25 September 2008

Leptospirosis di Seko?

Info awal: Drs. Tahir Bethony (Kepala SMA Neg. I Seko)meberi informasi bahwa setahun terakhir ada wabah penyakit (semacam kaki gajah?) di desa-desa Taloto, Lodang, dan Marante yang terletak di dekat hutan di hulu sungai / anak sungai Lodang, Asaang, dan hulu S. Betue. Kaki bengkak mulai dari telapak kaki sampai lutut, dan sangat nyeri. Kalau nyeri sudah sampai ke tulang belakang, maka tak lama penderita meninggal. Dalam beberapa bulan terakhir jatuh korban meninggal 4 anak-anak dan 13 orang tua. Dinas Kesehatan Prop. Sulsel dan Kab Luwu Utara sudah melakukan penelitian dan ditemukan bahwa disebabkan oleh bakteri/kuman/virus yang ada dalam kotoran hewan, kemudian masuk ke tubuh manusia melalui air. Sebab itu masyarakat dilarang memakai air sungai. (Perlu diketahui bahwa sebagaian besar masyarakat Seko, khususnya di desa-desa itu minum air mentah, tidak dimasak lebih dahulu). Mohon anda ikut memberi pencerahan bagi keluarga-keluarga untuk hidup sehat.

Info susulan: Seorang dokter di Masamba memberitahu bahwa diduga penyakit itu disebabkan bakteri leptospira.

Jika benar demikian, penjelasan berikut mengani kateri dan penyakit itu sbb:L


http://www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=45

LEPTOSPIRA

I. Definisi

Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Leptospira berbentuk spiral yang menyerang hewan dan manusia dan dapat hidup di air tawar selama lebih kurang 1 bulan. Tetapi dalam air laut, selokan dan air kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati.

II. Sumber Penularan

Hewan yang menjadi sumber penularan adalah tikus (rodent), babi, kambing, domba, kuda, anjing, kucing, serangga, burung, kelelawar, tupai dan landak. Sedangkan penularan langsung dari manusia ke manusia jarang terjadi.

III. Cara Penularan

Manusia terinfeksi leptospira melalui kontak dengan air, tanah atau tanaman yang telah dikotori oleh air seni hewan yang menderita leptospirosis. Bakteri masuk ke dalam tubuh manusia melalui selaput lendir (mukosa) mata, hidung, kulit yang lecet atau atau makanan yang terkontaminasi oleh urine hewan terinfeksi leptospira. Masa inkubasi selama 4 - 19 hari.

IV. Gejala Klinis

Stadium Pertama
? Demam menggigil
? Sakit kepala
? Malaise
? Muntah
? Konjungtivitis
? Rasa nyeri otot betis dan punggung
? Gejala-gejala diatas akan tampak antara 4-9 hari

Gejala yang Kharakteristik
? Konjungtivitis tanpa disertai eksudat serous/porulen (kemerahan pada mata)
? Rasa nyeri pada otot-otot Stadium Kedua
? Terbentuk anti bodi di dalam tubuh penderita
? Gejala yang timbul lebih bervariasi dibandingkan dengan stadium pertama
? Apabila demam dengan gejala-gejala lain timbul kemungkinan akan terjadi meningitis.
? Stadium ini terjadi biasanya antara minggu kedua dan keempat.

Komplikasi Leptospirosis
Pada hati : kekuningan yang terjadi pada hari ke 4 dan ke 6
Pada ginjal : gagal ginjal yang dapat menyebabkan kematian.
Pada jantung : berdebar tidak teratur, jantung membengkak dan gagal jantung yang dapat mengikabatkan kematian mendadak.
Pada paru-paru : batuk darah, nyeri dada, sesak nafas.
Perdarahan karena adanya kerusakan pembuluh darah dari saluran pernafasan, saluran pencernaan, ginjal, saluran genitalia, dan mata (konjungtiva).
Pada kehamilan : keguguran, prematur, bayi lahir cacat dan lahir mati.

V. Pencegahan

Membiasakan diri dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
Menyimpan makanan dan minuman dengan baik agar terhindar dari tikus.
Mencucui tangan dengan sabun sebelum makan.
Mencucui tangan, kaki serta bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah bekerja di sawah/ kebun/sampah/tanah/selokan dan tempat-tempat yang tercemar lainnya.
Melindungi pekerja yang berisiko tinggi terhadap leptospirosis (petugas kebersihan, petani, petugas pemotong hewan, dan lain-lain) dengan menggunakan sepatu bot dan sarung tangan.
Menjaga kebersihan lingkungan
Membersihkan tempat-tempat air dan kolam renang.
Menghindari adanya tikus di dalam rumah/gedung.
Menghindari pencemaran oleh tikus.
Melakukan desinfeksi terhadap tempat-tempat tertentu yang tercemar oleh tikus
Meningkatkan penangkapan tikus.

VI. Pengobatan

Pengobatan dini sangat menolong karena bakteri Leptospira mudah mati dengan antibiotik yang banyak di jumpai di pasar seperti Penicillin dan turunannya (Amoxylline)
Streptomycine, Tetracycline, Erithtromycine.
Bila terjadi komplikasi angka lematian dapat mencapai 20%.
Segera berobat ke dokter terdekat.

-------
http://konsultasikesehatan.epajak.org/leptospira/mencegah-tertular-leptospira-219.

Leptospirosis memang bisa dicegah. Sebetulnya sebutan yang benar adalah leptospirosis untuk nama penyakitnya, sedangkan penyebabnya adalah bakteri leptospira. Leptospira menular ke manusia, masuk ke dalam tubuh melalui luka di kulit, atau masuk langsung melalui mukosa mata dan mulut. Penularan antar manusia tidak ada.
Leptospira memerlukan hewan perantara dalam siklus hidupnya, yang paling sering adalah tikus, walaupun juga bisa melalui babi, anjing, kucing, dan hewan ternak. Manusia tertular penyakit tersebut bila bersentuhan dengan air kencing hewan tersebut, atau bersentuhan dengan sampah, tanah, atau air yang terkontaminasi air kencing tikus. Penularan juga bisa terjadi, bila menelan makanan yang terkontaminasi.
Jumlah pasien leptospirosis biasanya memang meningkat sewaktu musim hujan, karena leptospira bisa bertahan di air selama beberapa bulan. Jadi, memang Mbak Erna benar, bahwa penularan leptospira meningkat sewaktu musim hujan atau sewaktu banjir dan setelah banjir reda.
Apakah gejala penyakit leptospirosis? Pertama, tidak semua orang yang tertular leptospira menunjukkan gejala. Masa inkubasi penyakit ini sekitar 2-28 hari. Gejala antara lain mual, muntah, gejala serupa flu dengan demam menggigil, lemah, nyeri di betis, kadang disertai diare, nyeri perut. Mata kemerahan dan dapat disertai kulit dan mata kuning. Panas berlangsung sampai seminggu, kemudian turun. Fase ini disebut sebagai fase satu.
Sebagian pasien kemudian akan masuk fase dua, mengalami demam panas lagi, nyeri otot dan nyeri kepala yang lebih berat, mata menjadi merah karena peradangan, bahkan dapat terjadi radang selaput otak (meningitis) yang menyebabkan pasien kehilangan kesadaran. Komplikasi ke ginjal juga dapat terjadi, bahkan pasien bisa mengalami gagal ginjal akut, yang dapat berakhir dengan kematian.
Dokter mendiagnosis leptospirosis berdasarkan gejala tersebut di atas, dan pemeriksaan laboratorium seringkali menunjukkan kelainan di fungsi hati dan ginjal. Kepastian diperoleh dengan hasil tes leptospira dari sampel darah atau urine. Dengan memberikan cairan infus dan suntikan penisilin, atau minum doksisiklin, kondisi pasien seringkali dapat dipulihkan dalam beberapa hari sampai 3-4 minggu. Kadang-kadang leptospirosis dapat menyebabkan kematian.
Bagaimana pencegahannya? Pertama, hindari kontak dengan bahan yang mungkin tercemar leptospira. Anak-anak ataupun orang dewasa sebaiknya tidak bermain di tempat tergenang air sekarang ini, apalagi berenang di sana. Pakailah sarung tangan dan sepatu bot sewaktu membersihkan rumah setelah banjir usai. Minum doksisiklin sebelum datang ke daerah endemis dapat mengurangi risiko munculnya gejala yang berat dan kematian akibat leptospirosis.
dr. Zubairi Djoerban
Sumber : Republika Online

22 September 2008

Toseko Pindah ke Seriti

[Naskah awal, masih akan diperluas]
Sekilas Pandang Kepindahan Keluarga Baroppa’ ke Seriti Kec. Lamasi Kabupaten Luwu.
oleh A.K. Samben

Sistimatika kepindahan

I. Latar Belakang
II. Mengapa pindah ke Seriti
III. Penjejakan pencarian lahan.
IV. Bermukim di Seriti
V. Kelurga yang mula-mula pindah ke Seriti

I. Latar Belakang

Pada tahun 1951, Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dipersiapkan menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Untuk persiapan itu mereka dinamai Corps Tjadangan Nasional atau CTN. Sementara menunggu proses mejadi Tentara Nasional Indonesia, mereka diangkut ke Tana Toraja dan ditampung di Makale, diasramakan di tiga tempat yaitu:

1. Di samping lapangan sepak bola Makale,
2. Di samping rumah Tuan Tanis (zendeling GZB, Belanda) bagian Selalan,
3. Dekat jembatan di Batupapan.

Tidak lama kemudian yaitu pada tanggal 16 Agustus 1951 mereka melarikan diri ke hutan dipimpin Andi Tanriajeng mengikuti jejak Kahar Muzakkar di Makassar yang masuk ke hutan untuk memberontak kepada pemerintah RI. Setelah itu CTN masuk hutan merekas disebut gerombolan DI/TII. Gerombolan itulah yang menyebar di Luwu, menjadi pengacau dari Palopo Selatan, sekitar kota Palopo dan Palopo Utara (sekarang telah menjadi kabupaten Luwu Utara, dan Luwu Timur). Daerah-daerah Rampi, Rongkong dan Seko dikuasai gerombolan DI/TII, sehingga menjadi daerah tertutup. Dalam hal itu pemerintah RI di kota dan daerah-daerah tersebut tidak ada lagi. Pada tahun 1952 setelah libur panjang, pelajar/ siswa tidak diperbolehkan lagi ke kota untuk melanjutkan studi. Demikian juga para pegawai negeri dari Rongkong dan Seko dihadang di Kanandede, dan disuruh kembali ke kampung mereka masing-masing.

Selanjutnya gerombolan DI/TII mengeluarkan peraturan bahwa di daerah tertutup itu masyarakat hanya diperbolehkan menganut salahsatu agama, yaitu Islam atau Kristen. Bagi masyarakat yang masih menganut kepercayaan animisme diperintahkan memilih salah satu agama, Islam atau Kristen, ternyata masyarakat itu lebih banyak memilih agama Kristen. Gerombolan DI/TII menunjuk beberapa orang Seko untuk menjadi perwakilan masyarakat di pusat pemerintahannya, yaitu di Talo’ bo’, daerah Suli (Palopo Selatan). Mereka itu adalah:

P. K. Bethony (alm)
Yohanis Lembeh
Yan Pomandia
Yohanis Pangimanan (alm)
Oso Bambangi (alm)

Tetapi mereka ini melarikan diri dari Talo’bo’ ke Bajo’ pada Desember 1953 karena dipaksa memilih masuk Islam atau mati. Pemaksaan seperti itu berlaku juga disemua daerah yang dikuasi gerombolan. Karena pemaksaan ini beberapa pemuda dari Baroppa’ melarikan diri ke Makki antara lain Sarambu, Kontang (Y.K Ngelow) dll. Keadaan sangat mencekam. Pada tahun 1953 pemaksaaan masuk Islam berlaku di Beroppa’. Tidak masuk Islam berarti mati. Pada tanggal 1-9-1953 masyarakat Beroppa’ digiring oleh DI/TII ke sebuah sungai di sebelah barat Beroppa’ untuk di-islamkan. Mulailah terjadi pembunuhan. Di Beroppa’ lebih dari 10 orang dan di Pohoneang (Seko Tengah) 8 orang pemuda, yaitu Tungga (guru) dkk. Oleh sebab itu guru-guru dan pemuka masyarakat dan yang merasa tidak aman, melarikan diri dan mengungsi ke Makki (daerah Mamuju). Pemuda-pemuda yang melarkan diri itu, membentuk suatu organisasi OPR bersama-sama dengan OPR Makki dan kembali menyerang DI/TII di Beroppa’, Kariango, dan Pohoneang. Kepala Beroppa’ (Takudo) melarikan diri dari perjalanan dengan pasukan gerombolan ke Rongkong, dengan menyusur anak sungai Tassi, lewat lereng gunung Malimongan, tembus ke Se’pon (Lantang Tedong), seterusnya ke Makki. Pada tahun 1954 masyarakat Seko keseluruhannya mengungsi, Seko Lemo dan Seko Tengah ke Makki, sedangkan Seko Padang ke Palu Sulawesi Tengah.

Setelah beberapa lama di pengungsian (Makki) ada beberapa keluarga dari Beroppa’ mencari tempat mengungsi yang lebih aman di Baruppu’/ Pangala (sekarang Kec. RindingAllo), Tana Toraja. Apa lagi di Baruppu’ banyak keluarga/ kerabat dekat keturunan Ne’ Sidara (Pao’ton) yaitu anak cucu dari Matangke’. Pemerintah kecamatan Rindingallo menampung pengungsi itu di Panggala selama satu bulan. Setelah berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten Luwu, pemerintah Tana Toraja mentransmigrasi-lokalkan mereka ke daerah Luwu yaitu di Rambakulu, antara desa Padangsarre dan Tarue di Distrik Sabbang. Pada saat itu pemerintah mendatangkan 9 truk untuk mengangkut mereka. Tetapi hanya 6 orang yang mau ke Luwu, dan sebagian besar menolak untuk ikut. Mereka masih trauma dengan kejadian beberapa waktu lalu di Seko (Beroppa’). Alasan mereka bahwa apa yang ditinggalkan di Seko (Beroppa’) itu juga yang akan ditemui kalau pindah ke Luwu. Mereka menganggap daerah Luwu bagian pantai adalah sarang gerombolan DI/TII, sehingga tidak mau diangkut ke Luwu.

Akhirnya pemerintah Tana Toraja memukimkan mereka di suatu tempat di To’ tallang, yaitu di Lamboko, bagian barat Panggala’. Di Lamboko ini pengungsi mengolah tanah untuk ditanami kebutuhan pangan. Walaupun tanah itu gersang dan tandus, tanahnya kurus tetapi mujizat Tuhan nampak kepada mereka. Hasil tanah olahan memberi buah yang melimpah. Tanaman ubi jalar, ketela pohon, sayur-sayuran, jagung, padi, semuanya memberikan buah/ hasil yang memuaskan. Hasil tanah olahan mereka, dipasarkan ke Pangala’ dan Baruppu. Pemasaran hasil tanah olahan pengungsi itu hanya dilakukan pada hari Senin sampai hari Sabtu. Mereka hidup sejahtera karena berkat Tuhan.

II. Mengapa Pindah ke Seriti

Seriti terletak di Distrik Walenrang (sekarang Kecamatan Lamasi, Kabupaten Luwu). Setelah beberapa lama bermukim di Lamboko, tanah olahan semakin kurang memberikan hasil. Pada suatu waktu berkunjunglah Pdt. F. Rambu ke sana . Beliau memberi saran, bahwa sesungguhnya Tuhan telah memberi berkat kepada pengungsi Seko di Lamboko, sama seperti bangsa Israel di padang gurun dalam perjalanan menuju tanah Kanaan. Tuhan memberikan roti manna” dari sorga di daerah Lamboko, yang sejak dulu tidak dihuni orang karena tanahnya gersang dan kurus. Tetapi berkat itu sementara saja, jadi sebaiknya masyarakat Seko berusaha mencari daerah yang lebih menguntungkan serta memberi harapan masa depan yang lebih baik, demi generasi selanjutnya. Demikian antara lain saran dari Pdt. F. Rambu. Saran-saran dan pandangan dari Pdt. F Rambu itu membuka wawasan, serta memberi motivasi kepada pengungsi di Lamboko untuk mencari tempat bermukim di Luwu.

III. Penjejakan/ Pencarian Lahan.

Salah seorang warga Seko, H. Angka, mempunyai niat dan kemauan besar untuk mencari pemukiman baru di Luwu. Niatnya itu disampaikan kepada Herman Soang ( Ambe’ Pabali) dan anggota jemaat di Lamboko.

Maka pada tahun 1960 H. Angka dan H. Soang meninjau ke daerah Sabbang, antara desa Padangsarre dan Tarue. Daerah itu tanahnya subur dan baik untuk pemukiman. Namun mereka tidak tertarik bermukim di daerah itukarena tanah di daerah itu sudah pernah diolah oleh penduduk setempat, sehingga bisa menimbulkan masalah.

Setelah peninjauan daerah itu mereka kembali, dan dalam perjalanan pulang ke Tana Toraja, mereka singgah di Palopo, dan menginap di pondok penulis. Pada kesempatan itu kami berbincang-bincang mengenai perjalanan mereka sejak dari melarikan diri dari Beroppa’, mengungsi di Makki dan sampai di Lamboko. Dari perbincangan itu diketahui betapa beratnya penderitaan yang dialami penduduk Seko pada umumnya, orang Beroppa’ pada khususnya. Dalam pengungsian kadang-kadang dikejutkan berita bahwa gerombolan DT/TII akan menyerang mereka sehingga mereka tidak tenang dan tenteram. Karena itu ada sebagian yang terus ke Toraja, seperti sudah dikatakan di atas, pada bagian I.

Kami berbicara tentang penjejakan pemukiman di Rambakulu di daerah Sabbang, yang tidak mungkin, karena tanah yang ditinjau sudah diolah penduduk. Kemudian penulis mengajukan saran, bagaimana kalau ke Seriti. Di sana masih ada tanah kosong yang masih luas, tanah yang masih berhutan rimba yang belum dijamah manusia. Penting diketahui bahwa penduduk Seriti mengalami hal yang sama dengan orang Seko. Pada bulan Juni 1953, mereka diungsikan oleh pemerintah dari Palopo Selatan yaitu dari daerah Larompong, Suli dan Bajo karena gangguan keamanan dari DT/TII. Pada tahun 1952 masyarakat Kristen dari Palopo Selatan itu (mereka dari 2 klasis Gereja Toraja, Klasis Suli dan Klasis Bajo’) dipaksa pindah agama masuk agama Islam. Oleh sebab itu mereka berusaha berhubungan dengan pemerintah TNI, melalui guru-guru yang sudah lebih dahulu melarikan diri ke kota Palopo, diantaranya, Ch.Tottong, seorang guru asal Beroppa’. Penulis sampaikan bahwa jika mereka berada bersama-sama pengungsi dari Palopo Selatan, maka mereka akan merasa tenteram, merasa sependeritaan, serta sama-sama merasa suka dan duka dalam kehidupan sebagai pengungsi. Dan yang lebih utama, sependeritaan dalam satu keyakinan dan satu iman kepada Yesus Kristus Tuhan kita. Waktu itu yang menjadi kepala kampung pengungsi di Seriti adalah Bapak Mangentang, paman dari Barnece Sonda/ Mama’ Yacob (istri penulis). Dengan demikian pengurusan sehubungan dengan pemukiman tidak akan dipersulit. Untuk menjaga keamanan terdapat pos-pos TNI di Seriti. Selain itu Sarunde’, salah seorang putra Seko yang pada waktu itu mengikuti latihan TNI di Palopo, juga memberi saran kepada H.Angka dan H.Soang supaya pindah ke Seriti.

Sepulangnya mereka ke Toraja, Sarunde megirim surat kepada L.Lingkan supaya segera pindah ke Seriti. Oleh sebab itu L.Lingkan lebih dahulu pindah ke Seriti dan langsung mengolah tanah untuk ditanami jagung. Setelah sampai di Lamboko, H.Angka dan Soang menyampaikan hasil percakapan dengan penulis di Palopo kepada orang Seko yang adalah anggota Jemaat Lamboko.

Rupanya mereka tertarik untuk pindah ke seriti. Maka pada tahun 1961 datanglahlah H.Soang, Y.Takundun, Tadanun , Atoran, Ambe’ Lati dan beberapa keluarga ke Seriti. Bersama dengan L.Lingkan yang telah lebih dulu datang ke Seriti mereka diantar penulis mengadakan penjauan lahan hutan untuk dijadikan tanah garapan. Mereka kagum melihat betapa lebatnya hutan rimba yang belum pernah dijamah oleh tangan manusia, dan mereka mengambil keputusan untuk pindah ke Seriti. Melalui penulis maksud mereka tersebut disampaikan kepada pemerintah setempat bahwa mereka akan pindah ke Seriti menyatu dengan orang-orang dari Palopo Selatan. Sesudah maksud mereka disampaikan, mereka kembali ke Toraja mengadakan persiapan untuk pindah bersama dengan anggota keluarga.

IV. Bermukim di Seriti

Pada bulan Juli 1962 datanglah beberapa kepala keluaga orang Beroppa’ ke Seriti sesuai dengan apa yang telah disampaikan sebelumnya kepada Kepala Kampung Seriti bahwa mereka akan pindah ke Seriti. Jumlah kepala keluarga yang pertama datang ke Seriti untuk membabat hutan, sebanyak 12 orang dan ikut serta 2 orang perempuan dewasa dan 2 orang anak perempuan.

Kepala Desa Seriti membagikan tanah yang masih berupa hutan rimba kepada mereka masing-masing satu hektar untuk dijadikan persawahan. Lebih dari satu bulan mereka merambah hutan bagian masing-masing. Pada setiap petang, ketika mereka pulang ke rumah, mama’ Yacob, istri penulis, selalu bertanya kepada mereka: “Den nasang sia mukun raka;” maksudnya, apakah tidak ada anggota rombongan yang ketinggalan di hutan. Setelah selesai membabat hutan yang dijatahkan oleh Kepala Kampung Seriti, mereka berangkat ke Toraja untuk menjemput keluarganya. Pongarong tinggal di Seriti menunggu keringnya hasil babatan untuk dibakar.

Pada bulan Oktober 1962, mereka yang pulang ke Toraja kembali ke Seriti, bersama dengan semua anggota keluarga masing-masing. Mereka ditampung di rumah penulis di Kelompok IV (empat) Salulompo. Tetapi karena jumlah anggota keluarga pada saat itu cukup banyak, kurang memungkinkan untuk tinggal semua di rumah kami, maka H.Angka mengusulkan kepada Mama’ Yacob supaya dibagi ke beberapa rumah keluarganya Mama’ Yacob yang tinggal bertetangga di kelompok Salulompo itu. Setelah dihubungi para keluarga itu dengan senang hati menerima mereka. Sementara itu, hutan yang sudah diolah mereka tanami jagung, sayuran dan padi ladang. Atas usaha dan kerja keras itu mereka memperoleh hasil yang memuaskan. Lama kelamaan ladang mereka dicetak menjadi persawahan. Demikianlah mereka mereka bisa hidup sejahtera berdampingan dengan para pengungsi dari Palopo Selatan yang lebih dahulu tiba di Seriti.

V. Keluarga Seko yang mula-mula pindah ke Seriti

1. Keluarga H. Angka (Ambe’ Parida) 7 orang
2. H. Soang (Ambe’ Pabali) 8 orang
3. Y.Takundun (Ambe’ Dani) 5 orang
4. Tirampo (Ambe’ Takundun) 4 orang
5. Pongarong (Lengken, Ambe’ Ki’jo) 6 orang
6. Paulus Balili’ (Ambe’ Lati) 8 orang
7. L.Lingkan (Ambe’ Hani) 6 orang
8. Gaang (Ambe’ Amo’) 10 orang
9. Bari ’ (Ambe’ Uma) 5 orang
10. Atoran (Ambe’ Rimu’) 6 orang
11. Lamodon (Ambe’ Becce’) 3 orang
12. Ampalla (Indo’ Nesi) 3 orang
13. Gerson Gitta (Ambe' Piter) 5 orang
14. Paa (Ambe’ Simon) 6 orang
15 Cangulu (Ambo’ Dewi) 4 orang (beragama Islam, berasal dari Bone, sudah lama bermukim di Beroppa’, lalu mengungsi ke Palopo dan menggabung dengan rombongan Orang Beroppa’ ke Seriti).
16. Pangkung (Ambe’ Jabbolo’) 5 orang

Sampai dengan tahun 2007, jumlah keluarga Seko di Seriti 86 KK, yang masuk anggota Kerukunan Keluarga Masyarakat Seko di Seriti, dan masih banyak yang belum terdaftar.

Seriti, April 2008

A.K. Samben asal Beroppa', Seko.
Pensiunan guru, tinggal di Seriti.

[Catatan: Teks karangan diedit oleh Zakaria Ngelow, dan diharapkan masih akan diperluas melalui percakapan dengan penulis).