05 Januari 2008

Seko Bersatu

Sambutan pada Perayaan Natal Kerukunan Keluarga Seko di Toraja
Bua Tallulolona, 14 Desember 2007
Ibu/Bapak, Saudara-saudara masyarakat Seko dan hadirin yang saya hormati.

Sebagai Ketua Yayasan Ina Seko, selain menyampaikan selamat merayakan Natal dan menyambut Tahun Baru tahun 2008, juga untuk menyampaikan beberapa informasi.

Pertama-tama pada tanggal 27 - 30 Oktober lalu berlangsung perayaan syukur ke-2 kembalinya pengungsi Seko ke Seko. Karena tidak bisa hadir, saya menulis sambutan 9 halaman yang dibacakan pada perayaan syukur itu. Dalam sambutan panjang itu saya mengajukan beberapa usul, yang kemudian panitia dan tokoh-tokoh masyarakat bicarakan lalu mengambil beberapa keputusan, di ataranya:

1. Akan melangsungkan perayaan syukur 50 tahun kembalinya pengungsi Seko pada tahun 2011 mendatang. Kedua perayaan yang lalu diselenggarakan warga Seko Lemo di Rantedanga’, tetapi perayaan 50 tahun itu dari, oleh dan untuk seluruh warga Seko di Seko sebagai tuan rumah, dan akan mengundang seluruh warga Seko di rantau. Mudah-mudahan kita semua dapat menghadiri perayaan itu.

2. Diharapkan pada perayaan itu sudah dapat diresmikan monumen peringatan para korban gerombolan DI/TII di Seko, yang direncanakan dibangun di 3 tempat: di Beroppa’, di Pehoneang, dan di Hanghulo/Lodang. Seperti kita ketahui lebih 100 orang terbunuh pada masa gerombolan DI/TII, baik yang beragama Kristen maupun yang bergama Islam.

Saya sampaikan juga bahwa Yayasan Ina Seko sedang mempersiapkan buku kumpulan karangan mengenai Seko. Bahan-bahannya sedang diketik dan diedit. Saya masih menunggu beberapa tulisan. Mudah-mudahan sudah bisa terbit pada awal, atau selambat-lambatnya pertengahan tahun depan.

Selanjutnya sebagai salah seorang Penasihat Kerukunan Keluarga Seko di Toraja, saya ingin sampaikan hubungan orang Seko dengan masyarakat Tanah Toraja. Pertama-tama saya dapat sampaikan bahwa hubungan antara orang Seko dan Toraja sudah muncul dalam ulelean pare Toraja. Dalam kisah Landorundun yang terkenal itu, ayahnya adalah seorang dari Seko bernama Salogang. Selanjutnya ada kisah tentang seorang Seko di Nanggala, sehingga ada tempat di sana yang bernama Seko. Hubungan langsung dimulai dengan barter: ada orang-orang Toraja yang pergi ke Seko membeli kerbau, umumnya dengan cara barter dengan budak. Kemudian ketika agama Kristen masuk Seko, orang Toraja datang sebagi guru, pekabar Injil, bahkan pendeta. Pendeta Seko yang pertama, yang terbunuh sebagai martir, adalah alm Pdt. P. Sangka’ Palisungan. Jadi kita orang Seko berhutang budi kepada orang Toraja, khususnya dalam hal pendidikan dan Kekristenan. Pada pengungsian dari penindasan gerombolan DI/TII tahun 1950-an banyak orang Seko mengungsi sampai ke Toraja. Sekampung orang Seko masih ada di To’tallang, Kec. Rindingallo, sampai sekarang. Dewasa ini makin banyak orang Seko menikah dengan orang Toraja.

Selanjutnya saya ingin sampaikan bahwa dalam pemantauan kami, ada empat pokok masalah yang dihadapi seluruh masyarakat Seko, di Seko dan di rantau, dewasa ini, yang perlu menjadi keprihatinan kita semua.

Pertama, masalah sumber daya manusia yang terkait dengan mutu pendidikan. Sudah banyak SD di Seko, sudah ada 2 SMP negeri dan satu lagi dalam proses, satu SMU Negeri. Tetapi rata-rata pendidikan di sekolah-sekolah itu rendah sekali mutunya. Sebab-sebabnya antara lain kurang jumlah dan rendah mutu guru-gurunya; sarana/prasarana belajar yang sangat kurang, misalnya buku-buku bacaan tidak dipunyai guru-guru dan muid-murid atau siswa-siswa. Kalau ada buku-buku bacaan atau buku pelajaran yang tidak dipakai lagi, bisa dikumpulkan kepada kami untuk dikirim ke Seko.

Salah satu program yang sedang diatur Yayasan Ina Seko untuk bidang pendidikan adalah bantuan honorarium untuk beberapa guru SMA dalam bidang-bidang mata pelajaran yang sangat penting, yaitu: Biologi, Matematika dan Bahasa Inggeris. Kami akan mengumpulkan sumbangan untuk maksud itu, jadi mohon kerelaan Ibu/Bapak/saudara-saudara sekalian.

Pokok masalah yang kedua adalah sarana jalan, baik yang menghubungkan Rongkong dengan Seko maupun jalan antara kampung-kampung di Seko. Mudah-mudahan pemerintah secepatnya membangun jalan raya menghubungkan Seko dengan Rongkong maupun dengan Galumpang. Berbeda dengan masa lalu di mana perbaikan jalan raya menjadi tanggungjawab masyarakat setiap kampung, sekarang orang berharap saja pada pemerintah dengan proyek-proyeknya. Kalau masyarakat tidak mengambil tanggungjawab maka yang dirugikan adalah masyarakat kita sendiri. Para pemuka dan warga masyarakat Seko perlu dimotivasi untuk turut bertanggungjawab atas pemeliharaan jalan raya.

Pokok masalah yang ketiga adalah kerusakan lingkungan alam Tanah Seko. Tanah Seko indah, Namun sejumlah anak sungai makin berkurang airnya karena daerah-daerah resapan air di hulu sungai dan di sepanjang bantaran sungai dirusak oleh masyarakat sendiri. Hutan-hutan ditebang dijadikan kebun kopi, atau pohon-pohon kayunya ditebang untuk kayu bakar. Belum lagi kerusakan yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan besar. Perlu usaha-usaha serius menghutankan kembali dengan menanam pohon-pohon. Selain program pemerintah, masyarakat juga harus terlibat dalam upaya itu, dimulai dengan penyadaran bahwa kalau masyarakat tidak menjaga kelestarian hutannya maka Tanah Seko akan gersang dan berakibat bencana dan kemiskinan. Sedangkan terpelihara, dampak rumah kaca pemanasan global telah mengakibatkan berbagai bencana di mana-mana.

Pokok masalah yang keempat adalah identitas masyarakat Seko. Pertama-tama, identitas Seko adalah kesatuan tiga bagian masyarakatnya: To Seko, To Padang, To Lemo, yang ibarat batu lalikan titanan tallu, tiga terbedakan namun satu tak terpisahkan.

Selanjutnya, makin banyak warisan budaya asli Seko hilang, termasuk berbagai keseniannya. Hampir tidak ada lagi kesenian ma’baendon, molere, mohokke, atau molade. Dahulu orang Seko meniru kesenian modero dari Poso, tetapi dengan kreatif menciptakan sendiri syair-syair dero yang indah. Sekarang para pemuda modero dengan memakai kaset atau VCD/DVD lagu-lagu dero berbahasa Pamona/Poso yang hampir tidak ada yang mengerti apa isi syairnya. Itu suatu kemunduran. Harus ada usaha-usaha menghidupkan berbagai kesenian Seko di setiap kampung.

Identitas Seko memang bisa makin kabur karena makin banyak orang Seko kawin dengan suku-suku lain. Anak-anak kita makin banyak yang tidak bisa berbahasa Seko lagi, bahkan tidak mengenal Seko sama sekali. Rencana menerbitkan buku kumpulan karangan mengenai Seko adalah satu upaya kecil untuk memperkenalkan sejarah dan kebudayaan Seko kepada anak-anak kita.

Tetapi yang terutama adalah sikap hidup dengan akhlak pribadi yang terpuji. Kamalamburan (kejujuran) dan persatuan yang diwujudkan dalam ungkapan Seko sallombengan adalah nilai utama masyarakat Seko. Sebab itu dikenal ungkapan perilaku pribadi dan acuan sosial: ma'bulo lollong, ma'tallang tangkebuku (kesatuan dalam ketulusan hati).

Akhirnya saya berharap bahwa masyarakat Seko di Toraja dan di tempat-tempat lain akan bisa memperlihatkan selain pa’mesaran penafa, juga sumber daya manusia yang bermutu baik kemampuan profesionalnya maupun tingkah laku yang terpuji.

Terima kasih. Selamat merayakan Natal dan Tuhan memberkati kita semua memasuki Tahun Baru 2008.

Rantepao, 14 Desember 2007

Zakaria Ngelow

1 komentar:

MASRAH MARLIP mengatakan...

SEKO DAN KEKAYAAN ALAM NYA Dapat dioptimalkan dengan mengajak seluruh komponen masyarakatnya untuk kembali bersatu menanamkan nilai dan budaya luhur yang dimiliki oleh TO Seko, To padang dan To lemo. Pembangunan daerah seko harus mengakar pada budaya yang di sandangnya. Pemahaman yang mendalam akan akar budaya To Seko harus dimiliki oleh para pemegang
amanat baik dari kalangan pemerhati maupun dari kalangan Pemerintah.
Aset Daerah yang sekaligus merupakan aset bangsa wajib dipelihara.
Masterplant pembangunan harus dikaji dan diskusikan lebih konfrehensif
agar tidak menabrak nilai-nilai yang secara turun temurun dibangun.
Masuknya pengaruh budaya luar menuntut para tokoh adat seko untuk
memposisikan driri sebagai filter yang kuat dalam menangkal peralihan
yang akan membahayakan hilangnya aset budaya. Tidak dapat dipungkiri
bahwa dengan adanya pembangunan disegala aspek yang menghampiri to seko,
ini merupakan kado istimewa dari hasil terbentuknya Kabupaten Luwu utara
yang akan menjadikan seko sebagai sasaran menarik untuk di eksploitasi.
Kekuatan akar budaya akan menjadi penyelaras dalam menerima dampak
pembangunan yang ada. Berikut beberapa usulan dalam membangun seko:
1. Membangun seko harus bertujuan untuk "masyarakat Seko".
2. Membangun Infrastruktur jalan dan srana umum wajib sejalan
dengan mengembangkan kemampuan masyarakat dalam pemanfaatannya bukan hanya asal ada proyek.
3. Memasukkan pihak swasta sebagai Investor dalam mengeksplorasi
kekayaan alamnya wajib memiliki analisa dampak sosial dalam kurun
waktu 50 tahun kedepan (minimal menjamin tidak terjadi kesenjangan
sosial diwaktu yang akan datang)
4. Pembangunan SDM sebaiknya dilakukan dengan memberikan kesempatan bagi anak seko untuk
mendapatkan pembiayaan dan pedidikan gratis pada sekolah unggulan yang ada di masamba dan kota-kota lainnya disekitarnya.
5. Setiap tahun penerimaan mahasiswa baru, Beasiswa yang biasanya dikeluarkan oleh PEMDA untuk pos banyuan pelajar dan mahasiswa
dapat memberikan prioritas bagi anak seko yang akan sekolah di Makassar.
6. Pertukaran tenaga pengajar atau guru ditingkat SD.
7. Pembinaan pemuda dan Oleh raga
8. Pembangunan kawasan wisata untuk menarik wisatawan dengan konsep wisata perjalanan yang menantang
Cukup segitu aja dulu nimbrungnya.. mudah mudahan keberadaan Yayasan Ina Seko ini dapat mempercepat
pelaksanaan pembangunan didaerah seko namun tetap mengacu pada ma'bulo lollong, ma'tallang tangkebuku
(kesatuan dalam ketulusan hati). agar to seko bisa lebih maju dari daerah lain minimal setara....

Salam :
Dari Masrah
Email : masrah2003@yahoo.com
web : www.masrahmarlip.blogspot.com