22 September 2008

Toseko Pindah ke Seriti

[Naskah awal, masih akan diperluas]
Sekilas Pandang Kepindahan Keluarga Baroppa’ ke Seriti Kec. Lamasi Kabupaten Luwu.
oleh A.K. Samben

Sistimatika kepindahan

I. Latar Belakang
II. Mengapa pindah ke Seriti
III. Penjejakan pencarian lahan.
IV. Bermukim di Seriti
V. Kelurga yang mula-mula pindah ke Seriti

I. Latar Belakang

Pada tahun 1951, Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dipersiapkan menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Untuk persiapan itu mereka dinamai Corps Tjadangan Nasional atau CTN. Sementara menunggu proses mejadi Tentara Nasional Indonesia, mereka diangkut ke Tana Toraja dan ditampung di Makale, diasramakan di tiga tempat yaitu:

1. Di samping lapangan sepak bola Makale,
2. Di samping rumah Tuan Tanis (zendeling GZB, Belanda) bagian Selalan,
3. Dekat jembatan di Batupapan.

Tidak lama kemudian yaitu pada tanggal 16 Agustus 1951 mereka melarikan diri ke hutan dipimpin Andi Tanriajeng mengikuti jejak Kahar Muzakkar di Makassar yang masuk ke hutan untuk memberontak kepada pemerintah RI. Setelah itu CTN masuk hutan merekas disebut gerombolan DI/TII. Gerombolan itulah yang menyebar di Luwu, menjadi pengacau dari Palopo Selatan, sekitar kota Palopo dan Palopo Utara (sekarang telah menjadi kabupaten Luwu Utara, dan Luwu Timur). Daerah-daerah Rampi, Rongkong dan Seko dikuasai gerombolan DI/TII, sehingga menjadi daerah tertutup. Dalam hal itu pemerintah RI di kota dan daerah-daerah tersebut tidak ada lagi. Pada tahun 1952 setelah libur panjang, pelajar/ siswa tidak diperbolehkan lagi ke kota untuk melanjutkan studi. Demikian juga para pegawai negeri dari Rongkong dan Seko dihadang di Kanandede, dan disuruh kembali ke kampung mereka masing-masing.

Selanjutnya gerombolan DI/TII mengeluarkan peraturan bahwa di daerah tertutup itu masyarakat hanya diperbolehkan menganut salahsatu agama, yaitu Islam atau Kristen. Bagi masyarakat yang masih menganut kepercayaan animisme diperintahkan memilih salah satu agama, Islam atau Kristen, ternyata masyarakat itu lebih banyak memilih agama Kristen. Gerombolan DI/TII menunjuk beberapa orang Seko untuk menjadi perwakilan masyarakat di pusat pemerintahannya, yaitu di Talo’ bo’, daerah Suli (Palopo Selatan). Mereka itu adalah:

P. K. Bethony (alm)
Yohanis Lembeh
Yan Pomandia
Yohanis Pangimanan (alm)
Oso Bambangi (alm)

Tetapi mereka ini melarikan diri dari Talo’bo’ ke Bajo’ pada Desember 1953 karena dipaksa memilih masuk Islam atau mati. Pemaksaan seperti itu berlaku juga disemua daerah yang dikuasi gerombolan. Karena pemaksaan ini beberapa pemuda dari Baroppa’ melarikan diri ke Makki antara lain Sarambu, Kontang (Y.K Ngelow) dll. Keadaan sangat mencekam. Pada tahun 1953 pemaksaaan masuk Islam berlaku di Beroppa’. Tidak masuk Islam berarti mati. Pada tanggal 1-9-1953 masyarakat Beroppa’ digiring oleh DI/TII ke sebuah sungai di sebelah barat Beroppa’ untuk di-islamkan. Mulailah terjadi pembunuhan. Di Beroppa’ lebih dari 10 orang dan di Pohoneang (Seko Tengah) 8 orang pemuda, yaitu Tungga (guru) dkk. Oleh sebab itu guru-guru dan pemuka masyarakat dan yang merasa tidak aman, melarikan diri dan mengungsi ke Makki (daerah Mamuju). Pemuda-pemuda yang melarkan diri itu, membentuk suatu organisasi OPR bersama-sama dengan OPR Makki dan kembali menyerang DI/TII di Beroppa’, Kariango, dan Pohoneang. Kepala Beroppa’ (Takudo) melarikan diri dari perjalanan dengan pasukan gerombolan ke Rongkong, dengan menyusur anak sungai Tassi, lewat lereng gunung Malimongan, tembus ke Se’pon (Lantang Tedong), seterusnya ke Makki. Pada tahun 1954 masyarakat Seko keseluruhannya mengungsi, Seko Lemo dan Seko Tengah ke Makki, sedangkan Seko Padang ke Palu Sulawesi Tengah.

Setelah beberapa lama di pengungsian (Makki) ada beberapa keluarga dari Beroppa’ mencari tempat mengungsi yang lebih aman di Baruppu’/ Pangala (sekarang Kec. RindingAllo), Tana Toraja. Apa lagi di Baruppu’ banyak keluarga/ kerabat dekat keturunan Ne’ Sidara (Pao’ton) yaitu anak cucu dari Matangke’. Pemerintah kecamatan Rindingallo menampung pengungsi itu di Panggala selama satu bulan. Setelah berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten Luwu, pemerintah Tana Toraja mentransmigrasi-lokalkan mereka ke daerah Luwu yaitu di Rambakulu, antara desa Padangsarre dan Tarue di Distrik Sabbang. Pada saat itu pemerintah mendatangkan 9 truk untuk mengangkut mereka. Tetapi hanya 6 orang yang mau ke Luwu, dan sebagian besar menolak untuk ikut. Mereka masih trauma dengan kejadian beberapa waktu lalu di Seko (Beroppa’). Alasan mereka bahwa apa yang ditinggalkan di Seko (Beroppa’) itu juga yang akan ditemui kalau pindah ke Luwu. Mereka menganggap daerah Luwu bagian pantai adalah sarang gerombolan DI/TII, sehingga tidak mau diangkut ke Luwu.

Akhirnya pemerintah Tana Toraja memukimkan mereka di suatu tempat di To’ tallang, yaitu di Lamboko, bagian barat Panggala’. Di Lamboko ini pengungsi mengolah tanah untuk ditanami kebutuhan pangan. Walaupun tanah itu gersang dan tandus, tanahnya kurus tetapi mujizat Tuhan nampak kepada mereka. Hasil tanah olahan memberi buah yang melimpah. Tanaman ubi jalar, ketela pohon, sayur-sayuran, jagung, padi, semuanya memberikan buah/ hasil yang memuaskan. Hasil tanah olahan mereka, dipasarkan ke Pangala’ dan Baruppu. Pemasaran hasil tanah olahan pengungsi itu hanya dilakukan pada hari Senin sampai hari Sabtu. Mereka hidup sejahtera karena berkat Tuhan.

II. Mengapa Pindah ke Seriti

Seriti terletak di Distrik Walenrang (sekarang Kecamatan Lamasi, Kabupaten Luwu). Setelah beberapa lama bermukim di Lamboko, tanah olahan semakin kurang memberikan hasil. Pada suatu waktu berkunjunglah Pdt. F. Rambu ke sana . Beliau memberi saran, bahwa sesungguhnya Tuhan telah memberi berkat kepada pengungsi Seko di Lamboko, sama seperti bangsa Israel di padang gurun dalam perjalanan menuju tanah Kanaan. Tuhan memberikan roti manna” dari sorga di daerah Lamboko, yang sejak dulu tidak dihuni orang karena tanahnya gersang dan kurus. Tetapi berkat itu sementara saja, jadi sebaiknya masyarakat Seko berusaha mencari daerah yang lebih menguntungkan serta memberi harapan masa depan yang lebih baik, demi generasi selanjutnya. Demikian antara lain saran dari Pdt. F. Rambu. Saran-saran dan pandangan dari Pdt. F Rambu itu membuka wawasan, serta memberi motivasi kepada pengungsi di Lamboko untuk mencari tempat bermukim di Luwu.

III. Penjejakan/ Pencarian Lahan.

Salah seorang warga Seko, H. Angka, mempunyai niat dan kemauan besar untuk mencari pemukiman baru di Luwu. Niatnya itu disampaikan kepada Herman Soang ( Ambe’ Pabali) dan anggota jemaat di Lamboko.

Maka pada tahun 1960 H. Angka dan H. Soang meninjau ke daerah Sabbang, antara desa Padangsarre dan Tarue. Daerah itu tanahnya subur dan baik untuk pemukiman. Namun mereka tidak tertarik bermukim di daerah itukarena tanah di daerah itu sudah pernah diolah oleh penduduk setempat, sehingga bisa menimbulkan masalah.

Setelah peninjauan daerah itu mereka kembali, dan dalam perjalanan pulang ke Tana Toraja, mereka singgah di Palopo, dan menginap di pondok penulis. Pada kesempatan itu kami berbincang-bincang mengenai perjalanan mereka sejak dari melarikan diri dari Beroppa’, mengungsi di Makki dan sampai di Lamboko. Dari perbincangan itu diketahui betapa beratnya penderitaan yang dialami penduduk Seko pada umumnya, orang Beroppa’ pada khususnya. Dalam pengungsian kadang-kadang dikejutkan berita bahwa gerombolan DT/TII akan menyerang mereka sehingga mereka tidak tenang dan tenteram. Karena itu ada sebagian yang terus ke Toraja, seperti sudah dikatakan di atas, pada bagian I.

Kami berbicara tentang penjejakan pemukiman di Rambakulu di daerah Sabbang, yang tidak mungkin, karena tanah yang ditinjau sudah diolah penduduk. Kemudian penulis mengajukan saran, bagaimana kalau ke Seriti. Di sana masih ada tanah kosong yang masih luas, tanah yang masih berhutan rimba yang belum dijamah manusia. Penting diketahui bahwa penduduk Seriti mengalami hal yang sama dengan orang Seko. Pada bulan Juni 1953, mereka diungsikan oleh pemerintah dari Palopo Selatan yaitu dari daerah Larompong, Suli dan Bajo karena gangguan keamanan dari DT/TII. Pada tahun 1952 masyarakat Kristen dari Palopo Selatan itu (mereka dari 2 klasis Gereja Toraja, Klasis Suli dan Klasis Bajo’) dipaksa pindah agama masuk agama Islam. Oleh sebab itu mereka berusaha berhubungan dengan pemerintah TNI, melalui guru-guru yang sudah lebih dahulu melarikan diri ke kota Palopo, diantaranya, Ch.Tottong, seorang guru asal Beroppa’. Penulis sampaikan bahwa jika mereka berada bersama-sama pengungsi dari Palopo Selatan, maka mereka akan merasa tenteram, merasa sependeritaan, serta sama-sama merasa suka dan duka dalam kehidupan sebagai pengungsi. Dan yang lebih utama, sependeritaan dalam satu keyakinan dan satu iman kepada Yesus Kristus Tuhan kita. Waktu itu yang menjadi kepala kampung pengungsi di Seriti adalah Bapak Mangentang, paman dari Barnece Sonda/ Mama’ Yacob (istri penulis). Dengan demikian pengurusan sehubungan dengan pemukiman tidak akan dipersulit. Untuk menjaga keamanan terdapat pos-pos TNI di Seriti. Selain itu Sarunde’, salah seorang putra Seko yang pada waktu itu mengikuti latihan TNI di Palopo, juga memberi saran kepada H.Angka dan H.Soang supaya pindah ke Seriti.

Sepulangnya mereka ke Toraja, Sarunde megirim surat kepada L.Lingkan supaya segera pindah ke Seriti. Oleh sebab itu L.Lingkan lebih dahulu pindah ke Seriti dan langsung mengolah tanah untuk ditanami jagung. Setelah sampai di Lamboko, H.Angka dan Soang menyampaikan hasil percakapan dengan penulis di Palopo kepada orang Seko yang adalah anggota Jemaat Lamboko.

Rupanya mereka tertarik untuk pindah ke seriti. Maka pada tahun 1961 datanglahlah H.Soang, Y.Takundun, Tadanun , Atoran, Ambe’ Lati dan beberapa keluarga ke Seriti. Bersama dengan L.Lingkan yang telah lebih dulu datang ke Seriti mereka diantar penulis mengadakan penjauan lahan hutan untuk dijadikan tanah garapan. Mereka kagum melihat betapa lebatnya hutan rimba yang belum pernah dijamah oleh tangan manusia, dan mereka mengambil keputusan untuk pindah ke Seriti. Melalui penulis maksud mereka tersebut disampaikan kepada pemerintah setempat bahwa mereka akan pindah ke Seriti menyatu dengan orang-orang dari Palopo Selatan. Sesudah maksud mereka disampaikan, mereka kembali ke Toraja mengadakan persiapan untuk pindah bersama dengan anggota keluarga.

IV. Bermukim di Seriti

Pada bulan Juli 1962 datanglah beberapa kepala keluaga orang Beroppa’ ke Seriti sesuai dengan apa yang telah disampaikan sebelumnya kepada Kepala Kampung Seriti bahwa mereka akan pindah ke Seriti. Jumlah kepala keluarga yang pertama datang ke Seriti untuk membabat hutan, sebanyak 12 orang dan ikut serta 2 orang perempuan dewasa dan 2 orang anak perempuan.

Kepala Desa Seriti membagikan tanah yang masih berupa hutan rimba kepada mereka masing-masing satu hektar untuk dijadikan persawahan. Lebih dari satu bulan mereka merambah hutan bagian masing-masing. Pada setiap petang, ketika mereka pulang ke rumah, mama’ Yacob, istri penulis, selalu bertanya kepada mereka: “Den nasang sia mukun raka;” maksudnya, apakah tidak ada anggota rombongan yang ketinggalan di hutan. Setelah selesai membabat hutan yang dijatahkan oleh Kepala Kampung Seriti, mereka berangkat ke Toraja untuk menjemput keluarganya. Pongarong tinggal di Seriti menunggu keringnya hasil babatan untuk dibakar.

Pada bulan Oktober 1962, mereka yang pulang ke Toraja kembali ke Seriti, bersama dengan semua anggota keluarga masing-masing. Mereka ditampung di rumah penulis di Kelompok IV (empat) Salulompo. Tetapi karena jumlah anggota keluarga pada saat itu cukup banyak, kurang memungkinkan untuk tinggal semua di rumah kami, maka H.Angka mengusulkan kepada Mama’ Yacob supaya dibagi ke beberapa rumah keluarganya Mama’ Yacob yang tinggal bertetangga di kelompok Salulompo itu. Setelah dihubungi para keluarga itu dengan senang hati menerima mereka. Sementara itu, hutan yang sudah diolah mereka tanami jagung, sayuran dan padi ladang. Atas usaha dan kerja keras itu mereka memperoleh hasil yang memuaskan. Lama kelamaan ladang mereka dicetak menjadi persawahan. Demikianlah mereka mereka bisa hidup sejahtera berdampingan dengan para pengungsi dari Palopo Selatan yang lebih dahulu tiba di Seriti.

V. Keluarga Seko yang mula-mula pindah ke Seriti

1. Keluarga H. Angka (Ambe’ Parida) 7 orang
2. H. Soang (Ambe’ Pabali) 8 orang
3. Y.Takundun (Ambe’ Dani) 5 orang
4. Tirampo (Ambe’ Takundun) 4 orang
5. Pongarong (Lengken, Ambe’ Ki’jo) 6 orang
6. Paulus Balili’ (Ambe’ Lati) 8 orang
7. L.Lingkan (Ambe’ Hani) 6 orang
8. Gaang (Ambe’ Amo’) 10 orang
9. Bari ’ (Ambe’ Uma) 5 orang
10. Atoran (Ambe’ Rimu’) 6 orang
11. Lamodon (Ambe’ Becce’) 3 orang
12. Ampalla (Indo’ Nesi) 3 orang
13. Gerson Gitta (Ambe' Piter) 5 orang
14. Paa (Ambe’ Simon) 6 orang
15 Cangulu (Ambo’ Dewi) 4 orang (beragama Islam, berasal dari Bone, sudah lama bermukim di Beroppa’, lalu mengungsi ke Palopo dan menggabung dengan rombongan Orang Beroppa’ ke Seriti).
16. Pangkung (Ambe’ Jabbolo’) 5 orang

Sampai dengan tahun 2007, jumlah keluarga Seko di Seriti 86 KK, yang masuk anggota Kerukunan Keluarga Masyarakat Seko di Seriti, dan masih banyak yang belum terdaftar.

Seriti, April 2008

A.K. Samben asal Beroppa', Seko.
Pensiunan guru, tinggal di Seriti.

[Catatan: Teks karangan diedit oleh Zakaria Ngelow, dan diharapkan masih akan diperluas melalui percakapan dengan penulis).

3 komentar:

RWM Boong Bethony mengatakan...

Luar biasa....saya yakin masih banyak kisah2 sejarah yang bisa di himpun menjadi "MALEA ALLO MEPANTU' BORRONG BULAN MEAMPANGNGI" Seri ke dua....!

Anonim mengatakan...

salut untuk kerja keras yang telah dilakukan dalam rangka merampungkan dan melengkapi sejarah SERITI, yang didalamnya teranyam pekerjaan Allah yang dahsyat. maju teruuuuus.

Unknown mengatakan...

Salah satunya yg mengungsi ke seriti adaah alm Kakek & nenekku