14 November 2008

Keberagaman sebagai Potensi Disintegrasi Bangsa

Robert W. Maarthin

Nama “Indonesia” dicipta oleh seorang antropolog berkebangsaan Inggeris yang bernama James Richardson Logan, yang tinggal dan bekerja di Singapura, pada tahun 1850. Indonesia adalah Masyarakat yang memiliki kebudayaan-kebudayaan yang terbentang luas antara benua Asia dan Australia serta antara lautan Hindia dan lautan Teduh (Pasifik).


Awal dekade 1900 Pemuda-pemuda dalam komunitas masyarakat yang tersebut diatas mulai memperjuangkan kesatuan masyarakat dari penduduk di kepulauan yang luas tersebut dengan memakai nama INDONESIA! Yaitu mengambil-alih nama Indonesia, sehingga tidak lagi sebagai nama yang digunakan dalam lingkungan ilmuwan, melainkan menjadi nama dari suatu kesatuan sosial-politik yang baru, suatu bangsa yang baru.
Pada tahun 1928, pemuda-pemuda itu berikrar sebagai satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia, satu Tanah Air, Tanah Air Indonesia, dan satu bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia.


Tidak dapat dipungkiri, Indonesia terdiri dari berbagai ras yang berbeda (baik asli, dari luar, maupun campuran); suku bangsa yang berbeda (bangsa Jawa, bangsa Bugis, bangsa Melayu, bangsa Batak, dsb.); berbagai agama yang berbeda, berasal dari banyak negara pribumi (kerajaan Majapahit, kerajaan Sriwijaya, kerajaan Aceh, kerajaan Bugis, kerajaan Makassar, dll.); dan bercorak-ragam kebudayaan yang berbeda. Karena itu, semua keaneka-ragaman yang saling berbeda itu harus diterima sebagai kenyataan bangsa Indonesia.


Kita menjadi satu bangsa, bukan karena kita hanya satu ras yang sama, atau satu suku bangsa yang sama, atau satu agama yang sama, atau berasal dari satu negara pribumi yang sama, atau satu corak kebudayaan yang sama.
Kita menjadi bangsa adalah tercipta dari perasaan pengorbanan yang telah kita buat dan alami di masa lampau secara bersama-sama dan secara bersama-sama kita melalui dan mengalami masa sekarang dengan kesepakatan-kesepakatan yang kita buat secara bersama-sama, dan selanjutnya, secara bersama-sama pula kita mau melewati masa depan untuk terus hidup bersama-sama.

Pancasila di dalam simbol burung Garuda yang kedua kakinya mencengkram dengan kuat pernyataan Bhinneka Tunggal Ika merupakan puncak kesepakatan kita sebagai satu bangsa. Semua keaneka-ragaman dan perbedaan-perbedaan kita, kita cantolkan bersama-sama pada setiap sila dari Pancasila. Kita adalah bangsa majemuk yang menyatakan diri sebagai satu bangsa di tengah bangsa-bangsa yang lain.


Gerakan melawan Pancasila di masa lalu yang gagal adalah pengalaman kita sebagai bangsa. Pengalaman itu adalah bahwa sentralisme kekuasaan pada pemerintah pusat akan merongrong Pancasila. Seiring dengan itu, keberagamaan yang terbatas pada tataran skriptual, simbolik, ekslusif, dan sarat dengan klaim-klaim kebenaran, berkecenderungan untuk mengabaikan Pancasila.


Perjuangan kedaulatan dan kemerdekaan bangsa adalah perjuangan besar. Itu kita raih karena kita semua (tanpa kecuali) berjiwa besar. Dengan jiwa besar itu pula kita menerima Pancasila.
Jiwa arogansi, intoleransi, individualistis, materialistis tidak sejalan dengan jiwa besar kita sebagai bangsa.


Dengan jiwa besar dan kematangan berbangsa, kita menjadi bangsa Indonesia dari “bangsa” Bugis, “bangsa” Makassar, “bangsa” Ambon, “bangsa” Jawa, “bangsa” Sunda, “bangsa” Batak, dan “bangsa-bangsa” lainnya.
Dengan jiwa besar dan kematangan berbangsa, kita menjadi bangsa Indonesia sekaligus sebagai orang dari ras pribumi, orang keturunan ras Arab, ras Tionghoa, ras India, dan ras-ras lainnya.
Dengan jiwa besar dan kematangan berbangsa, kita menjadi bangsa Indonesia dengan tetap pada agama masing-masing yang berbeda.
Dengan jiwa besar dan kematangan berbangsa, kita menjadi bangsa Indonesia dengan melakoni aneka ragam corak budaya yang berbeda-beda. Semua kepelbagaian itu kita lalui di dalam sejarah dengan jiwa besar dan kematangan berbangsa.

Dominasi atas kepelbagaian / kebhinnekaan / kemajemukan, apalagi jika diperoleh dengan cara kekerasan, pemaksaan, penyeragaman, dan ketidakadilan, terbukti telah menjadi ancaman keutuhan bangsa kita.
Agama pun menjadi potensi disintegrasi bangsa ketika ia berwajah kekerasan, pemaksaan, penyeragaman, dan ketidakadilan.

Agama berwajah kekerasan dengan semangat pemaksaan, penyeragaman, dan ketidakadilan telah mewujudnyata dalam kehidupan keagamaan kini di Indonesia, dan dengan kasat mata kita semua bisa melihat pihak-pihak yang menjadi korbannya (Jemaat Ahmadiyah, rumah ibadah umat Nasrani, budaya/tradisi lokal, herarchi hukum dan perundangan negara, dan lain-lain).


Ironis, lembaga keagamaan, dan juga negara (aparatnya: menteri agama, aparat keamanan dan hukum), yang menjadi tumpuan tempat berlindung bagi segenap warga bangsa (khususnya umat beragama), seringkali memberi angin dan membiarkan sikap keberagamaan berwajah kekerasan, pemaksaan, penyeragaman, dan ketidakadilan tersebut.

Agama dengan wajah demikian, selanjutnya bermain di wilayah politik. Agama sering diusung ke gedung parlemen, kantor gubernur, dan menjadi tema pilkada. Akibatnya, agama menjadi barang mainan politisi. Keluhuran agama yang akarnya seharusnya tumbuh dari bawah di tengah-tengah rakyat, tiba-tiba melebarkan daunnya pada negara.


Saya sarankan beberapa pokok pikiran dibawah ini untuk dikaji lalu kalau bisa jadi bahan kampanye :


1. umat beragama atas bimbingan para pemimpinnya lebih memokuskan perhatian kepada kitab suci masing-masing, seraya mencoba memahami kitab suci yang lain dan berbagai corak pemahaman/sikap keberagamaan umat yang lain.
2. Toleransi tidak cukup dinyatakan dan dihimbaukan, melainkan mesti disikapi dan diberi contohnya.
3. Mencermati kemungkinan egosentrisme keagamaan sedang menimpa diri kita, seraya menumbuhkan terus kesadaran bahwa kita sedang berada di zaman kita sendiri, bukan zaman umat beragama di masa yang sudah silam.
4. Mari dengan tulus dan semampu kita mendorong dan memulihkan citra dan wibawa pemerintah agar seluruh aparatnya berfungsi sungguh-sungguh di dalam mengayomi segenap rakyat yang majemuk ini.
5. Mari memulihkan dan menyegarkan kembali rasa kebangsaaan kita yang mencakup semua unsur dan kelompok yang berbeda-beda, seraya membenahi dan memperbaiki pendidikan kita masing-masing yang diharapkan daripadanya lahir generasi yang memiliki kesadaran kebangsaan yang lebih baik.
6. Bangun pendidikan, di mana agama dikaji dan lebih concern kepada kesulitan dan tantangan social yang dialami oleh warga bangsa kita.
7. Pertanyaan yang mesti kita renungkan jawabannya ialah: apakah agama yang kita anut memang memiliki kemampuan untuk bersanding dengan agama-agama yang berbeda dan, atau, benarkah agama yang kita anut mampu mengindonesia yang nyata-nyata sebagai bangsa yang mejemuk, atau, Indonesia adalah ruang yang tidak terlalu tepat untuk agama kita?



Semoga beberapa pokok-pokok pikiran diatas dapat bermanfaat untuk :

Saudara SAMUEL MARTHEN KALAMBO

Saudara MAHIR TAKAKA

Saudara HIBUR T. SA'BI

Dalam mengarungi Samudara Politik di Tanah Air.



Teriring Salam dan Doa kami sekeluarga untuk anda bertiga.


Pak Angel di Padang.

Jl.Bgd.Aziz Chan 19 Padang 2511 - SUMBAR.



Visit http://tondokseko.blogspot.com/

http://www.klikvnet.org/?id=roberthw

25 September 2008

Leptospirosis di Seko?

Info awal: Drs. Tahir Bethony (Kepala SMA Neg. I Seko)meberi informasi bahwa setahun terakhir ada wabah penyakit (semacam kaki gajah?) di desa-desa Taloto, Lodang, dan Marante yang terletak di dekat hutan di hulu sungai / anak sungai Lodang, Asaang, dan hulu S. Betue. Kaki bengkak mulai dari telapak kaki sampai lutut, dan sangat nyeri. Kalau nyeri sudah sampai ke tulang belakang, maka tak lama penderita meninggal. Dalam beberapa bulan terakhir jatuh korban meninggal 4 anak-anak dan 13 orang tua. Dinas Kesehatan Prop. Sulsel dan Kab Luwu Utara sudah melakukan penelitian dan ditemukan bahwa disebabkan oleh bakteri/kuman/virus yang ada dalam kotoran hewan, kemudian masuk ke tubuh manusia melalui air. Sebab itu masyarakat dilarang memakai air sungai. (Perlu diketahui bahwa sebagaian besar masyarakat Seko, khususnya di desa-desa itu minum air mentah, tidak dimasak lebih dahulu). Mohon anda ikut memberi pencerahan bagi keluarga-keluarga untuk hidup sehat.

Info susulan: Seorang dokter di Masamba memberitahu bahwa diduga penyakit itu disebabkan bakteri leptospira.

Jika benar demikian, penjelasan berikut mengani kateri dan penyakit itu sbb:L


http://www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=45

LEPTOSPIRA

I. Definisi

Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Leptospira berbentuk spiral yang menyerang hewan dan manusia dan dapat hidup di air tawar selama lebih kurang 1 bulan. Tetapi dalam air laut, selokan dan air kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati.

II. Sumber Penularan

Hewan yang menjadi sumber penularan adalah tikus (rodent), babi, kambing, domba, kuda, anjing, kucing, serangga, burung, kelelawar, tupai dan landak. Sedangkan penularan langsung dari manusia ke manusia jarang terjadi.

III. Cara Penularan

Manusia terinfeksi leptospira melalui kontak dengan air, tanah atau tanaman yang telah dikotori oleh air seni hewan yang menderita leptospirosis. Bakteri masuk ke dalam tubuh manusia melalui selaput lendir (mukosa) mata, hidung, kulit yang lecet atau atau makanan yang terkontaminasi oleh urine hewan terinfeksi leptospira. Masa inkubasi selama 4 - 19 hari.

IV. Gejala Klinis

Stadium Pertama
? Demam menggigil
? Sakit kepala
? Malaise
? Muntah
? Konjungtivitis
? Rasa nyeri otot betis dan punggung
? Gejala-gejala diatas akan tampak antara 4-9 hari

Gejala yang Kharakteristik
? Konjungtivitis tanpa disertai eksudat serous/porulen (kemerahan pada mata)
? Rasa nyeri pada otot-otot Stadium Kedua
? Terbentuk anti bodi di dalam tubuh penderita
? Gejala yang timbul lebih bervariasi dibandingkan dengan stadium pertama
? Apabila demam dengan gejala-gejala lain timbul kemungkinan akan terjadi meningitis.
? Stadium ini terjadi biasanya antara minggu kedua dan keempat.

Komplikasi Leptospirosis
Pada hati : kekuningan yang terjadi pada hari ke 4 dan ke 6
Pada ginjal : gagal ginjal yang dapat menyebabkan kematian.
Pada jantung : berdebar tidak teratur, jantung membengkak dan gagal jantung yang dapat mengikabatkan kematian mendadak.
Pada paru-paru : batuk darah, nyeri dada, sesak nafas.
Perdarahan karena adanya kerusakan pembuluh darah dari saluran pernafasan, saluran pencernaan, ginjal, saluran genitalia, dan mata (konjungtiva).
Pada kehamilan : keguguran, prematur, bayi lahir cacat dan lahir mati.

V. Pencegahan

Membiasakan diri dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
Menyimpan makanan dan minuman dengan baik agar terhindar dari tikus.
Mencucui tangan dengan sabun sebelum makan.
Mencucui tangan, kaki serta bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah bekerja di sawah/ kebun/sampah/tanah/selokan dan tempat-tempat yang tercemar lainnya.
Melindungi pekerja yang berisiko tinggi terhadap leptospirosis (petugas kebersihan, petani, petugas pemotong hewan, dan lain-lain) dengan menggunakan sepatu bot dan sarung tangan.
Menjaga kebersihan lingkungan
Membersihkan tempat-tempat air dan kolam renang.
Menghindari adanya tikus di dalam rumah/gedung.
Menghindari pencemaran oleh tikus.
Melakukan desinfeksi terhadap tempat-tempat tertentu yang tercemar oleh tikus
Meningkatkan penangkapan tikus.

VI. Pengobatan

Pengobatan dini sangat menolong karena bakteri Leptospira mudah mati dengan antibiotik yang banyak di jumpai di pasar seperti Penicillin dan turunannya (Amoxylline)
Streptomycine, Tetracycline, Erithtromycine.
Bila terjadi komplikasi angka lematian dapat mencapai 20%.
Segera berobat ke dokter terdekat.

-------
http://konsultasikesehatan.epajak.org/leptospira/mencegah-tertular-leptospira-219.

Leptospirosis memang bisa dicegah. Sebetulnya sebutan yang benar adalah leptospirosis untuk nama penyakitnya, sedangkan penyebabnya adalah bakteri leptospira. Leptospira menular ke manusia, masuk ke dalam tubuh melalui luka di kulit, atau masuk langsung melalui mukosa mata dan mulut. Penularan antar manusia tidak ada.
Leptospira memerlukan hewan perantara dalam siklus hidupnya, yang paling sering adalah tikus, walaupun juga bisa melalui babi, anjing, kucing, dan hewan ternak. Manusia tertular penyakit tersebut bila bersentuhan dengan air kencing hewan tersebut, atau bersentuhan dengan sampah, tanah, atau air yang terkontaminasi air kencing tikus. Penularan juga bisa terjadi, bila menelan makanan yang terkontaminasi.
Jumlah pasien leptospirosis biasanya memang meningkat sewaktu musim hujan, karena leptospira bisa bertahan di air selama beberapa bulan. Jadi, memang Mbak Erna benar, bahwa penularan leptospira meningkat sewaktu musim hujan atau sewaktu banjir dan setelah banjir reda.
Apakah gejala penyakit leptospirosis? Pertama, tidak semua orang yang tertular leptospira menunjukkan gejala. Masa inkubasi penyakit ini sekitar 2-28 hari. Gejala antara lain mual, muntah, gejala serupa flu dengan demam menggigil, lemah, nyeri di betis, kadang disertai diare, nyeri perut. Mata kemerahan dan dapat disertai kulit dan mata kuning. Panas berlangsung sampai seminggu, kemudian turun. Fase ini disebut sebagai fase satu.
Sebagian pasien kemudian akan masuk fase dua, mengalami demam panas lagi, nyeri otot dan nyeri kepala yang lebih berat, mata menjadi merah karena peradangan, bahkan dapat terjadi radang selaput otak (meningitis) yang menyebabkan pasien kehilangan kesadaran. Komplikasi ke ginjal juga dapat terjadi, bahkan pasien bisa mengalami gagal ginjal akut, yang dapat berakhir dengan kematian.
Dokter mendiagnosis leptospirosis berdasarkan gejala tersebut di atas, dan pemeriksaan laboratorium seringkali menunjukkan kelainan di fungsi hati dan ginjal. Kepastian diperoleh dengan hasil tes leptospira dari sampel darah atau urine. Dengan memberikan cairan infus dan suntikan penisilin, atau minum doksisiklin, kondisi pasien seringkali dapat dipulihkan dalam beberapa hari sampai 3-4 minggu. Kadang-kadang leptospirosis dapat menyebabkan kematian.
Bagaimana pencegahannya? Pertama, hindari kontak dengan bahan yang mungkin tercemar leptospira. Anak-anak ataupun orang dewasa sebaiknya tidak bermain di tempat tergenang air sekarang ini, apalagi berenang di sana. Pakailah sarung tangan dan sepatu bot sewaktu membersihkan rumah setelah banjir usai. Minum doksisiklin sebelum datang ke daerah endemis dapat mengurangi risiko munculnya gejala yang berat dan kematian akibat leptospirosis.
dr. Zubairi Djoerban
Sumber : Republika Online

22 September 2008

Toseko Pindah ke Seriti

[Naskah awal, masih akan diperluas]
Sekilas Pandang Kepindahan Keluarga Baroppa’ ke Seriti Kec. Lamasi Kabupaten Luwu.
oleh A.K. Samben

Sistimatika kepindahan

I. Latar Belakang
II. Mengapa pindah ke Seriti
III. Penjejakan pencarian lahan.
IV. Bermukim di Seriti
V. Kelurga yang mula-mula pindah ke Seriti

I. Latar Belakang

Pada tahun 1951, Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dipersiapkan menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Untuk persiapan itu mereka dinamai Corps Tjadangan Nasional atau CTN. Sementara menunggu proses mejadi Tentara Nasional Indonesia, mereka diangkut ke Tana Toraja dan ditampung di Makale, diasramakan di tiga tempat yaitu:

1. Di samping lapangan sepak bola Makale,
2. Di samping rumah Tuan Tanis (zendeling GZB, Belanda) bagian Selalan,
3. Dekat jembatan di Batupapan.

Tidak lama kemudian yaitu pada tanggal 16 Agustus 1951 mereka melarikan diri ke hutan dipimpin Andi Tanriajeng mengikuti jejak Kahar Muzakkar di Makassar yang masuk ke hutan untuk memberontak kepada pemerintah RI. Setelah itu CTN masuk hutan merekas disebut gerombolan DI/TII. Gerombolan itulah yang menyebar di Luwu, menjadi pengacau dari Palopo Selatan, sekitar kota Palopo dan Palopo Utara (sekarang telah menjadi kabupaten Luwu Utara, dan Luwu Timur). Daerah-daerah Rampi, Rongkong dan Seko dikuasai gerombolan DI/TII, sehingga menjadi daerah tertutup. Dalam hal itu pemerintah RI di kota dan daerah-daerah tersebut tidak ada lagi. Pada tahun 1952 setelah libur panjang, pelajar/ siswa tidak diperbolehkan lagi ke kota untuk melanjutkan studi. Demikian juga para pegawai negeri dari Rongkong dan Seko dihadang di Kanandede, dan disuruh kembali ke kampung mereka masing-masing.

Selanjutnya gerombolan DI/TII mengeluarkan peraturan bahwa di daerah tertutup itu masyarakat hanya diperbolehkan menganut salahsatu agama, yaitu Islam atau Kristen. Bagi masyarakat yang masih menganut kepercayaan animisme diperintahkan memilih salah satu agama, Islam atau Kristen, ternyata masyarakat itu lebih banyak memilih agama Kristen. Gerombolan DI/TII menunjuk beberapa orang Seko untuk menjadi perwakilan masyarakat di pusat pemerintahannya, yaitu di Talo’ bo’, daerah Suli (Palopo Selatan). Mereka itu adalah:

P. K. Bethony (alm)
Yohanis Lembeh
Yan Pomandia
Yohanis Pangimanan (alm)
Oso Bambangi (alm)

Tetapi mereka ini melarikan diri dari Talo’bo’ ke Bajo’ pada Desember 1953 karena dipaksa memilih masuk Islam atau mati. Pemaksaan seperti itu berlaku juga disemua daerah yang dikuasi gerombolan. Karena pemaksaan ini beberapa pemuda dari Baroppa’ melarikan diri ke Makki antara lain Sarambu, Kontang (Y.K Ngelow) dll. Keadaan sangat mencekam. Pada tahun 1953 pemaksaaan masuk Islam berlaku di Beroppa’. Tidak masuk Islam berarti mati. Pada tanggal 1-9-1953 masyarakat Beroppa’ digiring oleh DI/TII ke sebuah sungai di sebelah barat Beroppa’ untuk di-islamkan. Mulailah terjadi pembunuhan. Di Beroppa’ lebih dari 10 orang dan di Pohoneang (Seko Tengah) 8 orang pemuda, yaitu Tungga (guru) dkk. Oleh sebab itu guru-guru dan pemuka masyarakat dan yang merasa tidak aman, melarikan diri dan mengungsi ke Makki (daerah Mamuju). Pemuda-pemuda yang melarkan diri itu, membentuk suatu organisasi OPR bersama-sama dengan OPR Makki dan kembali menyerang DI/TII di Beroppa’, Kariango, dan Pohoneang. Kepala Beroppa’ (Takudo) melarikan diri dari perjalanan dengan pasukan gerombolan ke Rongkong, dengan menyusur anak sungai Tassi, lewat lereng gunung Malimongan, tembus ke Se’pon (Lantang Tedong), seterusnya ke Makki. Pada tahun 1954 masyarakat Seko keseluruhannya mengungsi, Seko Lemo dan Seko Tengah ke Makki, sedangkan Seko Padang ke Palu Sulawesi Tengah.

Setelah beberapa lama di pengungsian (Makki) ada beberapa keluarga dari Beroppa’ mencari tempat mengungsi yang lebih aman di Baruppu’/ Pangala (sekarang Kec. RindingAllo), Tana Toraja. Apa lagi di Baruppu’ banyak keluarga/ kerabat dekat keturunan Ne’ Sidara (Pao’ton) yaitu anak cucu dari Matangke’. Pemerintah kecamatan Rindingallo menampung pengungsi itu di Panggala selama satu bulan. Setelah berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten Luwu, pemerintah Tana Toraja mentransmigrasi-lokalkan mereka ke daerah Luwu yaitu di Rambakulu, antara desa Padangsarre dan Tarue di Distrik Sabbang. Pada saat itu pemerintah mendatangkan 9 truk untuk mengangkut mereka. Tetapi hanya 6 orang yang mau ke Luwu, dan sebagian besar menolak untuk ikut. Mereka masih trauma dengan kejadian beberapa waktu lalu di Seko (Beroppa’). Alasan mereka bahwa apa yang ditinggalkan di Seko (Beroppa’) itu juga yang akan ditemui kalau pindah ke Luwu. Mereka menganggap daerah Luwu bagian pantai adalah sarang gerombolan DI/TII, sehingga tidak mau diangkut ke Luwu.

Akhirnya pemerintah Tana Toraja memukimkan mereka di suatu tempat di To’ tallang, yaitu di Lamboko, bagian barat Panggala’. Di Lamboko ini pengungsi mengolah tanah untuk ditanami kebutuhan pangan. Walaupun tanah itu gersang dan tandus, tanahnya kurus tetapi mujizat Tuhan nampak kepada mereka. Hasil tanah olahan memberi buah yang melimpah. Tanaman ubi jalar, ketela pohon, sayur-sayuran, jagung, padi, semuanya memberikan buah/ hasil yang memuaskan. Hasil tanah olahan mereka, dipasarkan ke Pangala’ dan Baruppu. Pemasaran hasil tanah olahan pengungsi itu hanya dilakukan pada hari Senin sampai hari Sabtu. Mereka hidup sejahtera karena berkat Tuhan.

II. Mengapa Pindah ke Seriti

Seriti terletak di Distrik Walenrang (sekarang Kecamatan Lamasi, Kabupaten Luwu). Setelah beberapa lama bermukim di Lamboko, tanah olahan semakin kurang memberikan hasil. Pada suatu waktu berkunjunglah Pdt. F. Rambu ke sana . Beliau memberi saran, bahwa sesungguhnya Tuhan telah memberi berkat kepada pengungsi Seko di Lamboko, sama seperti bangsa Israel di padang gurun dalam perjalanan menuju tanah Kanaan. Tuhan memberikan roti manna” dari sorga di daerah Lamboko, yang sejak dulu tidak dihuni orang karena tanahnya gersang dan kurus. Tetapi berkat itu sementara saja, jadi sebaiknya masyarakat Seko berusaha mencari daerah yang lebih menguntungkan serta memberi harapan masa depan yang lebih baik, demi generasi selanjutnya. Demikian antara lain saran dari Pdt. F. Rambu. Saran-saran dan pandangan dari Pdt. F Rambu itu membuka wawasan, serta memberi motivasi kepada pengungsi di Lamboko untuk mencari tempat bermukim di Luwu.

III. Penjejakan/ Pencarian Lahan.

Salah seorang warga Seko, H. Angka, mempunyai niat dan kemauan besar untuk mencari pemukiman baru di Luwu. Niatnya itu disampaikan kepada Herman Soang ( Ambe’ Pabali) dan anggota jemaat di Lamboko.

Maka pada tahun 1960 H. Angka dan H. Soang meninjau ke daerah Sabbang, antara desa Padangsarre dan Tarue. Daerah itu tanahnya subur dan baik untuk pemukiman. Namun mereka tidak tertarik bermukim di daerah itukarena tanah di daerah itu sudah pernah diolah oleh penduduk setempat, sehingga bisa menimbulkan masalah.

Setelah peninjauan daerah itu mereka kembali, dan dalam perjalanan pulang ke Tana Toraja, mereka singgah di Palopo, dan menginap di pondok penulis. Pada kesempatan itu kami berbincang-bincang mengenai perjalanan mereka sejak dari melarikan diri dari Beroppa’, mengungsi di Makki dan sampai di Lamboko. Dari perbincangan itu diketahui betapa beratnya penderitaan yang dialami penduduk Seko pada umumnya, orang Beroppa’ pada khususnya. Dalam pengungsian kadang-kadang dikejutkan berita bahwa gerombolan DT/TII akan menyerang mereka sehingga mereka tidak tenang dan tenteram. Karena itu ada sebagian yang terus ke Toraja, seperti sudah dikatakan di atas, pada bagian I.

Kami berbicara tentang penjejakan pemukiman di Rambakulu di daerah Sabbang, yang tidak mungkin, karena tanah yang ditinjau sudah diolah penduduk. Kemudian penulis mengajukan saran, bagaimana kalau ke Seriti. Di sana masih ada tanah kosong yang masih luas, tanah yang masih berhutan rimba yang belum dijamah manusia. Penting diketahui bahwa penduduk Seriti mengalami hal yang sama dengan orang Seko. Pada bulan Juni 1953, mereka diungsikan oleh pemerintah dari Palopo Selatan yaitu dari daerah Larompong, Suli dan Bajo karena gangguan keamanan dari DT/TII. Pada tahun 1952 masyarakat Kristen dari Palopo Selatan itu (mereka dari 2 klasis Gereja Toraja, Klasis Suli dan Klasis Bajo’) dipaksa pindah agama masuk agama Islam. Oleh sebab itu mereka berusaha berhubungan dengan pemerintah TNI, melalui guru-guru yang sudah lebih dahulu melarikan diri ke kota Palopo, diantaranya, Ch.Tottong, seorang guru asal Beroppa’. Penulis sampaikan bahwa jika mereka berada bersama-sama pengungsi dari Palopo Selatan, maka mereka akan merasa tenteram, merasa sependeritaan, serta sama-sama merasa suka dan duka dalam kehidupan sebagai pengungsi. Dan yang lebih utama, sependeritaan dalam satu keyakinan dan satu iman kepada Yesus Kristus Tuhan kita. Waktu itu yang menjadi kepala kampung pengungsi di Seriti adalah Bapak Mangentang, paman dari Barnece Sonda/ Mama’ Yacob (istri penulis). Dengan demikian pengurusan sehubungan dengan pemukiman tidak akan dipersulit. Untuk menjaga keamanan terdapat pos-pos TNI di Seriti. Selain itu Sarunde’, salah seorang putra Seko yang pada waktu itu mengikuti latihan TNI di Palopo, juga memberi saran kepada H.Angka dan H.Soang supaya pindah ke Seriti.

Sepulangnya mereka ke Toraja, Sarunde megirim surat kepada L.Lingkan supaya segera pindah ke Seriti. Oleh sebab itu L.Lingkan lebih dahulu pindah ke Seriti dan langsung mengolah tanah untuk ditanami jagung. Setelah sampai di Lamboko, H.Angka dan Soang menyampaikan hasil percakapan dengan penulis di Palopo kepada orang Seko yang adalah anggota Jemaat Lamboko.

Rupanya mereka tertarik untuk pindah ke seriti. Maka pada tahun 1961 datanglahlah H.Soang, Y.Takundun, Tadanun , Atoran, Ambe’ Lati dan beberapa keluarga ke Seriti. Bersama dengan L.Lingkan yang telah lebih dulu datang ke Seriti mereka diantar penulis mengadakan penjauan lahan hutan untuk dijadikan tanah garapan. Mereka kagum melihat betapa lebatnya hutan rimba yang belum pernah dijamah oleh tangan manusia, dan mereka mengambil keputusan untuk pindah ke Seriti. Melalui penulis maksud mereka tersebut disampaikan kepada pemerintah setempat bahwa mereka akan pindah ke Seriti menyatu dengan orang-orang dari Palopo Selatan. Sesudah maksud mereka disampaikan, mereka kembali ke Toraja mengadakan persiapan untuk pindah bersama dengan anggota keluarga.

IV. Bermukim di Seriti

Pada bulan Juli 1962 datanglah beberapa kepala keluaga orang Beroppa’ ke Seriti sesuai dengan apa yang telah disampaikan sebelumnya kepada Kepala Kampung Seriti bahwa mereka akan pindah ke Seriti. Jumlah kepala keluarga yang pertama datang ke Seriti untuk membabat hutan, sebanyak 12 orang dan ikut serta 2 orang perempuan dewasa dan 2 orang anak perempuan.

Kepala Desa Seriti membagikan tanah yang masih berupa hutan rimba kepada mereka masing-masing satu hektar untuk dijadikan persawahan. Lebih dari satu bulan mereka merambah hutan bagian masing-masing. Pada setiap petang, ketika mereka pulang ke rumah, mama’ Yacob, istri penulis, selalu bertanya kepada mereka: “Den nasang sia mukun raka;” maksudnya, apakah tidak ada anggota rombongan yang ketinggalan di hutan. Setelah selesai membabat hutan yang dijatahkan oleh Kepala Kampung Seriti, mereka berangkat ke Toraja untuk menjemput keluarganya. Pongarong tinggal di Seriti menunggu keringnya hasil babatan untuk dibakar.

Pada bulan Oktober 1962, mereka yang pulang ke Toraja kembali ke Seriti, bersama dengan semua anggota keluarga masing-masing. Mereka ditampung di rumah penulis di Kelompok IV (empat) Salulompo. Tetapi karena jumlah anggota keluarga pada saat itu cukup banyak, kurang memungkinkan untuk tinggal semua di rumah kami, maka H.Angka mengusulkan kepada Mama’ Yacob supaya dibagi ke beberapa rumah keluarganya Mama’ Yacob yang tinggal bertetangga di kelompok Salulompo itu. Setelah dihubungi para keluarga itu dengan senang hati menerima mereka. Sementara itu, hutan yang sudah diolah mereka tanami jagung, sayuran dan padi ladang. Atas usaha dan kerja keras itu mereka memperoleh hasil yang memuaskan. Lama kelamaan ladang mereka dicetak menjadi persawahan. Demikianlah mereka mereka bisa hidup sejahtera berdampingan dengan para pengungsi dari Palopo Selatan yang lebih dahulu tiba di Seriti.

V. Keluarga Seko yang mula-mula pindah ke Seriti

1. Keluarga H. Angka (Ambe’ Parida) 7 orang
2. H. Soang (Ambe’ Pabali) 8 orang
3. Y.Takundun (Ambe’ Dani) 5 orang
4. Tirampo (Ambe’ Takundun) 4 orang
5. Pongarong (Lengken, Ambe’ Ki’jo) 6 orang
6. Paulus Balili’ (Ambe’ Lati) 8 orang
7. L.Lingkan (Ambe’ Hani) 6 orang
8. Gaang (Ambe’ Amo’) 10 orang
9. Bari ’ (Ambe’ Uma) 5 orang
10. Atoran (Ambe’ Rimu’) 6 orang
11. Lamodon (Ambe’ Becce’) 3 orang
12. Ampalla (Indo’ Nesi) 3 orang
13. Gerson Gitta (Ambe' Piter) 5 orang
14. Paa (Ambe’ Simon) 6 orang
15 Cangulu (Ambo’ Dewi) 4 orang (beragama Islam, berasal dari Bone, sudah lama bermukim di Beroppa’, lalu mengungsi ke Palopo dan menggabung dengan rombongan Orang Beroppa’ ke Seriti).
16. Pangkung (Ambe’ Jabbolo’) 5 orang

Sampai dengan tahun 2007, jumlah keluarga Seko di Seriti 86 KK, yang masuk anggota Kerukunan Keluarga Masyarakat Seko di Seriti, dan masih banyak yang belum terdaftar.

Seriti, April 2008

A.K. Samben asal Beroppa', Seko.
Pensiunan guru, tinggal di Seriti.

[Catatan: Teks karangan diedit oleh Zakaria Ngelow, dan diharapkan masih akan diperluas melalui percakapan dengan penulis).

30 Agustus 2008

Tekad Bupati Lutra

Kepada Yang Terhormat :
Bapak Bupati Luwu Utara di Masamba!

Kami bangga atas prestasi Pemkab LUTRA sebagai peringkat 5 sulsel bidang IPM! Dan tentu itu merupakan prestasi tersendiri! Mengingat bahwa LUTRA baru berusia 9 tahun!Melalui kesempatan ini, kami juga ingin menghimbau sekaligus mengkritisi apa yang diungkapkan oleh Yang Kami Hormati Bp. Bupati HM . LUTFY A. Mutty! Saya Copy Paste ungkapan beliau mengatakan "fakta menunjukan kemajuan sebuah masyarakat ditentukan oleh tingkat kecerdasan, kesehatan juga pendapatan masyarakat. Tahun 2009 mendatang seluruh desa suda mempunyai unit pelayanan dasar kesehatan. Tidak ada lagi gedung sekolah yang compang camping, lebih baik kami tidak membangun atau membeli sesuatu dari pada dari pada sekolah rusak" tegas Bupati.
Saya setuju dan mendukung tekad beliau soal Pendidikan di LUTRA! Pendidikan adalah komponen utama di jaman Pasca modern ini! Dan Tekad itu mesti didukung oleh semua aparat/staf Bupati sampai ke desa-desa! Saya juga senang mendengar bahwa Pak Bupati selalu memberi penghargaan kepada Kepala sekolah2 yang siswa/i mampu meraih prestasi!
Yang jadi persoalan kemudian adalah bahwa Para Guru, juga tenaga kesehatan yang bertugas di Seko (selain Putra Daerah), waktu kerja mereka lebih sering di kota! Dengan alasan keluarga, study dst! (indikasi pegawai kecamatan juga begitu, termasuk di Kec. Rampi)
Pertanyaan bagi kami, adalah bagaimana tekad Pak Bupati dapat dicapai bila, staf/pegawai (terutama didaerah terpencil seperti seko dan Rampi) bila tidak didukung dengan disiplin kerja para pegawai dan staf Bp. Bupati?Hal lain yang ingin kami diskusikan adalah, kenyataan bahwa banyak Sekolah-sekolah di Seko dan Rampi, disamping loyalitas Guru yang kurang, Sarana dan prasarananya juga memprihatinkan!
Saya kuatir bahwa Laporan dan evaluasi yang disampaikan pada Bp. Bupati, hanya yang bagus-bagus saja!

Dari kenyataan ini, saya melihat bahwa beberapa indikasi dibawah ini mungkin menjadi faktor penyebabnya :
1. Tunjangan Daerah Terpencil bagi para guru, juga tenaga kesehatan yang kurang (atau mungkin tidak ada sama sekali?)
2. Akses jalan raya, menuju Seko dan Rampi! Persoalan ini, sudah ada sejak Indonesia merdeka 63 tahun lalu! Entah bilamana akan dapat diseleseikan!
3. Soal Adanya Penerbangan ke seko dan Rampi! Penerbangan ini, semula bertujuan agar masyarakat di kedua Daerah terpencil itu, bisa meningkat perekonomian dan menjadi salah satu (bukan yang utama, sebab jalan raya masih yang terutama) cara untuk membuka keterisolasian kedua daerah terpencil itu!
Tetapi akhir-akhir ini menjadi masaalah bagi kedua masyarakat di daerah ini! Sebab jadwal penerbangan yang tidak menentu! Antara ada dan tiada! Saya tidak tahu seberapa besar keterlibatan Pemkab Lutra soal "kontinuitas" penerbangan ini!

Saya mohon maaf, kalau sebagai tamu, saya terlalu lancang menulis seperti itu!
Ini semua untuk mendukung kemajuan Luwu Utara yang sama-sama kita cintai ini!
Atas perhatian Bapak Bupati diucapkan terimakasih
Doa kami menyertai Bapak dan Keluarga

RW. Maarthin

roberthw_maarthin@yahoo.co.id

13 Agustus 2008

Hari Jadi Seko?

Kawan2 yang baik,

Saya sangat berterima kasih atas pertemuan dan rapat Yayasan INA Seko yang dilakukan tanggal 3 Agustus 2008 di Rumah Pak Z. Ngelow dan apresiasi saya yang tinggi dimana kita sempat menyinggung perjalanan sejarah orang Seko yang merupakan bagian dari identitas yang tak terpisahkan dengan keberadaan kita sebagai orang seko.

Satu hal yang menurut saya sangat penting adalah bagaimana kita bisa menelusuri dimana sebenarnya titik dan tonggak sejarah dan perjuangan
masyarakat seko yang bisa kita ajukan untuk disepakati menjadi hari jadi "SEKO" yang bisa diperingati setiap tahunnya.

Dengan demikian pada acara peringatan 50 tahun masyarakat seko di pengungsian yang sudah kita diskusikan dalam rapat tanggal 3 Agustus yang
lalu temuan2 tersebut sudah bisa kita ajukan untuk dibahas dan mendapatkan kesepakatan dalam forum tersebut.

Mungkin itu dulu yang bisa saya sampaikan .

Salama'

Mahir

ALIANSI MASYARAKAT ADAT NUSANTARA
"Berdaulat Secara Politik - Mandiri Secara Ekonomi - Bermartabat Secara
Budaya"

21 Mei 2008

Lagi: Tentang Tower Seluler di Seko

Kawan2 yang baik,

Menarik sekali dari ulasan2 yang disajikan oleh Kakanda Roberth dan saya mendukung sekali.

Saya sangat optimis dari apa yang selama ini sudah kita perjuangkan adalah bisa menjadi modal dalam membangun Seko dimasa yang akan datang. Saya melihat dari pengalaman saya selama ini ikut memperjuangkan pengakuan masyarakat adat Seko (lihat SK Bupati Luwu Utara No. 300/2004) perlu ada satu momentum yang kita bangun misalanya “HARI JADI TANAH SEKO� yang bisa dijadikan sebagai  ruang untuk saling ketemu, berbagi pengalaman, berbagi suka dan duka, berbagi sejarah asal-usul orang seko dari generasi ke generasi, menjadi forum untuk memperkuat seni dan budaya.

Kalau dari sekian momentum yang bisa kita mulai mengumpulkannya adalah antara lain kita bisa memeriksa “sejarah perjuangan Orang Seko untuk dibebaskan dalam pembayaran UPETI dari Kerajaan Luwu� atau dengan terbentuknya “Sub Distrik Seko� dijaman pemerintahan Kolonial Belanda, dll. Dengan adanya peringatan tahunan tersebut kita akan bisa lebih luas membahas masalah yang berkaitan dengan keberadaan Orang Seko sebagaimana telah kita diskusikan selama ini yang bisa kita dorong untuk jadikan sebagai  momentum tahunan untuk orang Seko dalam menata masa depannya.

Mungkin kawan2 ada yang bisa memberi justifikasi yang lain?

Salam,

Mahir Takaka

ALIANSI MASYARAKAT ADAT NUSANTARA
"Berdaulat Secara Politik - Mandiri Secara Ekonomi - Bermartabat Secara Budaya"


From: roberth w.maarthin [mailto:roberthw_maarthin@yahoo.co.id]
Sent: 18 Mei 2008 23:27


Yang Terhormat Kerabatku To Seko!

Suatu Permenungan

Menarik bahwa jejaring komunikasi To Seko di Perantauan mulai menggeliat dalam informasi dan pemikiran-pemikiran tentang masa depan Tondok/Lipu Seko.
Saya sungguh bersyukur dan berterima kasih atas semua usaha ini, terutama pada Yayasan Ina Seko dan beberapa teman-teman yang aktif di berbagai LSM/NGO yang selama ini intens memperhatikan To Seko.
Menyimak beberapa tulisan di WWW.geocities.com/inazeko, juga di http://toseko.blogspot.com/ dan beberapa mailing list Kanda pak. Dion atas surat-surat yang dikirim kealamat beliau, juga dari dinda Mahir Takaka.
Sungguh sebuah Ironi, bahwa ditengah peradapan Pasca modern ini kita To Seko masih harus berkutet soal-soal kebutuhan membangun sarana dan prasarana perkembangan Tondok/Lipu/ kampung kita. Saya tidak tahu, mengapa wilayah yang bernama Seko, dimana kita lahir, besar dan berjuang menggapai harapan, harus berlaku seperti itu?! Saya juga tidak berani menuduh atau melempar pada siapa tentang mengapa tercipta ‘situasi dan kondisi’ seperti ini.Yang jelas bahwa ini realitas kita, To Seko.
Bukan untuk dipersoalkan, bukan untuk dicari-cari akar terciptanya situasi dan kondisi itu! Tapi bagaimana mengubah situasi ini, menantang ketidak mungkinan manjadi mungkin. Mewujudkan mimpi dalam nyata!
Kita memang sangat tertinggal! Tiap kali saya pulang ke SEKO, tiap itu pula jalan yang sama saya lalui. Berliku-liku, kubangan lumpur, berbatu-batu. Saat hujan jalanan menjadi sungai kecil dan selalu membuatnya licin bukan saja untuk pejalan kaki juga bagi pengojek-pengojek yang merupakan “sarana tranportasi pilihan utama’ To Seko.
Saat-saat seperti itu, dibenak saya adalah…Apakah Seko juga merupakan wilayah NKRI yang sudah merdeka 63 tahun?
Kerabat yang kukasihi, saya yakin perasaan dan pemikiran seperti ini, juga kerabat miliki! Pertanyaan kemudian, apa yang bisa kita lakukan? Dalam Refleksi Perenungan ini, saya coba melihat dalam beberapa sisi.

Sosial Kultural To Seko!
Menarik tulisan Dinda Mahir. Bahwa To Seko memiliki kearifan lokal yang mesti dicermati sekaligus di pertahankan. Musyawarah Adat/Kerapatan Adat/Mufakat Adat. Memang bukan hanya ciri khas To Seko, sebab hampir semua suku-suku di Indonesia kaya tradisi ini. Persoalannya adalah, “mensitir� ungkapan Dinda Mahir, bahwa Musyawarah Adat/Kerapatan Adat/Mufakat Adat sudah lama hilang dari komunitas To Seko! Padahal ini merupakan Basic budaya To seko!

Belajat dari Sejarah
Dalam Penelitian dan Tulisan Kanda Zakaria Ngelow di Inazeko website, ketika orang-orang Seko terpaksa diaspora oleh Gerakan DI/TII. Basic Musyawarah Adat (sangat terlihat) jadi wahana (yang mengikat) orang-orang Seko Mengungsi/Diaspora dalam membangun dan membentuk suatu “komunitas ekskluif� dalam pendirian kampung-kampung dimana mereka mengungsi ketika itu. Demikian juga, ketika “operasi Pungholoi� merebut Seko kembali, atau disaat “mengembalikan pengungsi� ke Tanah airnya. Situasi ketika itu sangat “didominasi oleh Perasaan sebagai TO SEKO� hingga fungsi-fungsi Musyawarah Adat sangat efektif menggerakkan To Seko, bahu membahu, untuk pemulihan Kedaulatan To Seko. Demikian juga masa-masa ‘recorvery’ phsykies/mental dan pisik akhir thn 60-an sampai awal 80-an dimana pembentukan dan pembangunan perkampungan dilakukan atas Musyawarah Adat! Bahkan sampai pada hal-hal Pertanian pun diatur bersama. Seperti, musim menanam padi, berkebun/berhuma, Hutan mana boleh dibuka/digarap dan yang tidak boleh. Atau menentukan syukur tahunan atas panen segala hasil pertanian tanpa melihat latar belakang Agama.
Ada kurang lebih 15.000 – 20.000 jiwa (bahkan mungkin lebih) To seko Diaspora, tersebar di Donggala, Palu, Omu, Poso, Malili, Soroako, Wasuponda, Bone, Kampung Baru, Masamba, Sabbang, Palopo, Tanah Toraja, Makassar, Kalimantan, Jawa, Sumatra, Bali – Lombok, Irian, termasuk di Luar Negeri.

Sekarang Tanah Seko dikuasai oleh “MUSUH� Keterpencilan dan Keterbelakangan Pembangunan.
Sangat dibutuhkan suatu kesadaran dalam bentuk Kerapatan/Musyawarah Adat To Seko Diaspora untuk menghalau “MUSUH� Keterpencilan dan Ketertinggalan Pembangunan di Kampung kita! Bahkan lebih berat seperti ketika merebut Seko dari Tangan DI/TII Kahar Muzakar.
Dapatkah kita To Seko diaspora mengulang kembali ‘betapa dashyat’ akibat dari Kesatuan berbasis Kerapatan/Musyawarah adat itu? Bahwa Kerapatan/Musyawarah adat To SEKO Diaspora pernah membawa Pencerahan yang amat berarti untuk TO SEKO pada Masa DI/TII Kahar Muzakar!
Kalau Masa itu, To Seko Diaspora bahu-membahu memanggul senjata demi kemerdekaan “KAMPUNG-LIPU-TONDOK� masak sekarang tidak bisa?
Kalau zaman itu Pendahulu kita memanggul Senjata! Generasi sekarang memanggul Pena dalam bentuk pemikiran yang konstruktif, dalam bentuk ide yang Edukatif, Elegan dan membangun.
Persoalannya kemudian bahwa kita To Seko tidak lagi (maaf) menghargai dan belajar dari sejarah kita To Seko! Kerinduan melihat secara bersama-sama Kampung halaman dalam kungkungan “Musuh Ketertinggalan Pembangunan dan Keterpencilan� itu sepertinya bukan kebutuhan “kita bersama�. Kita sangat terpesona (mohon maaf lagi) dengan pencapaian dan target-target pribadi juga keluarga! Dengan membangun “citra� diri/keluarga atau “larut� pada Romantisme sejarah keluarga di masa lalu. Lalu bentuk target dan pencitraan itu seolah-olah menjadi bagian dari kemajuan To Seko!
Dan bila ada perhatian ke kampung halaman, itu juga dalam rangka target dan pencitraan yang dimaksud diatas (sungguh-sungguh saya minta maaf).

Pertanyaan penting di sikapi To Seko Diaspora, adalah : “Bagaimana Membuat Kampung-Tondok-Lipu To Seko dapat melepas rantai-rantai Isolasi yang membuatnya Terpencil sekaligus memutus rantai itu agar berlari mengejar ketertinggalan seperti bagian lain dari negeri ini!Â

Dalam catatan saya, Komunitas Masyarakat Seko diaspora yang tersebar dimana-mana itu, masing-masing memiliki Persatuan (kalau tidak mau disebut Musyawarah Adat/Kerapatan Adat Seko) sesuai latar belakang kampung para pengungsi dan daerah asal masing-masing. Seperti Persatuan Keluarga To Lemo, Persatuan Keluarga To Padang, Persatuan Keluarga to Seko Tengah. Belum lagi, Persatuan Pelajar – Mahasiswa – Pemuda Seko, dst-dst. Dimana Persatuan atau kerukunan itu menjadi suatu musyawarah/kerapatan adat bagi To Seko Diaspora.
Bahkan jauh sebelum itu, Musyawarah Adat merupakan Roh dan Etika bermasyarakat To Seko. Isitilah-istilah “TO BARA’�, “TO MAKAKA� adalah symbol-symbol Kerapatan Adat/Musyawarah Adat yang dibungkus kemasan “MUKOBU – MUKOBO - MA’BUA KALEBU�. To Bara’ - To Makaka merupakan Symbol Identitas Adat! Lambang Masyarakat Adat Seko. To Bara’ dan To Makaka lahir dalam ‘Mokubu – Mukobo - Ma’bua Kalebu�. Karena To Bara’ - To Makaka merupakan symbol Adat, maka dia tidak berdiri sendiri! Apalagi otonom! To Bara’ - To Makaka terikat pada nilai-nilai Mukobu – Mukobo - Ma’bua Kalebu ditengah Masyarakat SEKO.
Pada Zaman Prakemerdekaan To Bara’ - To Makaka, adalah Pemimpin dan “To Barani�, secara khusus menghadapi musuh-musuh dari luar Seko. Sebagai To Bara’ – To Makaka, ia akan terjun dalam medan perang dan memimpin langsung pertempuran menghalau musuh. Tapi pada masa normal, To Bara’ – To Makaka kembali hidup seperti biasa. Terjun kesawah, berladang, berburu,  hidupnya jadi panutan/teladan! Ia mendorong, memberi semangat dalam bidang apapun termasuk menyeleseikan berbagai persoalan kehidupan bermasyarakat. Dan bila ada persoalan/kasus yang tidak dapat diseleseikan, To Bara’ – To Makaka menghimpun masyarakat - Mukobu – Mukobo – Ma’bua Kalebu mencari jalan keluar terhadap persoalan/kasus tersebut.
To Bara’ – To Makaka sekaligus juga symbol kemandirian dan otonomisasi To Seko atas Daerah dan wilayah adat To Seko, tanpa dipengaruhi, terlebih dianggap sebagai bawahan (atau dalam kekuasaan) Daerah lain. Dari beberapa Goresan sejarah Lokal To Seko, dalam bentuk tulisan tangan para pendahulu juga catatan-catatan resmi Karya Ilmiah, termasuk kisah-kisah yang sering kita dengar dari orang-orang Tua To Seko, memberi “sinyal� bahwa To Seko sejak jaman dahulu kala adalah Daerah Merdeka, Otonom tanpa campur tangan kekuasaan dari daerah lain. Sampai pada zaman kemerdekaan seperti sekarang.
To Seko memang memiliki Daerah dan wilayah yang merupakan hak Ulayat, Hak adat, dan Hak kepemilikan. Termasuk Hak untuk mengelola, menikmati dan membangun daerahnya. Hak-hak itu dilindungi oleh Undang-undang!
Karena itu ia harus diberi ruang gerak oleh Pemerintah (daerah dan juga pusat) berdasar pada Undang-undang NKRI. Persoalan Hak ini menjadi serius kita sikapi demi otonomisasi dan hak hidup To Seko atas Tanah dan Wilayah Ulayatnya! Dalam kaitan dengan itu, Fungsi-fungsi To Bara’ – To Makaka yang akhir-akhir ini cukup ramei dibicarakan (diperebutkan??) To Seko di Kampung Halaman, mestinya juga memahami dengan sungguh dan benar! Bahwa kehadiran mereka bukan saja sebagai symbol adat To Seko, tetapi juga suatu pernyataan pada dunia luar bahwa Daerah dan Wilayah To Seko adalah daerah dan wilayah yang bertuan. Daerah dan Wilayah yang tidak boleh “dieksploitasi� dengan alasan apapun tanpa seijin Pemilik dan Tuan atas Daerah dan Wilayah tersebut. Terlebih dimiliki oleh “orang lain�.
Bukan hanya Para To Bara’ – To Makaka, tokoh-tokoh Agama dan Tokoh-tokoh masyarakat To Seko juga musti tahu! Musti Ikut memikir lalu menuangkan pemikiran itu dalam bentuk pragmatis dialogis di tengah komunitas To seko! Saya tahu, bahwa To Seko tidak pernah kehilangan Pemikir, tetapi dalam tatanan pragmatis dialogis para pemikir-pemikir itu amat lemah. Yang ini juga suatu persoalan kita To Seko.

Kalau zaman pra kemerdekaan To Bara’ – To Makaka menjadi To BARANI menghadapi musuh dari luar Tanah Seko, maka zaman sekarang, ia juga musti “berani� mempertahankan wilayah dan daerah To Seko dari berbagai “musuh� yang hendak “menggarong – mengeksploitasi� kekayaan alam To Seko. Sebab itu para To Bara’ – To Makaka harus didukung oleh seluruh Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat termasuk elemen-elemen yang ada didalam maupun di luar Tondok – Kampung – Lipu Seko untuk mempertahankan kerapatan/musyawarah adat To Seko dalam bungkus “MUKOBU – MUKOBO - MA’BUA KALEBU� untuk menjaga, memakai, membangun dan memelihara Daerah dan Wilayah To Seko. Hanya dengan cara seperti itu, Hak Ulayat, Hak Adat/budaya dan Hak kepemilikan atas daerah dan wilayah To Seko dapat dipertahankan. Persatuan dan Kesatuan sebagai To Seko yang terikat dalam Adat istiadat dan budaya yang sama, seharusnya menjadi Spirit kebersamaan yang mampu merantai seluruh To Seko diaspora maupun yang tinggal di Tondok – Kampung – Lipu. Tapi soal ini juga jadi masaalah bagi kita!.
Â
Masa Modern (Pasca Modern?) dan Jaringan Telepon Celuler di Seko?

Tidak ada satu bangsa di dunia ini yang mampu menghalau, mencegah, dampak dari perkembangan modernisasi. Bahkan Negara sehebat USA dan Jepang pun menjadi salah satu korban dampak buruk dari akibat modernisasi ini! Tetapi tidak semua hasil modernisasi buruk, sebab nyata bahwa spirit dibalik modernisasi adalah memudahkan Manusia dalam segala hal.
Modernisasi adalah suatu keadaan dimana terjadi “pemaksaan� sarana dan prasarana terhadap suatu daerah/wilayah/negara tanpa ada kesempatan untuk memilih terlebih menolaknya. Demikian juga di kampung halaman kita, Tondok – Kampung – Lipu Seko. Modernisasi, lambat atau cepat pasti merambat kesana.
Yang mestinya kita Kritisi bersama, bila perlu kita duduk bersama, adalah bagaimana menyuarakan persoalan-persoalan yang amat di butuhkan, bukan yang diinginkan oleh orang lain, termasuk oleh Pemerintah terhadap Masyarakat Seko, Kampung kita!
Sering kali Pemerintah kita terjebak pada rasa “sok tahu� bahwa program-program Pembangunan “terlalu sering� diyakini merupakan Kebutuhan Masyarakat. Termasuk rencana PEMKAB LUWU UTARA soal membangunan Tower Celuler di Seko.
Sebagai Putra Seko yang sudah merasakan dan memanfaatkan “Mobile Phone� tentu itu kita sambut gembira. Tapi ada yang dilupakan, bahwa membangun komunikasi mestinya dari dasar dulu. Dasar atas perkembangan kumonikasi antar/intra komunitas satu dan komunitas yang lain. Yaitu Komunikasi dalam bentuk interaksi! Interaksi satu daerah dan daerah yang lain. Dan Komunikasi seperti itu belum dirasakan, apalagi dinikmati oleh Komunitas Masyarakat Seko. Interaksi seperti ini, amat dibutuhkan oleh Masyarakat seko. Sebab interaksi yang demikian adalah dasar-dasar perkembangan Komunikasi. Dan dasar-dasar komunikasi adalah tersedianya sarana interaksi intra/antar Komunitas, yaitu tersedianya sarana jalan yang representatif!
Coba Kerabat renungkan, bagaimana mungkin suatu daerah terpencil seperti Seko akan mampu berkomunikasi (dalam arti luas) terhadap daerah lain hanya dengan Pengadaan dan Pembangunan Tower Telpon Celuler? Harus saya akui bahwa Pembangunan jaringan itu akan memperpendek jarak dan waktu kita bercakap-cakap dengan sanak saudara! Tapi apakah itu kebutuhan utama To Seko? Apakah itu dapat membangun Interaksi yang intens To Seko dengan Komunitas diluar sana? Apakah itu dapat berakibat pada peningkatan “income� To Seko? Atau mampu meningkatkan Sumber Daya Insani To Seko sehingga memiliki bergaining kuat terhadap orang lain? Dst-dst! Saya pikir, Tidak!
Inilah salah satu dampak negatif dari modernisasi! Serba Instan, serba mudah! Dan sering kali “menghilangkan� yang hakiki! Yang hakekat! Seolah-olah dengan pembangunan jaringan Tower celuler di daerah-daerah terpencil, maka masaalah komunikasi selesei, daerah terpencil seperti Seko segera terbuka! Solusi instan dan sangat tidak bertanggung jawab.
Saya berfikir tidak segampang itu! Pemerintah Kab. Luwu Utara, terlalu intans memahami Instruksi dan program MENGKOINFO. Juga terlalu instan dan gampang menunda-nunda pembangunan Jalan Raya menuju Seko! Saya mengerti, saya memahami betapa rakyat seko, membutuhkan seluruh akses Komunikasi, termasuk jaringan telepon celuler. Tetapi To seko bukan masyarakat mobile! Bukan pula masyarakat yang sudah membutuhkan komunikasi telepon tiap waktu!
Rencana itu, akal-akalan! Bukan menjawab kebutuhan Masyarakat!

Lalu Bagaimana dong?
Menerima kenyataan bahwa Pemkab Luwu Utara membatalkan Pembangunan Jalan menuju Seko dan berencana untuk Membangun Jaringan Telepon celuler di Seko perlu pemikiran yang konstruktif dan elegan dari setiap Tokoh-tokoh To Seko. Baik To Seko Diaspora maupun To Seko di Kampung Halaman. Pemikiran-pemikiran itu perlu disatukan, lalu disuarakan! Dinyatakan kepada Pemerintah! Sebab kalau To Seko hanya berdiam diri atau hanya terpekur dalam pemikiran saja, Musuh “Keterpencilan dan Ketertinggalan Pembangunan� di Kampung Halaman akan terus menjadi “Raja� atas Daerah dan Wilayah To Seko.
To Seko tidak perlu malu-malu (padahal butuh) menyuarakan kebutuhannya secara Politis dengan memproteksi daerah dan wilayahnya terhadap “eksploitasi� atas To Seko dari pihak manapun! Termasuk dari Pemerintah yang sering kali menjual “jamu� pada To Seko tiap kali “berkunjung� ke Daerah dan Wilayah To Seko.
Sebagai Daerah dan Wilayah NKRI, To Seko memiliki Hak untuk diperlakukan sejajar dengan saudara-saudaranya di daerah lain. Dan itu merupakan hak yang harus dituntut kepada pemerintah daerah maupun pusat. Persoalan berikut kemudian adalah, Apakah To Seko mampu bersuara Lantang, Kritis dan konstruktif untuk memperjuangkan Hak-hak itu?

Untuk itu perlu perenungan ini! Namanya saja Perenungan! Yang dihasilkan tentu saja sebuah perenungan! Perenungan atas persoalan-persoalan yang ada diseputar kehidupan kita To Seko. Â

RW Maarthin dan Keluarga.
Jl. Bgd. Aziz Chan 19 Padang 25111
Sumatra Barat.

13 Mei 2008

M.Samben: Transmisi Seluler di Seko?

Salam Kasih dalam Tuhan,

Pendirian tower trasmisi celluler betul-betul harus dicermati dan perlu pemahaman kepada masyarakat Seko bukan saja yang ada di kampung asal kita tapi juga dari kita to Seko di tempat lain.Peluang mendirikan tower komunikasi bisa saja digunakan orang lain untuk menarik keuntungan sepihak dengan mengiming-iming bahwa akan memberi kemudahan untuk bekomunikasi dengan keluarga diluar Tana Seko, namun akan berdampak buruk bagi ekonomi, budaya dan perkembangan generasi kita. Yang diutamakan membangun Seko adalah mengembangkan SDM, yang pada gilirannya akan berdapak pada berkembangnya wawasan, ekonomi, sosial, politik dan ........

Harapan kita dengan terbitnya buku kumpulan karangan mengenai Seko dapat memberi dampak positif yang signifikan.

Sehubungan dengan membangun SDM saya teruskan perenungan yang sempat saya copy dari internet "refleksi dan tindakan"

Perbedaan antara negara berkembang (miskin) dan negara maju (kaya) tidak tergantung pada negara itu. Contohnyanya negara India dan Mesir, umumnya lebih dari 2000 tahun, tetapi mereka tetap terbelakang (miskin. Di sisi lain- Singapura, Kanada, Australia dan New Zelan- negara yang umurnya kurang dari 150 tahun dalam membangun saat ini mereka adalah bagian dari negara maju di dunia dan penduduknaya tidak lagi miskin

Ketersediaan sumber daya alam suatu negara juga tidak menjamin negara itu menjadi kaya atau miskin. Jepang mempunyai area yang sangat terbatas, Daratannya, 80% berupa pegunungan dan tidak cukup untuk meningkatkan pertanian dan peternakan

Tetapi, saat ini Jepang menjadi raksasa ekonomi nomor dua di dunia. Jepang laksana suatu negara "industri terapung" yang besar sekali, mengimpor bahan baku dari semua negara di dunia dan mengekspor barang jadinya.

Negara manakah yang berhasil mengalahkan negara adikuarsa Amerika Serikat. Vietnam satu-satunya negara yang berhasil mengalahkan negara adikuasa Amerika Serikat. Vietnam berhasil mengusir Amerika Serikat dalam perang kemerdekaan pada tahun 1975. Mengapa? Sikap wirausaha bangsa Vietnam
Gigih, Ulet, Disiplin, Kerja Keras, Berani penuh perhitungan bukan .... ngawur / bonek-bondo nekat

Keberhasilan tidak datang tiba-tiba begitu saja. Keberhasilan adalah sebuah upaya yang dilakukan terus menerus dari penerapan nilai-nilai kewirausahaan.

Swiss negara sangat kecil, hanya 11% daratannya bisa ditanami. Swiss tidak mempunyai kebun coklat tetapi dikenal sebagai negara pembuat coklat terbaik di dunia.

Para eksekutif dari nagara maju dan dari negara terbelakang sependapat bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal kecerdasan.

Ras atau warna kulit juga bukan faktor penting. Para imingran di negara asalnya ternyata sumber daya yang sangat Produktif di negara-negara maju/kaya di Eropa.

Lalu Apa Bedanya??
Perbedaan pada sikap/ perilaku dan ... kemampuan berfikir masyarakatnya yang dibentuk sepanjang masa melalui kebudayaan dan pendidikan. Berdasarkan analisis atas perilaku masyarakat, ternyata mayoritas penduduk dinegara maju menerapkan prinsip-prinsip dasar sebagai berikut dalam kehidupan keseharian.

Prinsip Dasar Kehidupan :
1. Etika, sebagai prinsip prinsip dasar dalam kehidupan sehari-hari
2. Kejujuran dan integritas
3. Bertanggungjawab
4. Taat pada aturan & hukum masyarakat
5. Hormat pada hak orang /warga lain
6. Cinta pada pekerjaa/ profesi
7. Berusaha keras untuk menabung & investasi
8. Mau dan mampu bekerja keras
9. Sadar waktu, sadar mutu, sadar biaya.

Dinegara terbelakang/ miskin / berkembang, hanya, sebagian kecil (minoritas) masyarakatnya mematuhi prinsip dasar kehidupan di atas. Kita bukan miskin, terbelakang, karena kurang sumberdaya alam atau karena alam yang kejam kepada kita.
Kita terbelakang /lemah/miskin karena perilaku kita yang "kurang / tidak baik".
Kita kekurangan kemauan kemauan untuk mematuhi dan mengajarkan prinsip-prinsip dasar kehidupan yang memungkinkan kita pantas membangun masyarakat, ekonomi dan negara

Kita harus mulai dari mana saja. Kita HARUS BERUBAH dan BERTINDAK dan Perubahan harus kita mulai dari DIRI (MASYARAKAT )KITA SENDIRI.

Mari kita bangun bersama :
- kebanggaan (pride)
- harga diri (dignity)
- jati diri (identity)

Terima kasih

"martinus samben"

11 Mei 2008

Masyarakat Seko pada Masa DI/TII (1951-1965)

Malea Allo Mepantu’, Borrong Bulan Meampangngi: Masyarakat Seko pada Masa DI/TII (1951-1965)

ISBN: 978 - 979 - 17976 - 0 - 3

Intisari Isi Buku:

Buku kumpulan karangan ini memperlihatkan dinamika kehidupan masyarakat Seko pada masa pendudukan gerombolan pemberontak DI/TII tahun 1951 - 1965 di Sulawesi Selatan. Masyarakat Seko – yang terpencil di pegunungan Luwu (Utara), di hulu sungai Karama – baru mulai mengalami perubahan-perubahan sosial karena masuknya pendidikan moderen, pekabaran Injil, pemerintahan kolonial, dan ekonomi pasar pada tahun 1920-an, yang disusul pendudukan militer Jepang dan revolusi kemerdekaan Indonesia. Tetapi yang paling mendasar bagi sejarah dan identitas masyarakat Seko adalah pendudukan gerombolan pemberontak DI/TII. Sejak awal tahun 1950-an belasan tahun masyarakat Seko menghadapi kenyataan derita penindasan dan kekejaman serta pengungsian dari kekuasaan gerombolan. Masyarakat Seko menolak pemaksaan berpindah ke agama Islam, dan berbagai kelaliman gerombolan pemberontak itu; maka sambil menyusun kekuatan perlawanan, masyarakat Seko mengungsi ke daerah-daerah tetangga di Kalumpang (Karama, Karataun), sampai ke Tana Toraja dan ke Lembah Palu di Sulawesi Tengah.

Dalam bagian kedua buku ini dimuat beberapa karangan menyangkut masyarakat dan kebudayaan Seko, yang juga dimaksudkan sebagai suatu upaya melestarikan warisan masa lalu, yang kini makin terlupakan.

***

08 Mei 2008

SK Masyarakat Adat Seko

KEPUTUSAN BUPATI LUWU UTARA

Nomor 300 Tahun 2004

TENTANG

PENGAKUAN KEBERADAAN MASYARAKAT ADAT SEKO
DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI LUWU UTARA

Menimbang : a. Bahwa masayarakat Adat Istiadat dan Budaya meupakan Pilar utama kerjasama dalam menyelenggarakan Roda Pemerintahan yang yang harus tumbuh dan berkembang sesuai dengan semangat Undang-Undang Dasar 1945;

2. Bahwa di tanah Seko terdapat Adat Istiadat dan Lembaga Adat yang memiliki kearifan tumbuh dan berkembang secara turun temurun dan diakui oleh masyarakat Seko;

c. Bahwa maksud huruf (a) dan (b) tersebut diatas, maka perlu ditetapkan dengan Keputusan Bupati Luwu Utara.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Luwu Utara (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3826);

2. Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Azasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165; Tambahan Lembaran Negara nomor 3886).
3. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437);
4. Keputusan Menteri Agraria dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat;
5. Peraturan Daerah kabupaten Luwu Utara Nomor 53 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Kabupaten Luwu Utara Sebagai Daerah Otonomi (Lebaran Daerah Tahun 2004 Nomor 82);
6. Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Utara Nomor 12 Tahun 2004 tentang Pemberdayaan, Pelestarian, Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat (Lembaran Daerah Tahun 2004 Nomor 19).

Memperhatikan : Hasil Rapat Pembahasan Draft Keputusan Bupati Luwu Utara tentang Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat Seko tanggal 2 Desember 2004.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : KEPUTUSAN BUPATI LUWU UTARA TENTANG PENGAKUAN KEBERADAAN MASYARAKAT ADAT SEKO.

BAB I

Ketentuan Umum

Pasal 1

1. Daerah adalah Kabupaten Luwu Utara.
2. Bupati adalah Bupati Luwu Utara.
3. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom.
4. DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kab. Luwu Utara.
5. Pemerintah Desa adalah Kepala Desa dan Perangkat Desa.
6. Orang Seko adalah orang yang memiliki garis keturunan orang Seko baik yang ada didalam maupun diluar wilayah Adat Seko.
7. Wilayah Adat Seko adalah wilayah yang dipagari oleh Pegunungan, Sungai, Lembah dan Situs-situs Budaya.
8. Adat Istiadat alalah aturan prilaku yang diakui secara bersama-sama oleh suatu masyarakat yang memiliki asal-usul yang sama serta mendiami suatu wilayah tertentu dan memiliki Adat dan Istiadat yang sama.
9. Hukum Adat Seko adalah aturan atau norma yang tidak tertulis yang berlaku dalam setiap wilayah hukum adat Seko, yang bersifat mengatur, mengikat dan dipertahankan serta mempunyai sanksi yang dihargai dan dihormati oleh semua pihak.
10. Kelembagaan Adat Seko adalah Struktur Kepemimpinan Adat dan perangkat-perangkatnya yang memiliki dimasing-masing Wilayah Adat di Seko.

BAB II

PENGAKUAN TERHADAP MASYARAKAT ADAT SEKO.

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 2

Pemerintah Daerah mengakui Masyrakat Adat Seko sebagai komunitas Masyarakat Adat yang memiliki Tata Nilai, Sistem Hukum Adat dan Kelembagaan Adat.

Bagian kedua

Masyarakat Adat Seko.

Pasal 3

Masyarakat Adat Seko adalah masyarakat yang berdasarkan asal-usul leluhur dan mendiami wilayah adat Seko serta memiliki tata nilai dan atau norma-norma adat istiadat serta lembaga adat yang diakui bersama secara turun temurun dan memiliki kearifan-kearifan lokal.

Bagian ketiga

Daerah dan Wilayah Masyarakat Adat Seko.

Pasal 4

Daerah Seko terdiri dari 3 (tiga) daerah yakni Seko Lemo, Seko Tengah, Seko Padang

Pasal 5

Wilayah Masyarakat Adat Seko meliputi 9 (Sembilan) wilayah hukum adat, yang terdiri dari;

1. Singkalong;
2. Turong;
3. Lodang;
4. Hono’;
5. Ambalong;
6. Hoyane;
7. Pohoneang;
8. Kariango;
9. Beroppa’.

Pasal 6

Wilayah hukum adat Seko sebagimana dimaksud dalam pasal 5 (lima) akan ditentukan kemudian berdasarkan kesepakatan dengan prinsip keadilan, kejujuran, dan keterbukaan dengan melibatkan pihak-pihak yang terkait.

Bagian keempat

Kelembagaan Masyarakat Adat Seko.

Pasal 7

Masyarakat Adat Seko memiliki 9 (sembilan) kepemimpinan tertinggi di masing-masing wilayah hukum adat tersebut, yakni:

1. To Key Singkalong : Pemangku Adat Singkalong;

2. Tu Bara’ Turong : Pemangku Adat Turong;

3. Tu Bara’ Lodang : Pemangku Adat Lodang;

4. Tu Bara’ Hono : Pemangku Adat Hono;

5. To Bara’ Ambalong : Pemangku Adat Ambalong;

6. To Bara’ Hoyane : Pemangku Adat Hoyane;

7. To Bara’ Pohoneang : Pemangku Adat Pohoneang;

8. To Mokaka Kariango : Pemangku Adat Kariango;

9. To Mokaka Beroppa’ : Pemangku Adat Beroppa’.

Pasal 8

Alat kelengkapan lembaga adat sebagaimana disebutkan pada pasal 7 (tujuh) akan disempurnakan lebih lanjut melalui musyawarah adat setempat.

BAB III

PERLINDUNGAN TERHADAP MASYARAKAT ADAT SEKO.

Pasal 9

Pemerintah Daerah wajib melindungi Masyarakat Adat Seko sebagai komunitas Masyarakat Adat yang memiliki Tata Nilai, Sistem Hukum Adat dan Kelembagaan Adat.

Pasal 10

Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 (sembilan) diatas diwujudkan dengan cara:

1. Setiap pemberian izin pemenfaatan sumber daya alam di Wilayah Masyarakat Adat Seko harus sepengetahuan Masyarakat Adat Seko;
2. Pemerintah wajib memberdayakan, melestarikan, melindungi dan menghormati lembaga adat Seko.

BAB IV

Penutup

Pasal 11

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dengan ketentuan bahwa apabila dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan di dalamnya akan diadakan perbaikan ataupun penyempurnaan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di Masamba

Pada tanggal 23 - 12 - 2004

BUPATI LUWU UTARA

H. M. LUTHFI MUTTY

Diundangkan di Masamba

Pada tanggal, 23 – 12 – 2004

SEKRETARIS DAERAH

DRS. A. CHAERUL PANGERANG

PKT PEMBINA TK 1

NIP : 010 108 780

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA TAHUN 2004 NOMOR 25.4.

Tembusan Kepada Yth :

1. Gubernur Prop. Sulawesi Selatan di Makassar;
2. Ka. Badan Koordinasi Wil. I Prop. Sulawesi Selatan di Pare-Pare;
3. Ketua DPRD Kab. Luwu Utara di Masamba;
4. Ka. Bawasda Kab. Luwu Utara di Masamba;
5. Kadis P dan K Kab. Luwu Utara di Masamba;
6. Camat Seko di Eno;
7. Para Kades Kec. Seko;
8. Para Pemangku Adat Kec. Seko;
9. Pertinggal.

Seko: Perlu Langkah Strategis

A. Mangoting

Mencermati perkembangan yang ada di Seko dalam soal pembangunan maka ada beberapa catatan kecil yang meski kami sampaikan, walaupun kami bukan orang Seko tetapi dalam beberapa hal, kami sudah diterima sebagai salah seorang “warga Seko”. Untuk itu, mohon perkenan untuk beberapa informasi dari kami sesuai pengamatan di lapangan, juga dalam serangkaian pembinaan dan diskusi yang kami lakukan selama tiga kali kunjungan ke Seko pada tahun 2007.
Pertama, Kalau kita cermati, mungkin memang soal jaringan HP yang ingin masuk ke Seko, menurut analisis saya di lapangan, memang akan menjadi sebuah “bencana” bagi masyarakat Seko. Memang hal yang amat mendesak untuk dibangun adalah sarana jalan.
Kedua, Masyarakat Adat Seko harus berdaulat di tengah-tengah masyarakat di Indonesia. Untuk itu, perlu pengembangan dan pembangunan di sekitar masyarakat adat Seko, sehingga orang Seko bernar-benar-benar dapat eksis dalam perkembangan yang ada dan tidak tergusur dari kampung halamannya. Masyarakat Adat Seko sudah diakui pada tahun 2004 tetapi penguatan ke arah itu, itulah yang menjadi sebuah pekerjaan berat.
Ketiga, Masalah HPH. Pada tahun 1996, kami sudah meneliti mengenai banjir yang dialami oleh masyarakat di Malangke dan sekitarnya. Kesimpulan kami, semua itu akibat dari penebangan kayu di hutan secara membabi buta dan dampak hal itu masih terasa hingga sekarang. Belum lagi kerugian lain. Perusahaan HPH ini jugalah yang “mencuri” kekayaan orang Seko dan merusak masa depan, termasuk dampak langsung ke daerah sekitarnya termasuk Mamuju. Belum lagi perkebunan yang akan dibuka di Seko. Bahkan sejumlah data yang kami peroleh, sudah ribuan HA tanah Seko bukan lagi orang Seko yang memilikinya. Banyak orang luar yang masuk mengkapling tanah di Seko.
Keempat, soal jaringan HP yang akan masuk, ini juga merupakan salah satu stategi bisnis untuk mengeruk keuntungan dari masyarakat Seko. Mungkin memang kerugian lebih banyak dcari keuntungan. Tergantung bagaimana masyarakat menyikapi dan menggunakan teknologi itu. Persoalan ini tentu, mau atgau tidak mau, siap atau tidak siap, tetapi persoalan sekarang bagaimana menyiapkan masyarakat menyikapi perkembangan dan lompatan atau kilat pembangunan yang akan dialami oleh masyarakat Seko.

Persoalan paling berat
Persoalan yang paling berat adalah bagaimana mendampingi saudara-saudara kita di Seko untuk menghadapi kehidupan ini, sehingga mereka mampu eksis dan tidak tergilas oleh pembangunan termasuk kilat pembangunan yang akan dialami mereka.
Jadi kalau kita tidak mampu mengadakan pendampingan dalam menghadapi persoalan sekaligus peluang , maka masyarakat di Seko akan korban.
Kita butuhkan langkah-langkah kecil dan sederhana tetapi kalau dapat, kita sedikit berlari dalam soal pendampingan sehingga korban dari pembangunan dapat diperkecil.
Marilah kita mengambil peran sekecil apapun dalam rangka mengantisipasi persoalan yang akan dihadapi oleh masyarakat Seko.
Jadi kita butuhkan langkah strategis. Kalau setiap kita dapat mengabil peran, maka tentu persoalan-persoalan itu akan semakin kecil, dan yang muncul adalah peluang dan buah-buah yang berguna bagi kita semua.
Siapa lagi kalau bukan kita !!!

05 Mei 2008

Mahir Takaka: Tentang HP di Seko

Dear kawan-kawan Seko dkk yang baik,

Menarik sekali dengan tulisan dari Set Asmapane. Dalam dunia yang semakin modern ini kita harus mampu menunjukkan bahwa Masyarakat Adat Seko harus mampu untuk:

1. BERDAULAT SECARA POLITIK dalam arti bahwa kita harus mengembalikan otonomi asli masyarakat adat Seko dengan menghidupkan lagi musyawarah adat sebagai demokrasi tertinggi. Kita sudah lama kehilangan yang namanya Mukobu (Umumnya dilakukan di Seko Padang), Mukobo (umumnya dilakukan di Seko Tengah) dan Ma’bua Kalebu/Kombongan/...??? (umunya dilakukan di Seko Lemo). Dengan musyawarah adat inilah yang menjadi roh masyarakat adat Seko sehingga sekarang ini kita masih eksis. Namun masalah dan tantangannya adalah kita sudah hampir melupakannya sehingga tidak jarang konflik yang terjadi sudah tidak mampu lagi kita selesaikan. Saya sangat yakin kalau demokrasi tertinggi ini kita bangkitkan dan kita revitalisasi kembali Seko akan menjadi masyarakat yang mampu mengelola semua sumber daya yang kita miliki yang sudah diwariskan oleh nenek moyang kita secara turun-temurun. Pemerintahan Adat harus kita kembalikan dengan semangat SK Bupati Luwu Utara No. 300/2004 tentang Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat Seko. Demikian halnya beberapa perundang-undangan yang bisa dijadikan sebagai rujukan (UUD 45 pasal 18B ayat 1 dan 2, dll). Untuk itu saya meminta dukungan kawan2 untuk memberikan kontribusi mengenai hal ini. Posisi tawar kita dalam ranah politik kita hampir tidak memiliki kekuatan. Sudah berapa kali PEMILU yang diikuti oleh Orang Seko namun tidak mampu kita menghasilkan kader-kader politik yang mampu memperjuangkan pengakuan hak-hak masyarakat adat Seko. Apalagi dalam konteks mendorong alokasi pembangunan yang berkeadilan bagi masyarakat adat Seko.

2. MANDIRI SECARA EKONOMI, kita “masyarakat adat Seko” sangat melimpah ruah dengan potensi sumber daya alam namun kita tidak pernah mandiri secara ekonomi. Kita punya hutan adat namun yang merasakan manfaatnya adalah justru orang luar. Saya yakin kawan2 masih ingat bagaimana HPH PT. KTT mengangkut kayu2 dari wilayah adat kita. Termasuk pohon damar yang nenek moyang kita tanaman demi untuk anak cucunya. Dengan pengalaman ini, mari kita mendorong sebuah penyadaran kritis untuk menengok kembali potensi sumber daya alam lainnya yang juga sudah dilirik oleh prang luar. Kita juga sudah mendengar adanya rencana Eksplorasi Tambang di Seko yang diawali oleh PT. North Mining dan sekarang masih sedang berlangsung. Kita juga punya padang savanna yang cukup menjadi kebanggaan kita “orang bilang sebagai California ke dua” sementara kepemilikannya sudah dipihak ke tigakan oleh pemerintah ke PT. Seko Fajar sekitar 35.000 ha dan sudah sekitar 1.100 ha yang disertifikasi atas nama pribadi. Kalau semua rencana ini berjalan, kita akan kehilangan lagi dan secara hukum memang kita sudah kehilangan. Mau kemana lagi generasi yang ada saat ini dana akan cucu kita bergembala ternak (Pasang-pasang) sudah habis di ambil oleh orang luar. Kita punya hasil hutan non kayu lainnya (rotan, madu, obat-obatan, dll). Dengan pengalaman ini apa yang harus kita lakukan..............???????????



3. BERMARTABAT SECARA BUDAYA, kawan2 masih ada yang ingat bagaimana bentuk rumah, pakaian, hukum adat, tari/seni, peradilan adat. Saya sangat sedih ketika anak-anak kita yang sudah sekolah diluar dan pulang kampung dengan bangga sudah menggunakan bahasa Indonesia. Saya juga sangat sedih acara-acara tahunan yang berlangsung di Tana Seko lebih meriah dengan budaya2 luar dari pada budaya-budaya asli kita. Saya juga sedih ketika kurikulum pendidikan lokal justru yang diajarkan adalah budaya dari luar. Saya masih ingat ketika tahun 70-an, guru2 masih mengajar membuat atap dari bambu, alang-alang, sapu ijuk, dll. Saya sangat prihatin kalau kita tidak memikirkan untuk mencari langkah-langkah memperkuat kembali budaya asli Seko, kita akan kehilangan budaya. Saya juga sedih ketika membaca buku tulisan dari Andriani (peneliti dari Belanda) yang melakukan penelitian di Seko dan berhasil mengumpulkan ada 11 macam ukiran yang khas di Seko tapi saat ini klita tidak menemukannya lagi termasuk rumah asli.

Atas renungan ini, saya tidak bermaksud menggurui kawan2 namun ini saya sampaikan sebagai bagian dari berbagi rasa dan semoga mampu menggugah.


Mengenai rencana pembangunan tower HP di Seko, saya hanya melihat dari segi positifnya saja. Dengan dunia modern dimana globalisasi menjadi raja, memang kita tidak bisa menghindarinya. Saya melihat dengan rencana pembangunan sarana telekomunikasi di Seko justru akan mampu mendukung konslidasi antara orang Seko yang ada di luar/rantau dengan keluarga yang masih berkomitmen untuk tinggal dan mempertahankan hak-hak masyarakat adat Seko.


Hal-hal lain adalah sudah saatnya kita merebut seluruh sumber daya yang masih kita miliki untuk mempertahankan wilayah adat kita.


Salama’



Mahir Takaka

Hp. 08111103798

Email: mtakaka@aman.or.id / mtakaka@telapak.org / mtakaka2003@yahoo.com

03 Mei 2008

Mencermati Manfaat Jaringan Seluler di Seko

Yang Terhormat Bapak/Ibu PEMDA LUWU UTARA
di -
MASAMBA.



Membaca berita posting di Website PEMDA LUTRA soal Internet di Desa-desa LUWU UTARA (14 Maret 2008) sungguh menggembirakan dan salut untuk Program itu.
Yang jadi Persoalan kemudian adalah, beberapa Kecamatan di Lutra sampai saat ini masih terisolasi oleh karena akses jalan raya yang tidak ada! Apakah PEMDA LUTRA sudah memikir Pembangunan dan Pengadaan Transmisi Celluler (Tower) yang akan dibangun di Desa-desa yang berada di Kecamatan SEKO? Buat kami orang Seko, Internet bukan kebutuhan! Telekomunikasi Telepon pun belum menjadi suatu kebutuhan! Yang kami butuhkan adalah, SARANA JALAN RAYA! Jalan Raya menuju Seko adalah kebutuhan utama Rakyat SEKO! Dalam beberapa kali Perkunjungan kami ke Seko, kami sering bercakap-cakap dengan Pak Camat, baik camat yang dulu pun Pak Camat yang sekarang! Karena itu, mohon Bapak BUPATI untuk memprioritaskan Pembangunan Jalan Raya sebagai Sarana untuk Pembangunan dan peningkatan Ekonomi Masyarakat Seko! Dan sebagai Putra-putri Seko, meminta agar Sarana Jalan Raya menjadi Program Utama! Kami tahu, Pemerintahan Pusat memprogramkan Celluler masuk desa, Tapi program ini dilaksanakan pada daerah-daerah yang sudah ada akses jalan raya. Saya menjadi heran atas Program PEMDA LUTRA soal ini! Apakah ini Daerah Seko sudah memiliki Ruas jalan yang representatif sehingga komunikasi celluler dapat membantu kemudahan berkomunikasi masyarakat seko?
Saya berpendapat, KAMI TO SEKO tidak butuh itu (setidak-tidaknya dalam beberapa waktu kedepan) Yang amat mendesak ialah Pembangunan Jalan Raya menuju SEKO!


NB :

Email ini adalah email yang ke-4 saya kirim ke PEMDA LUTRA via http://www.luwuutara.go.id/


Salam Pak Angel!

Mencermati Manfaat Jaringan Seluler di Seko

Set Asmapane


Sepintas memang kita pasti berpendapat bahwa dengan dibangunnya tower (menara transmisi) telepon seluler di Seko, Ambalong dan Beroppa, maka komunikasi antara orang yang tinggal di seko dengan orang seko diperantauan akan lebih lancar, memang hal ini adalah benar, namun menurut saya pembangunan menara transmisi tersebut bukan yang prioritas dan bukan yang mendesak dibutuhkan oleh orang seko. Saya sependapat dengan kekhawatiran Om Pak Dion bahwa itu akan justru membuat masyarakat seko menjadi konsumtif dibidang telekomunikasi yang dalam hal ini sangat kontra produkstif dengan kondisi masyarakat seko yang masih dalam tarap mengumpulkan nafka untuk menyambung/mempertahankan kehidupan dan maaf belum sampai kepada pola hidup untuk memmenuhi kebutuhan sekunder.

Menurut saya kalau toh ada pembangunan fisik/infra struktur yang harus dilakukan ke seko, maka yang pertama harus dibangun adalah Kualitas Sumber Daya Manusianya baik itu kualitas intelektualnya maupun kualitas imannya, karena sudah banyak negara di belahan dunia yang membuktikan bahwa kualitas sumber daya manusia yang tinggi akan menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat, sekalipun sumber daya alam kurang. Kalau seko kita kenal kaya dengan sumber daya alam tetapi sumber daya manusianya tidak berkualitas, maka yang akan menikmati kekayaan sumber daya alam nantinya adalah orang lain (pendatang).

Selain itu pembangunan yang juga dipandang prioritas bagi seko adalah pembangunan infra struktur terutama membuka keterisolasian masyarakat Seko dengan Sabbang, Mamuju, Palu dan Tana Toraja. Kalau akses ini bisa terbuka maka orang seko tidak perlu lagi membeli kebutuhan pokok dengan harga mahal lalu menjual hasil produksi pertanian atau peternakan dengan harga yang murah. Kondisi ini yang membuat masyarakat seko sangat tidak berdaya dalam perdagangan selalu membeli barang dgn harga mahal, tetapi menjual hasil dengan harga murah. Untuk itu program pembangunan jalan ke seko perlu didorong oleh semua elemen orang seko baik itu rakyat, LSM, Yayasan dan Pemerintah agar dapat diakses dengan mudah. Pembangunan jalan ini akan membawa efek multiplier yang tinggi dalam pertumbuhan ekonomi di seko, karena dengan terbukanya jalan tsb maka harga beli kebutuhan primer dan mungkin sekunder diseko tidak akan semahal sekarang dan sebaliknya masyarakat seko sudah bisa menjual hasil-hasilnya dengan harga yang lebih mahal, dengan demikian akan meningkatkan perputaran uang di seko yang akhirnya akan meningkatkan Pendapatan Domestik Bruto orang seko.

Setelah pembangunan sarana dan prasaran yang mendasar di lakukan serta pertumbuhan ekonomi masyarakat seko sdh memadahi untuk kebutuhan primer, barulah kita memikirkan untuk kebutuhan sekunder seperti telekomunikasi melalui Hand Phone. Saya paham bahwa dalam dunia moderen siapa yang tidak menguasai informasi maka akan jadi pecundang, namun demikian kondisi masyarakat di seko belum dalam tatanan tersebut, masih dalam tatanan pembenahan kebutuhan hidup yang mendasar.

Saya pikir sudah tepat jika di seko untuk sementara amasih menggunakan telepon satelit, dimana setiap basis kampung diusahakan ada satu, agar informasi yang ingin disampaikan baik dari seko maupun ke seko bisa lancar, toh kominikasinya baru sebatas kebutuhan yang sangat temporer, bukan seperti dikota besar yang kehidupan dan pekerjaannya sangat tergantung kepada alat komunikasi berupa hand phone. Untuk itu masyarakat seko perlu menyadari tawaran pembangunan dari pihak2 tertentu jangan sampai pembangunan tersebut tdak membawa kesejahteraan tetapi justru mendatangkan kesengsaraan akibat dampak dari pembangunan tersebut yang belum tepat dengan kondisi masyakat kita.

Mohon maaf bila komentar saya tidak berkenan, Imanuel

Samarinda, 30 April 2008

Set Asmapane

Hp 18125506003

29 April 2008

Masyarakat Seko Pada Masa DI/TII (1951-1965)

Terbit dalam jumlah terbatas: Buku Kumpulan Karangan mengenai Sejarah, Masyarakat dan Kebudayaan Seko (360 hlm). Informasi harga per buku segera menyusul. Pesan secepatnya melalui email: zngelow@yahoo.com

Zakaria J. Ngelow & Martha Kumala Pandonge (eds)

Malea Allo Mepantu’, Borrong Bulan Meampangngi: Masyarakat Seko Pada Masa DI/TII (1951-1965)
Yayasan Ina Seko, Makassar, 2008


Baru pada awal dekade ketiga abad ke-20 masyarakat Seko – yang terpencil di pegunungan Luwu (Utara), di hulu sungai Karama -- mulai mengalami perubahan-perubahan sosial karena masuknya pendidikan moderen, pekabaran Injil, pemerintahan kolonial, dan ekonomi pasar, yang disusul pendudukan militer Jepang dan revolusi kemerdekaan Indonesia. Tetapi yang paling mendasar bagi sejarah dan identitas masyarakat Seko adalah pendudukan gerombolan pemberontak DI/TII.


Buku kumpulan karangan mengenai Seko ini memperlihatkan perjalanan masyarakat Seko melalui kesaksian dan pengalaman sejumlah pelaku sejarah. Sejak awal tahun 1950-an belasan tahun masyarakat Seko menghadapi kenyataan derita penindasan dan kekejaman serta pengungsian dari kekuasaan gerombolan. Masyarakat Seko menolak pemaksaan berpindah ke agama Islam, dan berbagai kelaliman gerombolan pemberontak itu; maka sambil menyusun kekuatan perlawanan, masyarakat Seko mengungsi ke daerah-daerah tetangga di Kalumpang (Karama, Karataun), sampai Tana Toraja dan ke Lembah Palu.


Dalam bagian kedua buku ini dimuat beberapa karangan menyangkut kebudayaan Seko, yang juga dimaksudkan sebagai suatu upaya melestarikan warisan masa lalu, yang kini makin terlupakan. Mudah-mudahan buku ini berguna pula untuk kalangan yang lebih luas, misalnya mendorong upaya meneliti dan menerbitkan “sejarah masyarakat Kristen” di pegunungan Sulawesi Selatan, Barat, Tengah dan Tenggara pada masa gerombolan DI/TII Kahar Muzakkar.

ISBN

Daftar Isi
Pengantar & Terima kasih

Bagian I Sejarah Seko
1. Zakaria J. Ngelow - Sejarah Ringkas Masyarakat Seko
2. Tahir Bethony – Catatan Mengenai Pemerintahan Seko
3. Tahir Bethony – Catatan Mengenai Pendidikan di Seko
4. Zakaria J. Ngelow - Gugurnya Lamba’ Kalambo dan Betulang Tomallo’ di Rantepao.
5. Zakaria J. Ngelow – Kesaksian Beberapa Pelaku Sejarah.
6. Y. K. Ngelow, Pengalaman Perjuangan Masa Revolusi dan Masa Gerombolan
7. P.K. Bethony - DI/TII di Seko, 1953-1963
8. M. Tandiappang - Mengungsi dari Beroppa’
9. Petrus Katjang – Pengalaman Seorang Pengungsi Seko
10. Abdi Bangkalang - Gelombang Pengungsian Toseko Padang
11. Silas Rapa, Jemaat - Jemaat Kristen Seko di Lembah Palu
12. Silas P. Kalambo - Komando Operasi Ponghuloi (Seko 1963-1964)
13. Daftar Martir Seko Masa Gerombolan DI/TII (1953-1965)
14. Kronologi Peristiwa

Bagian II Masyarakat dan Kebudayaan Seko
15. J. Kruyt – Ma’bua’ dan Moronno’
16. Y. Tippo’ - Sallombengang dan Roka
17. Y. Tipppo’ dkk - Tari Lumondo
18. Marsunyi Bangai -- Budaya Tradisional di Pohoneang
19. Estepanus Tahuleliki - Kesenian Seko
20. Y.K. Ngelow – Tolemo Tempo Doeloe
21. Martha Kumala - Beberapa Tradisi To Seko Lemo
22. Martha Kumala - Masa Depan Bahasa Daerah To Seko Lemo
23. Thamar Masa - Syair Baendon
24. Mahir Takaka - Pengalaman Masyarakat Adat Seko
25. Darius Ngelow - Membangun Seko: Beberapa Pertimbangan
26. Aleksander Mangoting - Kesan-kesan Perkunjungan ke Seko
27. Beberapa Lagu Rakyat Seko

Data Para Penulis

Beberapa Ide Membangun Seko

[Surat dari Seth Asmapane, 28 April 2008]

Syalom!
Ada beberapa pemberitaan mengenai Seko secara keseluruhan baik melalui media elektronik, media cetak serta informasi melalui orang2 tertentu, kita sekalipun Seko masih bergumul dengan predikat daerah tertinggal, namun paling tidak sudah ada upaya dari pihak2 tertentu dan pemerintah serta orang Seko sendiri untuk memajukan kehidupan perekonomian, kehidupan pendidikan, kesehatan dan teristimewa kehidupan bidang spritualitas masyarakatnya yang pluralist. Untuk mengejar ketertinggalan masyarakat Seko tersebut maka tidak ada alternatif lain kecuali menggalakkan pembangunan yang multi dimensi yang sifatnya partisipatif dalam arti program pembanguna yg multi dimensi tadi benar2 melibatkan elemen masyarakat Seko yang sangat mengerti akan kebutuhannya.Untuk itu ada beberapa ide yang dapat saya sampaikan (kalau ide ini sudah terlambat ya syukurlah kalau sudah dilakukan) antara lain:

1. Untuk pembangunan fisik berupa sarana prasarana di Seko sebaiknya diusulkan agar pemerintah melibatkan LSM atau lembaga sosial yang ada di Seko (orang Seko) untuk mengawasi jalannya pembangunan tersebut agar anggaran pembangunan tersebut benar2 tepat sasaran, hal ini untuk menghindari terjadinya korupsi dana pembangunan di Seko.

2. Pembangunan fisik terserbut sebaiknya merupakan rumusan pembangunan dari masyarakat Seko yang mengerti akan kebutuhan pembangunan yg prioritas di Seko misalnya akses jalan poros Seko - Sabbang.

3. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka perlu adanya keterwakilan orang Seko di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten, sehingga ada saluran aspirasi yg tepat bagi masyarakat seko. Juga termasuk jika dimungkinkan ada orang Seko yang menjadi camat di Seko agar benar-benar dapat memberjuangkan masyarakatnya.

4. Untuk pembangunan dibidang pertanian mohon agar diusulkan kepada pemerintah kabupaten untuk pengupayakan Pegawai Penyuluh Lapangan Pertanian ke Seko agar dapat memberikan penyuluhan kepada masyarakat dalam bertani.

5. Untuk pembangunan bidang spritual saya sangat setuju dengan program yang sedang digalakkan oleh Alexander Mangoting dengan teman-temanya untuk mencetak tenaga pemberdayaan di Seko melalui program pendidikan satu tahun ke Jawa, hanya saja perlu diperjelas program pendidikannya agar relevan dengan kebutuhan orang seko.

6. Khusus untuk tenaga pelayan yakni Pendeta di Seko yang masih sangat kurang, agar Yayasan Ina Seko mengajukan kepada Badan Pekerja Majelis Sinode Gereja Toraja untuk melakukan 2 hal:
a. Menambah tenaga Pendeta di Seko dimana gaji dari para Pendeta tersebut harus dibayar khusus dari BPMS melalui anggaran khusus yang dibebankan kepada Jemaat di Kota yang mampu membantu program tersebut agar Pendeta tidak khawatir dengan jaminan hidupnya.
b. Harus ada MoU antara BPMS Gereja Toraja dengan Pendeta yang akan ditempatkan di Seko menyangkut periode maksimal mereka bertuga di seko, misalnya maksimal 5 tahu sudah harus keluar dari Seko ke jemaat lain, agar tidak ada lagi Pendeta yang menolak ditempatkan di Seko karena khawatir akan pensiun atau menghabiskan waktu berpuluh tahun di seko, sekalipun kelihatannya hanya sebagai batu loncatan bagi para pendeta namun yang penting adalah tujuan pelayanan/pembinaan iman bagi masyarakat Seko sudah tercapai.

7. Untuk program pendidikan yang digalakkan oleh Yayasan Ina Seko, perlu penyebaran informasi yang lebih luas mengenai dua hal yakni a) bantuan buku bacaan (bekas) kepada murid di Seko dan b) honor untuk guru bidang studi tertentu. Mungkin ada baiknya Yayasan mengirim surat secara resmi kepada perwakilan2 orang Seko di daerah2 tertentu untuk membantu dua hal diatas, sehingga atas dasar surat resmi dari Yayasan Ina Seko tersebut perwakilan/orang yang ditunjuk tersebut dapat berusaha/bergerak secara legal dan pasti didukung oleh orang Seko yang sudah mampu membantu hal tersebut.

8. Mohon Yayasan Ina Seko melakukan pendekatan dan pencerahan kepada orang tua dan calon mahasiswa dari Seko agar jangan asal kuliah, maksudnya selalu memilih jurusan yang relative gampang maaf misalnya “Bahsa Indosesia”, “PMP/Sejarah” dll, tetapi agar benar-benar memilih jurusan di Perguruan Tinggi yang memang masih sangat dibutuhkan pasar tenaga kerja, sehingga setelah selesai kuliah bisa berkompetisi dgn yg lain, bukan kembali ke Seko menjadi “patteke”. Prinsipnya jangan kuliah asal kuliah tetapi kuliah yang punya goal yang jelas, karena sekarang zamanya sudah beda dengan zaman dulu dimana “pekerjaan mencari orang”, sekarang “orang memperebutkan pekerjaan”.

9. Hal lain yang turut memprihatinkan saya (syukurlah kalau ini sdh hilang) yakni pola kuliah di Palopo yang tinggal di gubuk-gubuk dimana dulu terbukti banyak yang gagal dari pada yang berhasil karena akibat kehidupan bebas dalam gubuk, sehingga bukannya pulang ke Seko membawa prestasi kuliah yang baik tetapi pulang ke Seko membawa prestasi pertambahan populasi penduduk. Hal ini dulu pernah sangat mengendorkan semangat orang tua untuk menyekolahkan anaknya pada perguruan tinggi khususnya di Palopo. Untuk itu mungkin lebih baik mereka didorong untuk kuliah dengan menumpang dirumah orang sehingga terawasi dan lebih tertantang untuk belajar keras.

Demikian ide2 yang dapat saya sampaikan, jika tidak berkenan mohon maaf!

Set Asmapane
Hp 18125506003

25 Februari 2008

Jiwa Climbers

oleh Hibur Tanis

1.Hidup Kita Terus Mendaki

Kita dilahirkan dengan satu dorongan inti yang manusiawi untuk terus Mendaki Pendakian = menggerakkan tujuan hidup ke depan, apa pun tujuan itu Pendakian bagi setiap orang bisa berkaitan dengan macam-macam hal Setiap pendakian selalu ada tantangan, yang tidak dapat dijawab hanya dengan IQ atau EQ yang tinggi.


2. Adversity Quotient (AQ) AQ = Penentu utama bagi kesuksesan mencapai puncak pendakian AQ memperlihatkan bagaimana seseorang merespon kesulitan serta perubahan-perubahan yang dihadapinya Orang ber-AQ tinggi mampu mengubah tantangan menjadi peluang untuk sukses. Dalam kenyataannya, respon orang dalam menghadapi pendakian tidak sama. Ada yang langsung berhenti di awal pendakian (Quitters), ada yang berhenti dan tinggal di pertengahan pendakian (Campers), dan sebagian kecil yang terus bergerak menuju puncak pendakian (Climbers) Hanya yang memiliki AQ tinggi (ulet, gigih, tekun, tahan banting, tabah dan pantang menyerah) yang mampu menembus berbagai kesulitan, dan bergerak terus ke pendakian yang semakin tinggi

3. Quitters Jumlah mereka cukup banyak, sehingga mereka tidak perlu kesepian Mereka memilih untuk keluar, menghindari kewajiban, mundur dan berhenti di awal pendakian Quitters bekerja sekedar cukup untuk hidup, punya semangat yang minim, mengambil resiko sesedikit mungkin, dan biasanya tidak kreatif Melawan atau menghindari perubahan Mereka umumnya menggunakan kata-kata yang sifatnya membatasi, yang menyatakan bahwa sesuatu tidak bisa jalan atau dilaksanakan (=ungkapan pesimis) Mereka tidak punya visi, dan kontribusi mereka dalam kehidupan sangat kecil


4. Campers = Jumlah mereka lumayan banyak juga Mereka mendaki tidak seberapa tinggi, lalu berhenti Mereka mencari tempat yang datar dan nyaman untuk berkemah, yang dijadikan tempat bersembunyi dari situasi yang semakin tidak bersahabat Mereka telah menanggapi tantangan pendakian dan telah mencapai tingkat tertentu Pendakian yang tidak selesai itu dianggap sebagai kesuksesan Mereka tidak bisa mempertahankan keberhasilan itu, karena pendakian adalah pertumbuhan dan perbaikan seumur hidup pada diri seseorang, Campers Campers memfokuskan energinya pada kegiatan mengisi tenda Campers melepaskan kesempatan untuk maju, yang sebenarnya dapat mereka capai Campers menciptakan semacam "penjara yang nyaman", sebuah tempat yang terlalu enak untuk ditinggalkan Mereka memiliki pekerjaan yang bagus dan gaji serta tunjangan yang cukup layak. Mereka cukup bahkan sangat puas dengan itu Campers adalah satisficer, yang merasa puas diri dengan keadaan yang sudah mereka capai Masih terbuka untuk merespon perubahan, namun menolak perubahan besar yang mengganggu kenyamanan mereka Lebih banyak menggunakan bahasa kompromi, yang memberi alasan mengapa pendakian sebetulnya tidak perlu dilanjutkan.

5. Climbers Sebutan bagi yang membaktikan dirinya bagi pendakian Jumlah mereka sedikit dibandingkan Quitters dan Campers Pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan dan tak membiarkan apa saja menghalangi pendakian mereka. Kegembiraan yang sesungguhnya adalah anugerah dan imbalan atas pendakian yang telah dilakukan Tidak pernah melupakan "kekuatan" dari perjalanan yang pernah ditempuhnya Climbers sering merasa sangat yakin pada sesuatu yang lebih besar daripada diri mereka. Inilah yang membuat mereka dapat bertahan, meski orang lain sudah menyerah Kadang merasa perlu mundur untuk bergerak lebih maju lagi.Climbers menempuh kesulitan-kesulitan dengan keberanian dan disiplin diri yang tinggi.Kadang mereka berkumpul di perkemahan Campers, tapi hanya untuk mengumpulkan tenaga baru (Campers barada disana untuk menetap = rumah) Menyambut baik tantangan yang disodorkan pada mereka Dapat memotivasi diri sendiri, memiliki semangat tinggi, dan berjuang mendapatkan yang terbaik dalam hidup Cenderung membuat segala sesuatunya terwujud Membaktikan diri pada pertumbuhan dan belajar seumur hidup Akrab dengan prinsip perbaikan terus menerus Climbers tidak berhenti pada gelar atau jabatan saja Mereka selalu mencari cara-cara baru untuk bertumbuh dan berkontribusiClimbers menyambut baik bahkan mendorong perubahan Memanfaatkan tantangan yang ditawarkan oleh perubahan untuk bergerak maju ke atas Bahasa yang mereka gunakan penuh dengan kemungkinan, berbicara mengenai apa yang bisa dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya Climbers memberi kontribusi paling besar dalam kehidupan Kesulitan bukan sesuatu yang asing bagi mereka. Climbers tidak melanjutkan pendakian karena kurangnya tantangan. Mendaki sama dengan berenang kehulu Banyak Climbers yang sudah berada di puncak mempunyai latar belakang yang suram dan bergelimang kesulitan Mereka memahami betul bahwa kesulitan adalah bagian dari hidup. Maka menghindari kesulitan sama dengan menghindari kehidupan.

> Saya yakin utuk saat ini, satu-satunya putra Seko yang memiliki jiwa Climbers adalah dia yang sedang membaca tulisan ini.

17 Februari 2008

Meninggal: Pdt. Yan Tandilolo,M.Div

Di saat-saat kebaktian pelepasan jenazah Ny. Barnece Sonda Samben, isteri guru senior dari Seko, A. Kamandi Samben, tanggal 16 Februari sore di Seriti, Lamasi Timur, saya menerima berita melalui HP bahwa Om Papa Lori (Pdt. Yan Tandilolo) baru saja dipanggil ke rumah Bapa dalam perawatan di RS UKI, Cawang, Jakarta. Sebelumnya pada saat-saat kritis saya sempat berbicara dengan Tante Mama Lori (Ny. magda Tandilolo-Bassiang) dan Tante Mama Richard (Ny. Tien Lembeh, iparnya) yang menunggui di ICU.

Almarhum Om Papa Lori lahir pada tgl 31 Desember 1939 di Beroppa', Seko. Putra H. Takudo, Kapala Beroppa. Menikah dengan Magdalena Bassiang, seorang perawat, dan dikaruniai seorang putri (Laurie) dan 2 orang putra (Edo dan Theo). Dalam jajaran Gereja Toraja pernah menjadi Ketua Sinode Wilayah II Luwu, Sekretaris Umum Badan Pengurus Sinode KUGT (Pdt. Dr. Theo Kobong sebagai Ketua), dan Pendeta Klasis Jawa, dan Moderamen Sinode. Pernah menjadi sekretaris dan kemudian Ketua PGIW Jakarta Raya dan sekitarnya.

Almarhum bertumbuh sebagai seorang remaja/pemuda pada saat-saat Seko diduduki Gerombolan DI/TII, tetapi kemudian dapat melarikan diri dan merantau. Almarhum menempuh pendidikan teologi pada Sekolah Pendeta Makassar, kemudian melanjutkan beberapa lamanya di Australia dalam bidang Christian Education, dan kemudian juga di STT Tiranus Bandung.

Dengan meninggalnya Om Tandilolo masyarakat Seko kehilangan salah seorang tokoh kebanggaannya. Semoga Tuhan menguatkan Tante Mama Lori, adik-adik Laurie, Theo dan Edo serta seluruh keluarga.

Catatan Wawancara

Tahun 1946 Yan Tandilolo ke Makale masuk Lagere School (berbahasa Belanda sampai tahun 1949, lalu berbahasa Indonesia), tammat tahun 1952. Pulang ke kampung dan berencana sekolah lagi tapi tidak bisa karena pendudukan gerombolan. Sempat ikut SMP gerombolan di Pehoneang, yang diajar a.l. oleh Lembeh (kakaknya), Fr. Pataang Sa'bi, Lallo Bethony, dan Panunda. Tidak lanjut, dan akhirnya menjadi pengawal Magading, komandan gerombolan yang tinggal satu tahun di Beroppa'. Magading dengan 46 orang anak buahnya (termasuk Yan Tandilolo) meninggalkan perjuangan gerombolan DI/TII ke arah Mauju. Sesudah beberapa bulan mengembara tanpa tujuan dalam kelompok kelompok kecil-kecil (3 orang), mereka akhirnya menyerahkan diri kepada TNI Batalyon 441/Diponegoro di Sempaga pada tanggal 21 April 1954.

Setelah bebas dari gerombolan Yan Tandilolo pergi ke Makki menjumpai orang tua yang sudah mengungsi di sana. Lalu Yan Tandilolo melanjutkan sekolah di SMP Kristen di Makale, menumpang pada kel. Kombo' Saroengngoe'. Waktu itu ada Kel. Lallo Bethony dan Tandi di Makale yang bekerja pada KUGT. Karena sudah pernah mengikuti pelajaran di SMP gerombolan, Yan Tandilolo dites dan ternyata bisa langsung masuk ke kelas III. Pihak Katolik menawarkan masuk SMP Katolik dengan gratis, tetapi Yan menolak. Menjelang Ujian Kel. Kombo' pindah ke Palopo sehingga pindah menumpang pada Kel. Lallo Bethony. Yan menammatkan SMP pada tahun 1957. Pada tahun 1957 itu Yan ikut PON IV di Makassar sebagai tim kebelasan sepak bola. Bersama Kadette' mereka tinggal di Makassar pada Kel. Silomba (J.S. Latief). Sesudah PON itu Yan masuk Sekolah Asisten Apotekker (di dekat Benteng Ujung Pandang) sambil belajar pada suatu SMA untuk Pegawai, yang a.l. diajar oleh Pak Siriwa (Ir.Piet Siriwa). Tidak sempat tammat. Pada suatu kesempatan jumpa dengan M.E. Duyverman (dosen Akademi Theologia Makassar), lalu Yan diterima masuk sekolah teologi pada tahun 1958. Teman-temannya a.l. Tony Furinor, dan Ch. Takandjandji, serta D.P. Kalambo.

Tammat Akademi Teologia Makassar pada tahun 1962. Tahun 1963 ikut pemuda PGI (caravan team ke Manado pimpinan Pak Kobong); dan tahun 1964 magang di GKI Jatim membantu Drs. Han Bian Kong. Diurapi sebagai pendeta Gereja Toraja pada bulan April 1965. Tahun 1965-1968 bertugas di Parepare; Pertengahan 1968 ke DGI (bekerja di Komisi Pemuda). Tahun 1969 ada tawaran beasiswa untuk studi di luar negeri. Dari 50 calon, hanya Yan (ke Australia) dan seorang dari HKBP (ke Filipina) yang lulus. Di Australia sempat menghadiri suatu konperensi PAK se-Asia di Perth (selama 3 minggu) pada tahun 1969. Bulan April 1970 sampai April 1972 studi di Australia di bidang Christian Education. Bulan Agustus 1972 ditempatkan di Palopo.

(Wawancara tgl 17 April 1991 di Tanjung Priok, Jakarta)

Zakaria Ngelow

Merayakan Kehidupan

Refleksi pada Ibadah Pemakaman almarhumah Ny. Barnece Sonda Samben
Seriti, 16 Februari 2008

Salam sejahtera.

Pada kesempatan ini saya sampaikan dua pokok refleksi singkat.

A. Pertama, Catatan dari Sejarah Seko.

Saya sedang merampungkan naskah sejarah masyarakat Seko. Mudah-mudahan terbit secepatnya. Saya juga berharap ada kawan-kawan yang meneliti dan menulis sejarah masyarakat Ranteballa/Pantilang, Rongkong, Maleku/Mangkutana, Kalumpang, Tana Toraja, Mamasa/PUS, Bugis Soppeng, Bugis Makassar, dan lain-lain masyarakat Kristen, yang menderita pada masa Gerombolan DI/TII. Khusus sejarah Ranteballa/Pantilang saya sudah bicara dengan Pdt. J.R. Pasolon, dosen sejarah Gereja STAKN Toraja. Mudah-mudahan pada waktunya dapat diterbitkan supaya anak cucu kita tahu sejarah masyarakat kita, khususnya periode tahun 1950-an - 1960-an masa penghambatan gereja oleh Gerombolan DI/TII.

Ada 3 kesimpulan yang saya ingin sampaikan dari sejarah masyarakat Seko. Pertama terkait dengan pengungsian. Orang Seko memilih mengungsi karena mempertahankan imannya kepada Tuhan Yesus Kristus menentang pemaksaan dan kelaliman Gerombolan DI/TII. Adanya masyarakat Seko di Seriti ini terkait dengan pengungsian karena iman itu.

Yang kedua, iman Kristen masyarakat Seko bukanlah pilihan gampang, melainkan dipertahankan dengan korban nyawa. Saya mendata para korban yang terbunuh masa Gerombolan DI/TII. Angka sementara 96 orang martir Kristen Seko, dan kemungkinan akan bertambah lagi setelah korban-korban diungkapkan.

Kesimpulan ke-3 mengenai pendidikan masyarakat Seko. Sekolah yang pertama dibuka di Kariango (kampung Pdt. Yahya Boong) pada tahun 1923. Kemudian di Pohoneang, di Beroppa’ dan lain-lain. Yang mencolok dalam hal pendidikan ini adalah gairah anak-anak Seko untuk bersekolah. Bahkan setelah tamat di Seko banyak yang melanjutkan di luar Seko: Masamba, Rongkong, Rantepao, Ma’kale, Palopo. Dan umumnya mereka yang menyelesaikan pendidikannya pulang ke Seko menjadi guru. Tidak terlalu lama mereka sekolah, hanya beberapa tahun, tetapi mereka menjadi guru yang benar guru: pengetahuan mereka mantap dan sikap mereka matang, serta komitmen mereka untuk pulang memajukan masyarakat Seko sangat tinggi. Mereka serius belajar dan rela menderita dalam perjuangan. Bagaimana anak-anak Seko berjuang dalam penderitaan bisa ditelusuri dari hidup menumpang ma’baso’-baso’ di rumah orang sampai hidup dalam “gubuk derita”. Berbeda dengan kenyataan dewasa ini, banyak orang berpendidikan tinggi dan dengan gampang mendapat gelar kesarjanaan yang isinya kosong. Karena itu jangan terkecoh dengan gelar-gelar kesarjaaan. Gelar bisa dibeli. Kalau orang suka pamer gelar kesarjaaannya, periksa apa memang ada isi di balik gelar itu; apakah apa yang dikemukakannya bermakna, dan apakah kata-katanya terbukti dalam tindakan dan komitmennya.

Salah satu temuan saya dalam sejarah masyarakat Seko mengenai pendidikan dan para guru ini adalah adanya beberapa guru yang bersekolah pada tahun-tahun awal kemerdekaan tidak pulang mengabdi di Seko. Bukan karena tidak mau melainkan karena kenyataan pendudukan gerombolan dan pengungsian. Saya mencatat secara khusus empat orang guru yang “hilang” di rantau; semuanya kebetulan keluarga saya: Kamandi, Tuttung, dan 2 dari 3 Guru Sa’bi – Frans dan Philipus Sa’bi. Hanya Pither Guripang Sa’bi yang sempat pulang. Mereka yang tidak pulang itu jadinya menikah dengan “orang luar” di rantau. Namun sekali pun tidak pulang, mereka tetap berkomitmen melayani dalam dunia pendidikan sebagai guru dan mengangkat nama orang Seko di rantau. Begitulah maka Om Kamandi menikah dengan Tante almarhumah.

B. Merayakan Kehidupan

Sampai di sini saya masuk pada pokok refleksi yang kedua: merayakan kehidupan. Belakangan ini mulai dikembangkan pendekatan baru kedukaan orang Kristen. Bukan lagi kesedihan dan penghiburan, melainkan ucapan syukur merayakan kehidupan. Intinya adalah mengucap syukur atas kasih dan kemurahan Tuhan memberi alamarhum/ah kehidupan dan menuntunnya menjalani kehidupan yang bermakna. Kita bisa bertanya apakah ada yang sungguh-sungguh patut kita syukuri atas kehidupan almarhumah Tante Mama Yako’? Pasti banyak hal; tetapi saya ingin menekankan 2 hal saja. Pertama-tama mendampingi Om Kamandi sehingga Om dapat menjalankan panggilannya baik sebagai guru maupun sebagai tokoh gereja dan tokoh masyarakat. Dalam hubungan itu dan yang bagi saya sangat penting adalah menjadi Ibu bagi anak-anaknya, adik-adik saya para Samben yunior ini. Sering orang mengatakan kesimpulan yang keliru bahwa kalau anak-anak lao sala, ibunya yang dipersalahkan; tetapi kalau anak-anak sukses bapaknya yang dipuji-puji. Yang saya mau katakan adalah fakta keberhasilan adik-adik saya para Samben muda ini: tidak saja rata-rata menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi, tetapi juga dalam karir masing-masing – dengan kelebihan dan kekurangan – mereka diterima, dihargai, diakui mutu pemikiran dan ketrampilan kerja serta pelayanan di dalam gereja dan masyarakat. Dan inilah satu pokok penting yang harus disyukuri atas hidup alamarhumah Tante, yang bersama-sama dengan Om, sukses mendidik dan menyekolahkan anak-anak dan mengantar mereka menjadi Samben-Samben muda yang membuat nama Samben tidak sekadar nama biasa, melainkan suatu nama yang bergema, yang memuat makna tertentu, makna keberhasilan, makna sumber daya manusia yang diandalkan. Dalam percakapan sambil lalu dengan beberapa keluarga saya kemukakan bahwa alamarhuman Tante adalah seorang torampe yang sungguh istimewa karena kesuksesannya melalui anak-anaknya; pada hal Tante almarhumah hanyalah ibu rumah tangga biasa. Alamarhumah patut menjadi teldan kita semua.

Saya tidak membesar-besarkan keluarga saya ini. Tetapi itulah faktanya dan itulah yang kita harus syukuri, kita rayakan. Kenyataan membawa suatu nama besar memang bisa menjadi beban bagi anak-anak dan cucu, para Samben muda. Tetapi kita meletakannya dalam perspektif iman bahwa Tuhan yang memberi Tuhan pula yang memampukan mereka membawa dan mempertanggungjawabkan nama besar itu. Dalam hubungan itu refleksi ini saya akhiri dengan mengutip satu ayat lain, ayat 7 dari Yesaya 26:

Jejak orang benar adalah lurus,
sebab Engkau yang merintis jalan lurus baginya.


Zakaria Ngelow