itu yang menderita dan terbunuh. Dalam kaitan itu baiklah kita mengembangkan persaudaraan dan kerjasama dengan umat Kristen di Sulawesi Selatan dan di Sulawesi Barat.

Keempat, pengungsian dan keprakarsaan orang Seko.
Dalam sejarah pengungsian sangat menonjol keprakarsaan orang Seko menghadapi kesulitan-kesulitan kehidupan masyarakatnya. Perlawanan kepada DI/TII untuk mengamankan Seko baik dalam perang Lereng Cinta di Pevanean (dan Kariango) pada tahun 1954 maupun Komando Operasi Pong Huloi di Seko Padang (1963-1964) diprakarsai putra-putra Seko sendiri. Demikian juga penyelamatan masyarakat Seko yang masih dikuasai gerombolan. Almarhum Bapak Yohan Kasuvian Kalambo (waktu itu Komandan Polisi di Palu) menyelamatkan sejumlah masyarakat Seko dari Eno pada tahun 1956 dan mengungsikan mereka ke Omu, Palu. Demikian juga beberapa tokoh lainnya. Khususnya pengungsian di Makki, saya perlu menyebut tiga keprakarsaan pemuka-pemuka masyarakat Seko mengatur kehidupan pengungsi Seko yang cukup mantap:

(1) Konsolidasi pasukan keamanan (OPR/OPD) untuk bersiap menghadapi berbagai ancaman keamanan. Almarhum ayah saya adalah salah seorang pimpinan pasukan Seko, yang pernah bersama pasukan Kalumpang (pimpinan almarhum Bapak Marten Andayo) membantu pengamanan di daerah Mamuju dan Mamasa pada tahun 1958.
(2) Kampung-kampung pengungsi Seko didirikan: Kapai, Rante Lo’po’, Timbu, Lantang Tedong, Tappo, Pemanikan, dan Pattung (untuk To Lemo), Ladang dan Ledo (untuk To Pevanean) masing-masing dengan perangkat pejabatnya. Dan bersama dengan itu juga jemaat-jemaat dibentuk dengan majelisnya, yang dapat berfungsi dengan baik sekalipun tanpa adanya pendeta jemaat (baru pada tahun 1961 Pdt. D.P. Kalambo ditempatkan Gereja Toraja sebagai pendeta jemaat-jemaat Seko di Makki). Dalam hubungan itu saya perlu menyebut khusus jasa almarhum Pdt. (waktu itu masih Guru Injil) P. Pattikayhatu dari Gereja Toraja Mamasa di Kalumpang yang setiap kali melayani jemaat-jemaat Kristen Seko di Makki.

Keprakarsaan lainnya, yang juga sangat penting adalah:
(3) Mendirikan beberapa Sekolah Rakyat (SR) dan sebuah SMP (dipimpin oleh Bapak Obet Pepa’ setelah lulus SGA di Rantepao) yang kemudian dihubungkan dan diasuh oleh YPKT (Yayasan Pendidikan Kristen Toraja). Saya mulai sekolah di SR di Timbu (al. bersama sdr Tandiagi Bambangan) dalam bangunan gereja sederhana, dan kemudian di Tappo dalam bangunan sekolah yang juga sederhana, yang didirikan oleh masyarakat Seko sendiri. Guru-gurunya dipungut dari kalangan sendiri apa adanya, bahkan ada yang belum lulus SR, tetapi mereka penuh tanggung jawab dan menghasilkan lulusan yang cukup bermutu. Mereka tidak digaji, kecuali memakai tenaga anak-anak sekolah untuk sehari dalam seminggu bekerja di kebun masing-masing guru. Para guru sekolah di pengungsian amat besar tanggungjawab, jasa dan pengorbanannya bagi masyarakat kita. Di antara guru-guru saya di Makki saya mengingat antara lain Bapak Karel Mantolo’, Bapak Obeth Lebba Pasarrin (Ne’ Uban), Bapak Luther Todja, dan Bapak Yohanis Noo Pasande. Ibu Reni Takudo juga pernah mengajar saya di SR Tappo, juga almarhumah Ibu Maria Rapa, serta Ibu Elis Tibian.

Saya masih perlu menyebut satu keprakarsaan para pemimpin masyarakat Seko, yakni membentuk satuan Komando Operasi Pong Huloi oleh putera-putera Seko yang berdinas di militer dan polisi. Mereka sepakat cuti ke Seko dengan membawa senjata api untuk bersama-sama pasukan rakyat mengusir satuan gerombolan DI/TII di Seko pada tahun 1963-1964. Baru sesudah itu satuan TNI beberapa kali dikirim dari Makassar untuk mengamankan Seko dan mengejar sisa-sisa gerombolan DI/TII yang bersembunyi di rimba raya Seko.
Keprakarsaan atau inisiatif dan pengorbanan menghadapi masalah-masalah kehidupan masyarakat menjadi ciri khas pemimpin dan masyarakat Seko dahulu, yang harus terus dihidupkan sekarang dan di masa depan. Dalam hubungan itu pula kepemimpinan masyarakat Seko masa kini dan masa depan jangan lagi didasarkan pada silsilah turunan dan dongeng-dongeng leluhur masa silam, melainkan pada prestasi, tanggungjawab dan keprakarsaan membela dan memajukan masyarakat Seko.

Kelima, pengungsian dan persaudaraan dengan banyak orang lain.
Sejarah pengungsian membawa kita masyarakat Seko ke tengah-tengah masyarakat-masyarakat di tempat lain. Kita berterima kasih kepada masyarakat dan pemerintah daerah Karama, Karataun, dan Kalumpang atas penerimaan dan bantuan kepada pengungsi Seko. Tak boleh kita lupakan bahwa pasukan OPR dari daerah ini sudah sejak awal membantu pasukan pemuda Seko dalam upaya-upaya mengamankan Seko dari gangguan dan pendudukan gerombolan DI/TII dan mengungsikan masyarakat. Demikian pula kita berterima kasih kepada masyarakat dan pemerintah di Tana Toraja, dan di Sulawesi Tengah (Kulawi dan Kaili). Maka sambil menegaskan identitas kita yang khas sebagai orang Seko, kita terbuka menjalin persaudaraan dengan masyarakat-masyarakat tetangga kita, dan kalau bisa kita patut berbalas jasa dengan mengabdikan diri sesuai panggilan masing-masing di tengah-tengah dan/atau bagi mereka juga. Pada masa pengungsian satuan-satuan pasukan Seko ikut terlibat dalam membela masyarakat setempat dari gangguan gerombolan pengacau keamanan di daerah Tana Toraja dan di daerah Mamuju dan Mamasa.

Keenam, bencana pengungsian membawa berkat tersembunyi.
Ada banyak orang yang berpendapat bahwa sekiranya tidak ada pengungsian karena penindasan gerombolan DI/TII maka tidak akan banyak orang Seko yang hidup di rantau dan turut dalam berbagai kemajuan masyarakat Indonesia moderen. Banyak pemuda Seko yang masuk sekolah dan akhirnya bekerja di rantau, antara lain sebagai guru sekolah dan pegawai negeri lainnya, serta pegawai swasta. Saya tidak bisa membayangkan apakah almarhum ayah saya bisa jadi pegawai negeri dan saya dan adik-adik saya bisa bersekolah dengan baik sekiranya orang tua saya tidak mengungsi sampai ke Makassar pada tahun 1963. Salah satu kenyataan dalam sejarah pengungsi Seko adalah pada tahun 1956 lebih 50 orang Seko direkrut masuk tentara di Palu dan di Rantepao oleh almarhum Mayjen TNI Frans Karangan. Para pensiunan tentara orang Seko, antara lain Bapak J. Tapepa’ Lindang, Bapak Y. Bangkalang, Bapak Saul Sadi’, Bapak Silas Sorong, Bapak M. Sarunde’ adalah putera-putera Seko yang direkrut jadi tentara waktu itu. Sudah banyak pula yang mendahului kita, sepeti almarhum Bapak M. Sarambu, almarhum Bapak Piter Kalesu, almarhum Bapak Piter Siing. Karena merantau akibat pengungsian, almarhum Letkol TNI Robo Mayaho memperoleh jalannya masuk Akademi Mliter Nasional di Magelang dan lulus menjadi perwira. Demikian pula Bapak Pdt. D.P. Kalambo dan Bapak Pdt. Yan Tandilolo bisa masuk sekolah pendeta di Makassar, serta Bapak Letkol Pol (Purn) Yohanis Lembeh masuk polisi.
Memang tanpa pengungsian pasti ada saja orang Seko yang akan merantau dan mendapat pendidikan lanjut, tetapi akan sangat terbatas jumlahnya. Kenyataan penting dewasa ini adalah bahwa dari ratusan sarjana orang Seko, kebanyakan mereka anak-anak warga Seko di rantau.
Pemahaman bahwa pengungsian membawa berkat tersembunyi penting menjadi keyakinan kita dan anak-anak kita, supaya dalam kesulitan, penderitaan dan berbagai masalah kita tetap mempunyai harapan dan iman bahwa benar Tuhan mengatur langkah hidup kita secara pribadi, keluarga maupun masyarakat Seko seluruhnya.

Visi

Sebelum saya akhiri sambutan yang sudah agak panjang ini, saya meminta kesungguhan kita semua untuk bersama-sama memajukan masyarakat Seko. Secara iman saya memahami bahwa Tuhan mengembalikan kita dari pengungsian ke Seko supaya kita membangun dan memajukan kehidupan masyarakat kita di Seko dan memelihara kelestarian Tanah Seko. Penting memperhatikan bahwa kekayaan alam Tana Seko sudah dan akan terus menarik banyak orang dari luar masuk Seko. Pemerintah sudah mulai membangun Seko, tetapi kemajuan di Seko bisa meminggirkan anak-anak Seko sendiri jika pendidikan tidak didukung dan dimajukan mengikuti tuntutan mutu sumber daya manusia moderen. Saya mendengar bahwa pendidikan di Seko masih sangat ketinggalan. Guru-guru, para pemuka agama, dan para pemuka masyarakat serta pejabat pemerintah sama bertanggungjawab terhadap pengembangan mutu pendidikan putera-puteri Seko. Selain pengetahuan ilmu dan teknologi pendidikan anak-anak kita juga harus diberi dasar moral kejujuran dan tanggungjawab.

Saya tekankan juga bahwa masyarakat Seko akan terpuruk jika para pemuka dan pemimpin masyarakat Seko tidak kompak bersatu saling mendukung, jika mereka tidak mempunyai visi (cita-cita) yang jelas dan yang gigih diperjuangkan bersama, dan jika mereka tidak secara kritis dan tegas menentang sepak terjang orang-orang dari luar yang mencari kepentingan diri atau kelompoknya di Seko.

Terima kasih, selamat melakukan perayaan, teriring salam doa kepada Ibu/Bapak/Saudara: tua-tua, pemuka dan masyarakat Seko semua, Tuhan kiranya tetap memberkati masyarakat Seko seluruhnya, di Seko dan di rantau.

Saya tutup sambutan ini dengan mengutip sebait syair lagu karangan almarhum Bapak P.K. Bethony:

Tanga’ku paissa’ku, pahelakku uppana Seko matida,
Kalihayoku, hatang puttiku, kupehea idio Tana Seko.


Rantepao, 7 October 2007


Zakaria J. Ngelow
Ketua Yayasan Ina Seko