09 November 2009

Celluler di SEKO? Suatu refleksi

Suatu Permenungan
Toseko-Lipu-Tondok
10 Nov 2009 12:58pm


Menarik bahwa jejaring komunikasi To Seko di Perantauan mulai menggeliat dalam informasi dan pemikiran-pemikiran tentang masa depan Tondok/Lipu Seko.
Saya sungguh bersyukur dan berterima kasih atas semua usaha ini, terutama pada Yayasan Ina Seko dan beberapa teman-teman yang aktif di berbagai LSM/NGO yang selama ini intens memperhatikan To Seko.
Menyimak beberapa tulisan di WWW.geocities.com/inazeko, juga di http://toseko.blogspot.com/ dan beberapa mailing list Kanda pak. Dion atas surat-surat yang dikirim kealamat beliau, juga dari dinda Mahir Takaka.
Sungguh sebuah Ironi, bahwa ditengah peradapan Pasca modern ini kita To Seko masih harus berkutet soal-soal kebutuhan membangun sarana dan prasarana perkembangan Tondok/Lipu/ kampung kita. Saya tidak tahu, mengapa wilayah yang bernama Seko, dimana kita lahir, besar dan berjuang menggapai harapan, harus berlaku seperti itu?! Saya juga tidak berani menuduh atau melempar pada siapa tentang mengapa tercipta ‘situasi dan kondisi’ seperti ini.Yang jelas bahwa ini realitas kita, To Seko.
Bukan untuk dipersoalkan, bukan untuk dicari-cari akar terciptanya situasi dan kondisi itu!
Tapi bagaimana mengubah situasi ini, menantang ketidak mungkinan manjadi mungkin.
Mewujudkan mimpi dalam nyata!
Kita memang sangat tertinggal! Tiap kali saya pulang ke SEKO, tiap itu pula jalan yang sama saya lalui. Berliku-liku, kubangan lumpur, berbatu-batu. Saat hujan jalanan menjadi sungai kecil dan selalu membuatnya licin bukan saja untuk pejalan kaki juga bagi pengojek-pengojek yang merupakan “sarana tranportasi pilihan utama’ To Seko.(catatan : Sejak february 2009, Penerbangan kembali di buka-Red)
Saat-saat seperti itu, dibenak saya adalah…Apakah Seko juga merupakan wilayah NKRI yang sudah merdeka 63 tahun?
Kerabat yang kukasihi, saya yakin perasaan dan pemikiran seperti ini, juga kerabat miliki! Pertanyaan kemudian, apa yang bisa kita lakukan? Dalam Refleksi Perenungan ini, saya coba melihat dalam beberapa sisi.

Sosial Kultural To Seko!


Menarik tulisan Dinda Mahir. Bahwa To Seko memiliki kearifan lokal yang mesti dicermati sekaligus di pertahankan. Musyawarah Adat/Kerapatan Adat/Mufakat Adat. Memang bukan hanya ciri khas To Seko, sebab hampir semua suku-suku di Indonesia kaya tradisi ini. Persoalannya adalah, “mensitir” ungkapan Dinda Mahir, bahwa Musyawarah Adat/Kerapatan Adat/Mufakat Adat sudah lama hilang dari komunitas To Seko! Padahal ini merupakan Basic budaya To seko!

Belajar dari Sejarah!


Dalam Penelitian dan Tulisan Kanda Zakaria Ngelow di Inazeko website, ketika orang-orang Seko terpaksa diaspora oleh Gerakan DI/TII. Basic Musyawarah Adat (sangat terlihat) jadi wahana (yang mengikat) orang-orang Seko dipengungsian/Diaspora dalam membangun dan membentuk suatu “komunitas ekskluif” ketika mendirkian/membangun kampung-kampung baru, dimana mereka mengungsi ketika itu. Demikian juga, ketika “operasi Pungholoi” merebut Seko kembali, atau disaat “mengembalikan pengungsi” ke Tanah airnya. Situasi ketika itu sangat “didominasi oleh Perasaan sebagai TO SEKO” hingga fungsi-fungsi Musyawarah Adat sangat efektif menggerakkan To Seko, bahu membahu, untuk pemulihan Kedaulatan To Seko. Demikian juga masa-masa ‘recorvery’ phsykies/mental dan pisik akhir thn 60-an sampai awal 80-an dimana pembentukan dan pembangunan perkampungan dilakukan atas Musyawarah Adat! Bahkan sampai pada hal-hal Pertanian pun diatur bersama. Seperti, musim menanam padi, berkebun/berhuma, Hutan mana boleh dibuka/digarap dan yang tidak boleh. Atau menentukan syukur tahunan atas panen segala hasil pertanian tanpa melihat latar belakang Agama (Kristen-Islam).
Ada kurang lebih 15.000 – 20.000 jiwa (bahkan mungkin lebih) To seko Diaspora, tersebar di Donggala, Palu, Omu, Poso, Malili, Soroako, Wasuponda, Bone, Kampung Baru, Masamba, Sabbang, Palopo, Tanah Toraja, Makassar, Kalimantan, Jawa, Sumatra, Bali – Lombok, Irian, termasuk di Luar Negeri.

Sekarang Tanah Seko dikuasai oleh “MUSUH” Keterpencilan dan Keterbelakangan Pembangunan.
Sangat dibutuhkan suatu kesadaran dalam bentuk Kerapatan/Musyawarah Adat To Seko Diaspora untuk menghalau “MUSUH” Keterpencilan dan Ketertinggalan Pembangunan di Kampung kita! Bahkan lebih berat seperti ketika merebut Seko dari Tangan DI/TII Kahar Muzakar.
Dapatkah kita To Seko diaspora mengulang kembali ‘betapa dashyat’ akibat dari Kesatuan berbasis Kerapatan/Musyawarah adat itu? Bahwa Kerapatan/Musyawarah adat To SEKO Diaspora pernah membawa Pencerahan yang amat berarti untuk TO SEKO pada Masa DI/TII Kahar Muzakar!
Kalau Masa itu, To Seko Diaspora bahu-membahu memanggul senjata demi kemerdekaan “KAMPUNG-LIPU-TONDOK” masak sekarang tidak bisa?
Kalau zaman itu Pendahulu kita memanggul Senjata! Generasi sekarang memanggul Pena dalam bentuk pemikiran yang konstruktif, dalam bentuk ide yang Edukatif, Elegan dan membangun.
Persoalannya kemudian bahwa kita To Seko tidak lagi (maaf) menghargai dan belajar dari sejarah kita To Seko! Kerinduan melihat secara bersama-sama Kampung halaman dalam kungkungan “Musuh Ketertinggalan Pembangunan dan Keterpencilan” itu sepertinya bukan kebutuhan “kita bersama”. Kita sangat terpesona (mohon maaf lagi) dengan pencapaian dan target-target pribadi juga keluarga! Dengan membangun “citra” diri/keluarga atau “larut” pada Romantisme sejarah keluarga di masa lalu. Lalu bentuk target dan pencitraan itu seolah-olah menjadi bagian dari kemajuan To Seko!
Dan bila ada perhatian ke kampung halaman, itu juga dalam rangka target dan pencitraan yang dimaksud diatas (sungguh-sungguh saya minta maaf).

Pertanyaan penting di sikapi To Seko Diaspora, adalah : “Bagaimana Membuat Kampung-Tondok-Lipu To Seko dapat melepas rantai-rantai Isolasi yang membuatnya Terpencil sekaligus memutus rantai itu agar berlari mengejar ketertinggalan seperti bagian lain dari negeri ini!

Dalam catatan saya, Komunitas Masyarakat Seko diaspora yang tersebar dimana-mana itu, masing-masing memiliki Persatuan (kalau tidak mau disebut Musyawarah Adat/Kerapatan Adat Seko) sesuai latar belakang kampung para pengungsi dan daerah asal masing-masing. Seperti Persatuan Keluarga To Lemo, Persatuan Keluarga To Padang , Persatuan Keluarga to Seko Tengah. Belum lagi, Persatuan Pelajar – Mahasiswa – Pemuda Seko, dst-dst. Dimana Persatuan atau kerukunan itu menjadi suatu musyawarah/kerapatan adat bagi To Seko Diaspora.

Bahkan jauh sebelum itu, Musyawarah Adat merupakan Roh dan Etika bermasyarakat To Seko. Isitilah-istilah “TO BARA’”, “TO MAKAKA” adalah symbol-symbol Kerapatan Adat/Musyawarah Adat yang dibungkus kemasan “MUKOBU – MUKOBO - MA’BUA KALEBU”. To Bara’ - To Makaka merupakan Symbol Identitas Adat! Lambang Masyarakat Adat Seko. To Bara’ dan To Makaka lahir dalam ‘Mokubu – Mukobo - Ma’bua Kalebu”. Karena To Bara’ - To Makaka merupakan symbol Adat, maka dia tidak berdiri sendiri! Apalagi otonom! To Bara’ - To Makaka terikat pada nilai-nilai Mukobu – Mukobo - Ma’bua Kalebu ditengah Masyarakat SEKO.

Pada Zaman Prakemerdekaan To Bara’ - To Makaka, adalah Pemimpin dan “To Barani”, secara khusus menghadapi musuh-musuh dari luar Seko. Sebagai To Bara’ – To Makaka, ia akan terjun dalam medan perang dan memimpin langsung pertempuran menghalau musuh. Tapi pada masa normal, To Bara’ – To Makaka kembali hidup seperti biasa. Terjun kesawah, berladang, berburu, hidupnya jadi panutan/teladan! Ia mendorong, memberi semangat dalam bidang apapun termasuk menyeleseikan berbagai persoalan kehidupan bermasyarakat. Dan bila ada persoalan/kasus yang tidak dapat diseleseikan, To Bara’ – To Makaka menghimpun masyarakat - Mukobu – Mukobo – Ma’bua Kalebu mencari jalan keluar terhadap persoalan/kasus tersebut.
To Bara’ – To Makaka sekaligus juga symbol kemandirian dan otonomisasi To Seko atas Daerah dan wilayah adat To Seko, tanpa dipengaruhi, terlebih dianggap sebagai bawahan (atau dalam kekuasaan) Daerah lain. Dari beberapa Goresan sejarah Lokal To Seko, dalam bentuk tulisan tangan para pendahulu juga catatan-catatan resmi Karya Ilmiah, termasuk kisah-kisah yang sering kita dengar dari orang-orang Tua To Seko, memberi “sinyal” bahwa To Seko sejak jaman dahulu kala adalah Daerah Merdeka, Otonom tanpa campur tangan kekuasaan dari daerah lain. Sampai pada zaman kemerdekaan seperti sekarang.
To Seko memang memiliki Daerah dan wilayah yang merupakan hak Ulayat, Hak adat, dan Hak kepemilikan. Termasuk Hak untuk mengelola, menikmati dan membangun daerahnya. Hak-hak itu dilindungi oleh Undang-undang!

Karena itu ia harus diberi ruang gerak oleh Pemerintah (daerah dan juga pusat) berdasar pada Undang-undang NKRI. Persoalan Hak ini menjadi serius kita sikapi demi otonomisasi dan hak hidup To Seko atas Tanah dan Wilayah Ulayatnya! Dalam kaitan dengan itu, Fungsi-fungsi To Bara’ – To Makaka yang akhir-akhir ini cukup ramei dibicarakan (diperebutkan??) To Seko di Kampung Halaman, mestinya juga memahami dengan sungguh dan benar! Bahwa kehadiran mereka bukan saja sebagai symbol adat To Seko, tetapi juga suatu pernyataan pada dunia luar bahwa Daerah dan Wilayah To Seko adalah daerah dan wilayah yang bertuan. Daerah dan Wilayah yang tidak boleh “dieksploitasi” dengan alasan apapun tanpa seijin Pemilik dan Tuan atas Daerah dan Wilayah tersebut. Terlebih dimiliki oleh “orang lain”.
Bukan hanya Para To Bara’ – To Makaka, tokoh-tokoh Agama dan Tokoh-tokoh masyarakat To Seko juga musti tahu! Musti Ikut memikir lalu menuangkan pemikiran itu dalam bentuk pragmatis dialogis di tengah komunitas To seko! Saya tahu, bahwa To Seko tidak pernah kehilangan Pemikir, tetapi dalam tatanan pragmatis dialogis para pemikir-pemikir itu amat lemah. Yang ini juga suatu persoalan kita To Seko.

Kalau zaman pra kemerdekaan To Bara’ – To Makaka menjadi To BARANI menghadapi musuh dari luar Tanah Seko, maka zaman sekarang, ia juga musti “berani” mempertahankan wilayah dan daerah To Seko dari berbagai “musuh” yang hendak “menggarong – mengeksploitasi” kekayaan alam To Seko. Sebab itu para To Bara’ – To Makaka harus didukung oleh seluruh Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat termasuk elemen-elemen yang ada didalam maupun di luar Tondok – Kampung – Lipu Seko untuk mempertahankan kerapatan/musyawarah adat To Seko dalam bungkus “MUKOBU – MUKOBO - MA’BUA KALEBU” untuk menjaga, memakai, membangun dan memelihara Daerah dan Wilayah To Seko. Hanya dengan cara seperti itu, Hak Ulayat, Hak Adat/budaya dan Hak kepemilikan atas daerah dan wilayah To Seko dapat dipertahankan. Persatuan dan Kesatuan sebagai To Seko yang terikat dalam Adat istiadat dan budaya yang sama, seharusnya menjadi Spirit kebersamaan yang mampu merantai seluruh To Seko diaspora maupun yang tinggal di Tondok – Kampung – Lipu. Tapi soal ini juga jadi masaalah bagi kita!.

Masa Modern (Pasca Modern?) dan Jaringan Telepon Celuler di Seko?

Tidak ada satu bangsa di dunia ini yang mampu menghalau, mencegah, dampak dari perkembangan modernisasi. Bahkan Negara sehebat USA dan Jepang pun menjadi salah satu korban dampak buruk dari akibat modernisasi ini! Tetapi tidak semua hasil modernisasi buruk, sebab nyata bahwa spirit dibalik modernisasi adalah memudahkan Manusia dalam segala hal.
Modernisasi adalah suatu keadaan dimana terjadi “pemaksaan” sarana dan prasarana terhadap suatu daerah/wilayah/negara tanpa ada kesempatan untuk memilih terlebih menolaknya. Demikian juga di kampung halaman kita, Tondok – Kampung – Lipu Seko. Modernisasi, lambat atau cepat pasti merambat kesana.
Yang mestinya kita Kritisi bersama, bila perlu kita duduk bersama, adalah bagaimana menyuarakan persoalan-persoalan yang amat di butuhkan, bukan yang diinginkan oleh orang lain, termasuk oleh Pemerintah terhadap Masyarakat Seko, Kampung kita!
Sering kali Pemerintah kita terjebak pada rasa “sok tahu” bahwa program-program Pembangunan “terlalu sering” diyakini merupakan Kebutuhan Masyarakat. Termasuk rencana PEMKAB LUWU UTARA soal membangunan Tower Celuler di Seko.
Sebagai Putra Seko yang sudah merasakan dan memanfaatkan “Mobile Phone” tentu itu kita sambut gembira. Tapi ada yang dilupakan, bahwa membangun komunikasi mestinya dari dasar dulu. Dasar atas perkembangan kumonikasi antar/intra komunitas satu dan komunitas yang lain. Yaitu Komunikasi dalam bentuk interaksi! Interaksi satu daerah dan daerah yang lain. Dan Komunikasi seperti itu belum dirasakan, apalagi dinikmati oleh Komunitas Masyarakat Seko. Interaksi seperti ini, amat dibutuhkan oleh Masyarakat seko. Sebab interaksi yang demikian adalah dasar-dasar perkembangan Komunikasi. Dan dasar-dasar komunikasi adalah tersedianya sarana interaksi intra/antar Komunitas, yaitu tersedianya sarana jalan yang representatif!

Coba Kerabat renungkan, bagaimana mungkin suatu daerah terpencil seperti Seko akan mampu berkomunikasi (dalam arti luas) terhadap daerah lain hanya dengan Pengadaan dan Pembangunan Tower Telpon Celuler? Harus saya akui bahwa Pembangunan jaringan itu akan memperpendek jarak dan waktu kita bercakap-cakap dengan sanak saudara! Tapi apakah itu kebutuhan utama To Seko? Apakah itu dapat membangun Interaksi yang intens To Seko dengan Komunitas diluar sana ? Apakah itu dapat berakibat pada peningkatan “income” To Seko? Atau mampu meningkatkan Sumber Daya Insani To Seko sehingga memiliki bergaining kuat terhadap orang lain? Dst-dst! Saya pikir, Tidak!
Inilah salah satu dampak negatif dari modernisasi! Serba Instan, serba mudah! Dan sering kali “menghilangkan” yang hakiki! Yang hakekat! Seolah-olah dengan pembangunan jaringan Tower celuler di daerah-daerah terpencil, maka masaalah komunikasi selesei, daerah terpencil seperti Seko segera terbuka! Solusi instan dan sangat tidak bertanggung jawab.
Saya berfikir tidak segampang itu! Pemerintah Kab. Luwu Utara, terlalu intans memahami Instruksi dan program MENGKOINFO. Juga terlalu instan dan gampang menunda-nunda pembangunan Jalan Raya menuju Seko! Saya mengerti, saya memahami betapa rakyat seko, membutuhkan seluruh akses Komunikasi, termasuk jaringan telepon celuler. Tetapi To seko bukan masyarakat mobile! Bukan pula masyarakat yang sudah membutuhkan komunikasi telepon tiap waktu!
Rencana itu, akal-akalan! Bukan menjawab kebutuhan Masyarakat!

Lalu Bagaimana dong?
Menerima kenyataan bahwa Pemkab Luwu Utara membatalkan Pembangunan Jalan menuju Seko dan berencana untuk Membangun Jaringan Telepon celuler di Seko perlu pemikiran yang konstruktif dan elegan dari setiap Tokoh-tokoh To Seko. Baik To Seko Diaspora maupun To Seko di Kampung Halaman. Pemikiran-pemikiran itu perlu disatukan, lalu disuarakan! Dinyatakan kepada Pemerintah! Sebab kalau To Seko hanya berdiam diri atau hanya terpekur dalam pemikiran saja, Musuh “Keterpencilan dan Ketertinggalan Pembangunan” di Kampung Halaman akan terus menjadi “Raja” atas Daerah dan Wilayah To Seko.
To Seko tidak perlu malu-malu (padahal butuh) menyuarakan kebutuhannya secara Politis dengan memproteksi daerah dan wilayahnya terhadap “eksploitasi” atas To Seko dari pihak manapun! Termasuk dari Pemerintah yang sering kali menjual “jamu” pada To Seko tiap kali “berkunjung” ke Daerah dan Wilayah To Seko.
Sebagai Daerah dan Wilayah NKRI, To Seko memiliki Hak untuk diperlakukan sejajar dengan saudara-saudaranya di daerah lain. Dan itu merupakan hak yang harus dituntut kepada pemerintah daerah maupun pusat. Persoalan berikut kemudian adalah, Apakah To Seko mampu bersuara Lantang, Kritis dan konstruktif untuk memperjuangkan Hak-hak itu?

Untuk itu perlu perenungan ini! Namanya saja Perenungan! Yang dihasilkan tentu saja sebuah perenungan! Perenungan atas persoalan-persoalan yang ada diseputar kehidupan kita To Seko.

Catatan : Sejak February 2009 Jalur pernerbangan ke Seko di buka kembali setelah vakum selama 4-5 tahun....semoga penerbangan tersebut lancar.

06 November 2009

Catatan Harian To Seko

(oleh Toseko -Lipu-Tondok, dari diskusi di Facebook awal Nov 2009)
Wed at 3:05pm

Catatan-catatan Harian, tentang Seko! SEKO, Desa terpencil diatas ketinggian 1560 meter dari permukaan Laut.
Pada zaman ORLA menjadi satu distrik, disebut DISTRIK SEKO. Pada Zaman ORBA dilebur menjadi satu kecamatan dengan DISTRIK RONGKONG menjadi Kec. RONGKONG-SEKO. Pada Zaman REVOLUSI Modern sekarang ini, kembali menjadi satu wilayah pemerintah dengan nama KECAMATAN SEKO.
Masyarakat SEKO, Argraris dengan hasil utama, KOPI ARABICA, KOPI REBUSTA, PADI, JAGUNG, AKHIR AKHIR INI (Pertengan thn.90-an) MENGHASILKAN COKLAT BERKUALITAS EKSORT. Disamping Ternak KERBAU dan Hasil HUTAN berupa DAMAR dan ROTAN.
Sayang bahwa pada zaman ORBA hutan-hutan yang menjadi HAK ULAYAT Masyarakat seko oleh Pemerintah Daerah dan Pusat di eksploitasi sedemikian rupa (Lewat PT. KTT) sehingga Hutan-hutan Hak Ulayat tersebut sebagian telah rusak. Sebaliknya, sampai sekarang kompensasi hasil hutan tersebut sama sekali tidak dirasakan oleh Masyarakat Seko.
Dari Zaman Penjajahan ke zaman ORLA disambung zaman ORBA, berlanjut pada Zaman Revolusi, masyarakat Seko masih seperti dulu. Ya, ramah tamahnya, bersahabat kepada siapa saja, termasuk ketika Masyarakat SEKO DILUPAKAN OLEH DUNIA LUAR SEKO.
Dijaman Modern ini, sungguh mengherankan bahwa masih ada Daerah terpencil dengan komunitas Penduduk (12.000-16.000 Jiwa) tanpa akses jalan sebagai urat nadi perekonomian rakyat.
Ruas jalan yang ada skarang menuju Kec. SEKO, ternyata adalah ruas jalan peninggalan Zending-zending Belanda atau ruas jalan yang dibangun oleh Rakyat SEKO sebelum NKRI ada.
Ruas jalan ini sangat menyusahkan dan menyulitkan karena Becek, berbatu, belum lagi lintah darat yang memenuhi beberapa penggal jalan setapak ini, mendaki, keluar-masuk hutan! Masih seperti yang dikisahkan oleh Almarhun Kakek saya (PK. BETHONY). Tidak ada perubahan! Kecuali bahwa Masyarakat seko kini sudah banyak berpendidikan tinggi, dan bahwa Dusun-dusun di SEKO sudah menggeliat mengejar ketertinggalannya dari Anak Bangsa Lainnya.
Bahwa, Masyarakat SEKO memang harus membangun dirinya sendiri, berdiri diatas kaki sendiri, dan berlari mengejar zaman agar sejajar dengan Anak Negri yang lain.
Tahun 2007 bulan Agustus, saya kembali berkunjung ke-SEKO sama seperti yang selalu saya lakukan tiap 3-4 tahun sekali....harapan saya bahwa akan terjadi perubahan yang signifikan terhadap ruas-ruas jalan menuju ke Seko. Dan saya tidak terkejut, ketika mendapati bahwa harapan itu tinggal harapan.
Sambil membasuh peluh disela-sela pendakian yang berbatu dan tajam pada ruas jalan Mabusa-seko, saya teringat pada awal Tahun 1984 saat itu untuk pertama kali saya berkunjung ke Seko, setelah menyeleseikan Study di Jogyakarta. Hm...ruas ini masih sama, bahkan makin parah!! Pohon-pohon Raksasa yang dulu membuat Ruas ini teduh, kini tinggal kenangan dan menyisakan bongkol-bongkol hitam di pinggir jalan.
Belum berubah! Rupanya Sentuhan Pembangunan Masyarakat Desa yang selama ini menjadi Primadona Progam Pemerintah, baik Tingkat satu dan dua, terlebih Pusat! Bukan untuk Masyarakat SEKO!
Tapi saya selalu bersyukur bahwa ditengah kejengkelan menghadapi realitas seperti ini, saya terhibur sekaligus Bangga! Sebab dalam perjalananku kali ini hampir setiap jam aku bertemu, bersua dengan orang-orang seko yang menuju kota. Pada posisi seperti ini kami memilki persamaan, yaitu sama-sama berjalan kaki! Bedanya, Mereka memikul Beban di Punggung untuk dijual ke Kota dan saya memikul Beban dan bergumul pada Sikap Pemerintah yang tidak perduli pada Masyarakat SEKO.
Melihat kenyataan ini, saya menjadi marah! Tapi entah kepada siapa akan dilampiaskan.
Cerita Almarhum Kakek dan sekaligus Nasehatnya, masih terngiang...."Cucunda, Hidup Kita orang-orang SEKO memang seperti ini dari nenek moyang kita! Sabar dan bersahabat dengan siapapun, termasuk yang memusuhi kita. Kamu harus berpendidikan, hanya dengan itu kamu akan hidup. Kamu harus Ber-Iman, hanya dengan itu kamu raih hidupmu"

To Seko Lipu-Tondok
Cici@..Harus bangga jadi orang seko....Ci masa' kalah ama adek Angel yang udah 2 kali ke seko????
Yesterday at 2:52pm

Mahir Takaka
ada kabar terbaru yang saya amati dari perjalanan saya yg terakhir ke Seko (dari tgl 3-7 Oktober 2009), bahwa boldoser sdg memperbaiki jalan poros rongkong-seko dan sudah bekerja di Mabusa...jg ada upaya Bupati Luwu Utara melalui statement Pak Arifin Djunaidi di harian palopos untuk memasukkan transmigrasi dan tambang di seko....bagaimana ya? ... Read Moreapakah ini jd alasan yg akan memberi jaminan atas utuhnya hak2 adat masyarakat adat di Seko...???? atau justru melanjutkan kolonisasi terhadap masyarakat adat di seko yg sdh dilakukan oleh PT. KTT, PT. Seko Fajar, dan....siapa lagi....

sudah saatnya kita menuntut keadilan dalam pembangunan di seko. jg menjadikan investasi transmigrasi, tambang, HPH, HGU, dll sbg alasan untuk membangun seko....seko jg adalah rakyat NKRI/wilayah luwu utara yg hrs mendapatkan dana pembangunan yg sama dengan daerah lainnya...
Yesterday at 3:30pm

Salu Sopai
Kita berdoa sj smoga hari mendatang pemerintah bisa lebih memperhatikan seko spy lebih maju spt daerah2 yg lainx..
Yesterday at 3:39pm

To Seko Lipu-Tondok
Dinda Mahir@Yups...saya dapat informasi yang sama dari salah satu saudara kita yang baru kembali akhir aoktober kemaren. Peresoalannya adalah kesiapan To Seko menghadapi perubahan-perubahan seperti yang selama ini kita diskusikan baik Via blogspot.com atau pun via email. Kanda Z. Ngelow juga sempat bicara soal itu. perlu pemberdayaan masyarakat ... Read MoreSEKO soal HAK ULAYAT, Dan HAK HIDUP diatas Wilayah mereka sendiri. Teruslah memberi informasi kepada temen-temen via GROUP Ini Dinda. Supaya yang lain ikut urun saran bahkan urun pengalaman tentang Masyarakat SEKO, Tuhan Berkati.
Yesterday at 4:16pm

To Seko Lipu-Tondok
Bung Sopai@Masyarakat SEKO berhak menikmati pembangunan, di minta atau tidak, Pemerintah Baik PEMKAB LUTRA pun PEMPROF SULSEL mestinya Proaktif untuk itu. Terutama pembangunan Poros jalan, Sabbang - Rongkong - SEKO atau Sabbang - Via EX KTT - SEKO. Berdoa tentu saja tetap kita lakukan, tapi butuh proaktif Generasi Muda To SEKO untuk berjuang, terutama kita-kita yang hidup dan tinggal di perantauan. Ayo urun rembuk untuk itu. Tuhan Berkati.
Yesterday at 4:21pm

Imanuel Tibian
Segala bentuk investasi dll sebaiknya dihadapi secara arif dan bijaksan saya siap urung rembuk thd hal tersebut.
Yesterday at 4:42pm

To Seko Lipu-Tondok
Bung Ima@Dengan senang hati..mari kita tukar pikiran untuk kemajuan Tondok Seko..anda juga bisa baca-baca beberapa blog yang selama ini menjadi ajang tukar pikiran diantara sesama to seko perantauan; a.l : http://www.tondokseko.blogspot.com - www.toseko.blogspot.com dan http://www.mahirtakaka71.blogspot.com
Makasih untuk tukar pikirannya. Wassalam.
Yesterday at 4:49pm

Vicariya Boong Kelabu
heheheheeh maklum ijin dari org tua belum ada.......tunggulah akan ku bujuk si gendut yahya tuk mmberiku izin.......tak sabar ingin merasakan kebersaman di Seko....hahahahahahaha
7 hours ago

To Seko Lipu-Tondok
Tahun depan, liburan anak sekolah kami sekeluarga akan ke Seko, rencana adek (dr. Boby Mayaho) juga mau ikut. Kalau bisa rombongan to SEKO pulang bareng lalu ada kegiatan sosial dan bla-bla..wah pasti seru....
7 hours ago

Charles Nedved
Sy mau tp bln berapa soalx hrs kena pd saat sy cuti boleh.
2 hours ago

02 November 2009

GBI di Seko

HASIL SURVEI SEKO (Program Adopsi Seko)
http://www.misi-pelmasgbi.org/index.php?option=com_content&view=article&id=17:hasil-survei-seko-program-adopsi-seko&catid=10:news&Itemid=4.

1. Pengantar
Sesuai dengan keputusan Sidang Sinode GBI yang ke 14 bahwa GBI akan meengadopsi masyarakat Seko-Luwu Utara Sulawesi Selatan, maka Departemen Misi dan Pelayanan Masyarakat telah melakukan survei pada bulan Pebruari 2009 dan hasilnya sebagai berikut:
Jalan dan Transportasi
Ditempuh dari Makasar-Palopo-Sabang terus ke Seko dengan perjalan sebagai berikut:
Dari Sabang ke Seko selama 2 hari 1 malam pada musim hujan dengan ongkos rp. 500.000/ojek dengan jarak tempuh 125 km. Bila musim kering hanya ditempuh dengan 6 jam dari Sabang ke Seko.
Dari Sabang melalui Jalan KTT ke Seko 75 km. Dapat ditempuh dengan motor selama 1 hari perjalanan. Jalan ini lebih dekat ke Seko tapi terlalu terjal sehingga jarang digunakan.
Dengan Pesawat dari Masamba ke Seko hanya ditempuh dengan 20 menit setiap hari Selasa dan Kamis. Kapasitas pesawat 18 orang dengan harga tiket rp. 150.000/orang. Tetapi sekarang pesawat sudah tidak terbang lagi ke Seko. Apabila ada penerbangan lagi akan diberitahukan kepada kita di Jakarta.
Dari Kecamatan Limbong (Rongkong) ke Seko hanya dapat ditempuh dengan kuda dan jalan kaki selama 3 hari 2 malam. Dari Seko Padang – Seko Tengah- Seko Lemo dapat ditempuh dengan jalan kaki, kuda, dan ojek dengan jarak tempuh 30 – 65 km. Perdagangan dapat dilakukan dengan sistim barter dan juga dijual ke kota dengan transportasi motor, kuda dan pikul sendiri hasil pertanian ke Rongkong, Sabang, dan Kalumpang Mamuju.
Sejarah Seko
Sebutan Seko tidak ada dalam peta Indonesia. Istilah Seko dalam bahasa setempat berarti saudara/ sahabat/ teman. Masyarakat Seko adalah sub Suku Tana Toraja yang berdiaspora ke Seko sekitar tahun 1700. Kemudian mengalami perubahan sosial mendasar sejak tahun 1920-an dengan masuknya agam Kristen, sekolah, ekonomi pasar, dan administrasi kolonial Belanda dan disusul pendudukan militer Jepang. Tahun 1951 terjadi gerakan DI/TII terhadap masyarakat Seko akibatnya banyak orang Kristen dibantai dan dipaksa masuk Islam. Akibat lain adalah pengungsian berserakan/ berdiaspora ke Mamuju, Palopo, Toraja, Makasar, Palu dll. Tanggal 3 Pebruari Kahar Muzakar terbunuh oleh operasi TNI Sulawesi Tenggara dan setelah itu masyarakat Seko kembali membangun Seko yang adalah bagian dari Kec. Limbung dan pada tahun 2005 dimekarkan menjadi kecamatan Seko dengan kota Eno di Seko Padang.
Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk
Luas wilayah Seko Sekitar 2.109, 19 km2, hutan 208,811km2 (hutan lindung 105. 849 km2 dan hutan produksi 102. 962 km 2, luas padang 95.000 Ha) dan penduduk kira-kira 5.620 kk terdiri dari 17.000 jiwa lebih dan 99’5 hidup sebagai petani
Geografis
Seko terbagi 3 bagian: Seko Lemo, Seko Tengah, dan Seko Padang. Secara Hukum Adat terdiri dari 9 wilayah, yaitu Singkalong, Turong, Lodang, Hono, Ambalong, Hoyane, Pohoneaang, kariango, Beroppa’. Wilayah adat Kariango dan Beroppa’ berada di Seko Lemo. Wilayah adat Ambalong, Pohoneang dan Hoyane berada di Seko Tengah. Wilayah adat Hono’, Lodang, Turong dan Singkalong berada di Seko Padang. Kecamatan Seko Padang dengan ibu kota Eno terdiri dari 12 Desa.
Gunung Kambuno di sebelah Timur dan Selatan. Maliamangan di sebelah Barat, Kasinturu di sebelah Utara.
Secara Hidrologi; daerah aliran sungai Lariang yang mengalir ke Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat. Daerah alirang sungai Rongkong yang mengalir ke Sulawesi Selatan.
Flora dan Fauna, Fragerae, aghatis (damar), Elmerila Sp, Palaguium Sp, Casuarina Sp, Magivera indica, Ficus Sp, Loganiaceae, Araucariaceae, Magnoliaceae, Sapoteceae, Casuariniceae, Moraceae. Jenis kayu yaitu kayu Uru, gaharu, Kalapi, Damar, Ulin, kayu Besi, Tahi, kadingnge, Tarian, Bitti, Hulante, Jenis non kayu yaitu Rotan Kodo, Tuhosmahu, Manoko, Tariang, Kuratung, Pubakiang, Karuku, Madun Karuku, Sikuntaa. Jenis tumbuhan yaitu Angrek, Bambu, Durian, Langsat, Enau dan berbagai jenis Palem. Jenis fauna yaitu monyet, elang, anoa, lintah, tawon,/ lebah, ular, babi hutan, biawak, tangkasi, kus-kus, wallet, kelelawar, maleo.
Pertanian
Rata-rata Seko Padang beternak kerbau, sapi, kuda, unggas, padi. Seko Tengah; kerbau, kuda, sapi dan rata-rata kopi rebusta, arabika, coklat, padi, jagung. Seko Lemo kopi dan padi. Rata-rata bercocok tanam secara tradisional.
Pendidikan dan Kesehatan
Jumlah sekolah: TK:1 bh. SDN: 23 bh. SMPN 5 bh. SMAN: 1 bh
Tenaga guru dan fasilitas belajar terbatas
Rumah sakit dan tenaga medis terbatas
Pengobatan tradisional
Kampung Baru Desa Padangbalua kesulitan air bersih
Belum ada wc dan kamar mandi umum dan wc keluarga yang layak
Keparawisataan
Pemandangan alam indah (ekowisata) dengan perbukitan, gunung, sungai.
Ada sumber air panas
Situs Hatu Rondo (batu ukiran) zaman Belanda
Situs manusia raksasa “Talangbia”, yaitu batu lesung, tungku, gua tempat tinggal dll.
Seluruh masyarakat adat Seko berkumpul pada bulan Agustus setiap tahun di Seko Padang untuk melaksanakan perayaan ucapan syukur atas panen raya/ hari perhentian dari pekerjaan dan lain-lain. Kegiatan ini dimulai dari Juli-September setiap tahun.
Seko Tradisional dan Modern
Tradisional yaitu menggunakan lesung untuk tumbuk kopi dan padi, kuda,cangkul, parang, alat peras tebu. Rumah masih adap papan, bamboo, dan daun
Modern yaitu menggunakan telepon satelit, solar sel,televisi, radio, parabola, handtraktor, mesin potong kayu,motor, generator, mesin peras tebu, mesin giling padi, rumah atap seng.
Perusahan yang hadir di Seko pada zaman Orde Baru:
PT. Seko Fajar; usaha perkebunan teh
PT. North Mining: tambang emas, tembaga dan biji besi.
PT. KTT (Kendari Tunggal Timber): usaha kayu
Semua perusahan sudah tidak beroperasi lagi
Tidak menguntungkan masyarakat Seko
Pemerintah dan LSM
Kemampuan pemerintah dalam pembangunan infrainstruktur lemah
Belum ada orang Seko yang memerintah sebagai camat (menurut pengakuan pejabat pemerintah setempat).
Sekitar 9 orang calon anggota legeslatif yang daerah pemilihannya Seko dan orang Seko hanya 1 orang.
Lembaga pendamping; AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) Sulawesi Selatan. Yayasan Ina Seko 2. Masalah prioritas menurut sektor
1.Jalan
Jalan yang rusak berat mengakibatkan semua kegiatan pembangunan, pelayanan masyarakat, pengembangan hidup, dan pemenuhan kebutuhan berjalan lambat
2. Pendidikan
- Fasilitas belajar dan tenaga guru terbatas.
- Masyarakat belum mampu membiayai anak-anak lulusan SMP untuk studi lanjutan ke SMA di kota.
Peredaran uang sulit di kalangan masyarakat karena perdagangan dengan menggunakan sistim barter
3. Air Bersih
- Masyarakat Kampung Baru Desa Padangbalua Seko Padang kesulitan air.
- Tidak ada air di wc dan kamar mandi di fasilitas sosial (gereja dan sekolah).
- Masyarakat menderita penyakit diare pada musim kemarau setiap tahun
- Bercocok tanam di pekarangan sulit
4. Pertanian
- Tanah di Seko Padang kurang subur
- Orientasi pertanian sekedar untuk makan minum
- Teknologi dan industry kurang memadai
- Ternak sapi, kerbau, dan kuda dipelihara lepas
- Tanaman dirusak ternak
- Kualitas SDM pertanian belum optimal
- Pembinaan petani oleh instansi teknis dan PPL kurang optimal
5. Ekonomi
- Usaha ekonomi belum terarah
- Pemasaran sulit
- Kesejahteraan hidup rendah
6. Lingkungan Hidup
- Penebangan liar
- Pengundulan bukit
- Erosi pada lahan pertanian
- Pendangkalan air sungai
3. Strategi Kebijakan Terhadap Aspek-aspek Kebutuhan di Kecamatan Seko
Membangun jalan 71 km dari Kecamatan Limbong (Rongkong) ke Kecamatan Seko. Pemerintah sedang membangun jalan dari Sabang ke Limbong (Rongkong) dengan anggaran 1 milyard untuk 1 km pengerasan jalan.
Memberikan bantuan transportasi motor kepada para gembala jemaat guna memperlancar pelayanan dan persekutuan antara hamba-hamba Tuhan
Membiayai anak-anak Seko yang telah lulus SMP untuk melanjutkan studi ke SMA di kota Palopo dan kota-kata lain dan pengadaan asrama (graha asuh) penampungan bagi mereka
Membiayai anak-anak Seko untuk belajar di ITKI Jakarta, IPDN dan jurusan lain yang dipilih sesuai kemampuan
Membangun proyek pipanisasi air bersih di Kampung Baru Desa Padangbalua Seko padang.
Pengadaan telepon satelit di Seko guna memperlancar komunikasi pelayanan antara daerah dan pusat
Memberikan pendidikan dan pelatihan secara khusus bagi pelayan Tuhan dan guru-guru Sekolah Minggu
Mengadakan KKR dan pembinaan iman pada bulan Juli –September setiap tahunnya karena pada bulan Agustus masyarakat berkumpul di kota kec. Seko Padang untuk mengadakan perayaan keselamatan/ ucapan syukur
Membantu pembangunan 4 gereja perintisan di Seko Padang, 2 gereja di Seko Tengah, dan 1 gereja di seko Lemo
Pengadaan alat musik gereja
Pengadaan Alkitab dan buku-buku rohani dan buku-buku teknis
Mengadakan pendidikan dan pelatihan kepada para petani

Sumber Data: hasil kunjungan Pebruari 2009