05 Oktober 2007

Bangunlah Seko!

Kertas kerja pembentukan Yayasan INASEKO (Institut Advokasi dan Pemberdayaan Masyarakat Tanah Seko)


oleh Zakaria J. Ngelow*


Pengantar
Karangan ini adalah sebuah refleksi mengenai masalah-masalah pembangunan masyarakat Seko, terutama yang bermukim di Kecamatan Seko, Kabupaten Luwu Utara Propinsi Sulawesi Selatan. Ini juga merupakan laporan dan analisis berbagai informasi yang disampaikan oleh para pemuka masyarakat Seko dalam pertemuan di Dusun Adil, Mappadeceng, Masamba pada tgl 28 Januari 2001, dan yang diperoleh dari berbagai fihak pada kesempatan-kesempatan lainnya. Pertemuan tersebut di Masamba, yang dalam koran lokal disebut “Rapat Akbar Masyarakat Seko”, diselenggarakan atas prakarsa penulis bersama rekan-rekan Drs. Tahir Bethony dan Drs. Abdul Rahman Sulli dari Makassar. Dalam arti tertentu karangan ini adalah berupa informasi hasil-hasil pertemuan itu kepada berbagai fihak, termasuk masyarakat Seko sendiri. Karangan ini diharapkan dapat mengarahkan pikiran dan perhatian warga masyarakat di Seko dan yang di rantau, serta berbagai fihak lainnya: perorangan, lembaga pemerintah dan swasta, termasuk lembaga-lembaga keagamaan (Kristen dan Islam), serta lembaga swadaya masyarakat, untuk masing-masing atau bersama-sama membangun masyarakat Tanah Seko.

Seko Pengungsi
Kata “seko” –yang berati “sahabat”– dipakai menamai daerah dengan penduduknya (disebut To Seko) di dataran tinggi di pedalaman Kabupaten Luwu (Utara), dari mana sungai-sungai Uro dan Betue, mengalir ke arah Barat ke Sungai Karama di Kabupaten Mamuju, yang akhirnya bermuara di Selat Makassar. Masyarakat asli yang terdiri atas 3 kelompok masyarakat (Seko Lemo, Seko Tengah, dan Seko Padang) hidup dari mata pencaharian pokok sebagai petani dengan mengerjakan sawah dan ladang secara tradisional. Sudah lama penduduk menanam kopi yang cukup berhasil, dan belakangan dicoba tanaman lain seperti cengkeh dan kakao. Daerah Seko terkenal pula sebagai penghasil ternak kerbau, yang dibiarkan hidup berkelompok setengah liar di padang rumput (pasang). Ada juga yang memelihara kuda sebagai kuda tunggangan dan kuda beban. Secara tradisional penduduk memelihara ayam dan juga beberapa jenis ikan air tawar untuk dikonsumsi sendiri. Yang tidak beragama Islam memelihara babi, Seni-budaya masyarakat Seko beragam mengikuti ketiga sub-etnisnya. Pada pesta-pesta panen, peringatan proklamasi, dan perayaan Natal/Tahun Baru digelar pesta rakyat yang meriah.

Kecintaan masyarakat Seko kepada tanah leluhurnya (masyarakat suku manakah yang tidak mencintai tanah leluhurnya?) diungkapkan oleh P.K. Bethony, salah seorang pemuka masyarakat Seko, dalam sebuah gubahan syair lagu pada akhir tahun 1950-an yang kini dinyanyikan sebagai “Mars Tanah Seko"

Dibasahi Betue, dialiri Uro
Terdapat Tanah Seko, kecil tapi indah.
Tanah itu kucintalah selama hidu
Tanah itu kucintalah selama hidup.

Dipagari Kambuno, Malimongan, Baba
Terdapat Tanah Seko kecil tapi indah.
Tanah itu kucintalah selama hidup
Tanah itu kucintalah selama hidup.

Dilindungi udara kesuburan segar
Itulah Tanah Seko kecil tapi indah.
Tanah itu kucintalah selama hidup
Tanah itu kucintalah selama hidup.

Pemandangan serasi menyejukkan hati
Itulah Tanah Seko kecil tapi indah.
Tanah itu kucintalah selama hidup
Tanah itu kucintalah selama hidup.

Di sana aku lahir di sana 'ku besar
Di sana aku harap akhir tutup mata
Tanah itu kucintalah selama hidup
Tanah itu kucintalah selama hidup


Dalam kurun waktu 50 tahun antara tahun 1920 - 1970 masyarakat Seko mengalami dinamika sejarah yang cukup revolusioner. Masyarakat terpencil ini baru tehubung ke dunia luar ketika para guru sekolah dan penginjil Kristen membuka sekolah-sekolah dan menyebarkan agama Kristen pada awal tahun 1920-an. Tidak lama kemudian menyusul penataan sosial dengan menerapkan administrasi kolonial, di mana Seko menjadi satu distrik dalam onderafdeeling Masamba. Masuknya pendidikan moderen dan Kristenisasi itu bermakna penting bagi kehidupan masyarakat Seko. Pada periode yang sama agama Islam diperkenalkan dan sejumlah kecil warga masyarakat Seko menerimanya. Para penganut agama-agama yang baru itu tetap hidup berdampingan secara damai, juga dengan penganut agama suku. Pendudukan Jepang mempercepat penerimaan agama Kristen di kalangan mayoritas penduduk, karena pelarangan agama suku. Tetapi dampak paling penting pendudukan beberapa tahun itu (1942-1945) adalah adanya mobilisasi pemuda-pemuda Seko dalam organisasi para-milisi Jepang, yang disebut Seinendan. Mobilisasi ini mempersiapkan pemuda-pemuda Seko untuk turut dalam perlawanan bersenjata mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia dari pendudukan Pemerintahan Sipil Hindia Belanda (NICA). Beberapa pemuda Seko terbunuh, yang lainnya ditangkap dan dipenjarakan di Masamba dan Makassar, dan belasan lainnya dibuang ke Nusa Kambangan. Setelah periode perjuangan kemerdekaan berakhir masyarakat Seko dihadapkan pada kenyataan yang amat pahit, yakni pendudukan gerombolan DI/TII dan pengungsian. Seko Lemo dan Seko Tengah ditinggalkan sama sekali, sedangkan masyarakat Islam yang berada dalam cengkeraman gerombolan DI/TII di kumpulkan di Seko Padang.

Pengungsian merupakan pilihan akhir dalam penolakan terhadap penindasan dan pemaksaan gerombolan DI/TII. Beberapa kali pemuda Seko berusaha melakukan perlawanan bersenjata, namun gagal. Dalam periode 1952-1963 terbunuh sekitar 90 warga Seko, belum termasuk Ds. P. Sangka’ Palisungan, --pendeta gereja Toraja untuk wilayah Seko, Rongkong sampai Masamba-- yang mati syahid bersama beberapa tokoh gereja lainnya di tangan gerombolan DI/TII pada tahun 1953. Pada tahun 1963 lebih 30 orang Seko terbunuh di Lodang pada masa cease fire pemerintah dengan DI/TII, termasuk Kepala Distrik B. Sisang, T. Tombang dan sejumlah tokoh masyarakat Seko lainnya.

Dampak dari pengungsian itu adalah tersebarnya masyarakat Seko ke berbagai daerah. Ketika daerah Seko mulai aman para pengungsi berangsur-angsur pulang, tetapi sebagian memilih untuk menetap di rantau, secara berkelompok di Omu/Palolo (lembah Palu, Sulawesi Tengah), Seriti (Lamasi, Palopo), To’tallang (Pangala, Toraja), dan secara perorangan/keluarga di berbagai tempat. Derita pengungsi Seko yang tidak memperoleh perhatian dari fihak manapun kecuali penduduk setempat ke mana mereka mengungsi digambarkan dalam suatu syair lagu pengungsi Seko(komponis anonim):

Aduh sioh, sayang dan kasihan
hidup pengungsi Seko dewasa ini
Bagaikan anak ayam kehilangan induknya
berciap-ciap

Hidup merana merasa derita
Siang malam
selalu menimpa pengungsi Seko.


Selama di pengungsian, masyarakat Seko (Kristen) tetap mempertahankan kehidupan sebagai persekutuan jemaat dan berupaya secara swadaya menyelenggarakan pendidikan dasar darurat bagi anak-anak usia sekolah. Khusus para pengungsi di Makki, Galumpang, upaya bertahan dipengungsian dilengkapi pula dengan adanya satuan pasukan rakyat menghadapi gangguan lanjut gerombolan DI/TII.

Kemanan daerah Seko baru terjamin setelah suatu upaya bersama para putra Seko yang bertugas dalam jajaran kemiliteran melakukan operasi pembersihan sisa-sisa DI/TII pada tahun 1965/66 dalam suatu satuan komando yang disebut Pong Huloi. Baru kemudian TNI mengejar sisa-sisa pasukan gerombolan DI/TII yang bersembunyi di rimba raya daerah perbatasan Sulawesi Tengah arah ke Kulawi.

Sejak kembali dari pengungsian, masyarakat di Seko mulai menata kehidupan sosial-ekonomi tradisionalnya, dan dalam administrasi pemerintahan digabungkan dengan daerah Rongkong Atas menjadi Kecamatan Limbong. Sejak tahun 1999 lalu Daerah Seko dibina sebagai Kecamatan persiapan, (definitif bulan Maret 2001) yang meliputi 11 desa.

Selama periode 1967-2000 pembangunan sarana/prasarana bagi kemajuan masyarakat oleh fihak pemerintah hampir-hampir tidak ada. Masyarakat Seko sependapat bahwa tidak ada perhatian pemerintah , baik dari Kecamatan maupun Kabupaten (Luwu) sampai pemerintah pusat. Akibatnya, masyarakat di Seko terus terbelakang baik ekonomi maupun pendidikan dan aspek-aspek kemajuan sosial lainnya.

Rapat Akbar
Kenyataan itu mendorong warga masyarakat Seko menggumuli bagaimana mencari jalan keluarnya. Di Makassar kami bertiga -- Tahir Bethony, Abdul Rahmann Sulli, dan Zakaria Ngelow – memprakarsai pertemuan pemuka-pemuka masyarakat Seko dari Seko dan dari daerah Tanah Toraja dan Luwu dan Luwu Utara. Dalam undangan kami mencatat:

Pembangunan yang dijalankan selama masa pemerintahan Orde Baru hampir-hampir tidak menyentuh masyarakat kita di Tanah Seko. Pemerintah yang ada sekarang menghadapi begitu banyak masalah sehingga kita tidak bisa berharap. Sementara itu, dewasa ini berkembang pendekatan baru yang menekankan peran dan prakarsa masyarakat sendiri, bukannya semata berharap pada pemerintah, untuk pembangunan daerah dan masyarakatnya masing-masing. Dengan kata lain kita sendiri harus memikirkan dan mengerjakan usaha-usaha memajukan daerah dan masyarakat kita.

Dalam rangka itu kami mengundang Bapak-bapak/Ibu-ibu dan Saudara-saudara selaku tokoh masyarakat untuk bersama-sama memahami masalah-masalah mendasar pembangunan masyarakat kita dan memikirkan usaha-usaha yang perlu dan dapat kita lakukan untuk memajukan masyarakat dan daerah kita. Tujuan yang hendak kita capai dalam pertemuan ini adalah memperjelas bidang-bidang dan bentuk-bentuk pengembangan pembangunan bagi masyarakat kita di Seko, serta mempertegas tanggungjawab keterlibatan kita bersama untuk memajukan masyarakat Seko. Mudah-mudahan pula kita dapat memikirkan tindak lanjut dan pengorganisasiannya.

Dengan kata lain, yang dilakukan adalah menginventarisasi kebutuhan pembangunan masyarakat di Tanah Seko untuk dapat menganalisis faktor-faktor terkait atau aspek-aspeknya, dan selanjutnya dapat mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan jalan keluarnya, dengan merujuk pada potensi dan prakarsa masyarakat dan pada fihak-fihak yang dianggap dapat berpartisipasi. Pertemuan berlangsung di Dusun Adil, Kampung Baru, Desa Harapan, Mappadeceng, Masamba (Kabupaten Luwu Utara). Dusun ini adalah pemukiman sekitar 70-an KK warga Seko dalam program resettlement suku terasing pada tahun 1970-an melalui proyek Perkebuna Inti Rakyat (PIR) kelapa sawit.

Dengan perkenan Tuhan pertemuan itu berlangsung dari jam 10 pagi sampai jam 5 sore pada Hari Minggu, tanggal 28 Januari 2001, dengan dihadiri lebih 100 orang undangan. Semuanya demikian antusias mengemukakan atau mendengarkan masalah-masalah mereka, baik secara sekampung-sekampung maupun secara keseluruhan. Sangat mengharukan bahwa juga mereka yang lanjut usia masih bersemangat menempuh perjalanan kaki yang berat selama 2-3 hari dari Seko untuk mengikuti pertemuan itu.

Jalan Oto Poros Sabbang - Seko
Keseluruhan pembicaraan para peserta dari Seko mengungkapkan dua masalah terpenting, yakni jalan raya dan pendidikan. Memang sangat kuat kerinduan masyarakat Seko untuk memperoleh jalan poros Seko - Sabbang (sepanjang kl. 100 KM, melintasi 3 kecamatan: Sabbang, Limbong, Seko) yang dapat dilalui mobil. Jalan poros itu, pertama-tama strategis untuk transportasi warga masyarakat dari dan ke Seko, karena letak Sabbang di poros jalan raya trans-Sulawesi. Selain itu, jalan poros Seko-Sabbang sangat penting untuk mengangkut produksi pertanian, seperti kopi, beras, kakao, cengkeh, dll sehingga mendapat harga jual yang memadai. Demikian juga untuk dengan mudah mendatangkan bahan-bahan kebutuhan pokok masyarakat, seperti garam dan gula serta berbagai kebutuhan lainnya, yang dewasa ini harganya sangat mahal karena biaya transportasi yang sangat tinggi. Pemerintah Kabupaten Luwu pada periode Bupati Jampu tahun 1991-1992 membuka jalan raya yang dapat dilalui moboil, antara lain untuk kepentingan suatu perusahaan perkebunan. Tetapi kemudian jalan rintisan itu tidak dipelihara; sejumlah jembatan putus atau rusak berat, sehingga praktis tidak dapat dilalui kendaraan bermotor. Untuk pemasaran produksi pertanian, khususnya kopi, masyarakat memikirkan membawanya ke Tana Toraja melalui suatu jalan setapak ke arah Barat. Jika jalan raya poros Sabbang - Seko dapat dilalui kendaraan roda empat maka berbagai aspek pembangunan dapat perlahan-lahan diupayakan oleh masyarakat Seko.

Pendidikan merupakan suatu permasalahan utama karena penyelenggaraan yang tidak serius dan merugikan masa depan putra-putri masyarakat di Seko. Terdapat 26 SD (Negeri, Inpres dan Kecil), 3 SMP (1 negeri, 1 swasta dan 1 sedang diurus menjadi SMP Negeri), dan sebuah SMU swasta yang baru dibuka. Selain sarana/prasarana belajar yang tidak memadai, kekurangan jumlah dan mutu guru (ada SD yang gurunnya sendirian mengajar seluruh kelas!). Dedikasi kebanyakan guru juga mengecewakan. Sejumlah guru negeri yang ditempatkan pemerintah hanya transit sementara waktu, atau bermukim di luar daerah Seko sehingga tidak berdisiplin mengajar. Tentu ada hubungan dengan sulitnya transportasi.

Selain masalah jalan oto dan masalah pendidikan, keluhan-keluhan dan harapan-harapan juga diungkapkan mengenai sejumlah fasilitas sosial lainnya, seperti: air bersih untuk setiap kampung, pelayanan kesehatan (tidak ada puskesmas, petugas kesehatan yang ditempatkan tidak menempati posnya), penerangan listrik (baru beberapa kampung yang dilayani penerangan listrik dari usaha-usaha swadaya swasta), pengairan untuk persawahan (baik yang sederhana maupun bendungan agak besar untuk dapat membuka lahan persawahan seluas 200-300 HA). Sarana pelayanan kesehatan merupakan salah satu kebutuhan mendesak dan strategis dalam rangka pembangunan yang mengutamakan sumber daya manusia.

Selain sarana/prasarana itu masyarakat juga mengungkapkan kebutuhan untuk penyuluhan dalam berbagai bidang, khususnya menyangkut masalah-masalah pertanian dan pengembangan ekonomi (termasuk ketrampilan wanita dan kerajinan rumah tangga), kesehatan, dan hukum.

Para tokoh masyarakat juga mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan untuk jalan keluar dari berbagai kesulitan itu. Khusus untuk jalan raya, tidak lain harapan adalah perhatian dan tanggung jawab pemerintah. Dipertimbangkan pentingnya kerjasama masyarakat dan pemerintah dari ke-3 kecamatan: Seko, Limbong dan Sabbang untuk bersama-sama meminta perhatian serius pemerintah baik pada tingkat Kabupaten maupun Propinsi Sulawesi Selatan dan pemerintah pusat. Lebih baik lagi sekiranya pemerintah 3 kabupaten (Luwu Utara, Mamuju dan Tana Toraja) sama membuka jalan raya ke Seko di wilayah masing-masing.

Salah satu informasi yang perlu perhatian serius semua fihak adalah persoalan “tapal batas” antara Kecamatan Limbong dan Kecamatan Seko. Dewasa ini sejumlah orang dari daerah Rongkong Atas (Kec. Limbong) telah merambah hutan membuat kebun di sekitar Mabusa di daerah yang secara tradisional termasuk wilayah Seko, yakni melampaui gunung Tambembeng. Masalah ini perlu penangan serius karena tidak mustahil menjadi sumber konflik antara kedua sub-etnis. Pemerintah kabupaten, dan kedua kecamatan serta tokoh-tokoh masyarakat dan adat kedua fihak perlu duduk bersama membicarakan dan memutuskan soal ini secara damai.

Pendidikan yang Merana
Mengenai pendidikan, peserta berharap pada penanganan pemerintah yang bertanggung jawab.Warga masyarakat Seko telah berusaha mengembangkan pendidikan demi masa depan anak-anak Seko. Sejumlah Sekolah Dasar yang ada merupakan pengalihan sekolah-sekolah yang dahulu dibina Gereja Toraja (Yayasan Pendidikan Kristen Toraja, YPKT). Ketiga SMP semuanya diprakarsai masyarakat, demikian juga SMU yang baru dibuka. Kebutuhan akan gedung-gedung sekolah mungkin dapat diatasi dengan pendekatan bahan dan bangunan tradisional. Kecenderungan untuk memakai SBS (semen, batu, seng) perlu diatasi dengan mengandalkan kayu untuk tiang, papan dan atapnya. Mutu bangunan kayu tidak kalah, dan biayanya bisa jauh lebih murah. Pengadaan guru memang suatu masalah pelik, terutama karena mereka yang ditempatkan pemerintah tidak setia. Putra-putri daerah makin sedikit yang aktif karena yang ada telah mulai memasuki masa pensiun, sedangkan yang muda sulit menembus sistim penerimaan guru negeri yang tetap sarat KKN. Kemungkinan yang telah ditempuh adalah memanfaatkan para sarjana yang menganggur sebagai tenaga sukarela, yang dibayar seadanya, mungkin dengan natura (beras, kopi, dsb) atau dengan memakai para siswa sebagai tenaga kerja di kebun para gurunya(!) Kemampuan mereka sebagai guru dapat dipertanyakan, tetapi dapat pula diatasi dengan pembekalan-pembekalan seperlunya, misalnya melalui penataran-penataran.

Dalam kaitan itu, kebutuhan pendidikan masyarakat Seko bukan hanya pendidikan formal tetapi juga penyuluhan-penyuluhan yang membuka wawasan dan melengkapi mereka memasuki era persaingan. Pengembangan pendidikan menengah sebaiknya diarahkan pada sekolah kejuruan, seperti pertanian, pertukangan dan ekonomi, yang relevan dengan kebutuhan masyarakat Seko.

Usaha-usaha serius masyarakat untuk mengatasi kesulitan pendidikan dapat menjadi titik tolak untuk mencari uluran tangan dari luar. Demikian juga dalam bidang-bidang lainnya, seperti kesehatan, pertanian, penyuluhan, dsb. Upaya-upaya rintisan yang serius dari masyarakat sendirilah yang dapat menjadi dasar dari bantuan dan kerjsama fihak-fihak lain, termasuk pemerintah.

Penting untuk memperhatikan bahwa jika pendidikan tidak berhasil memajukan sumberdaya manusia masyarakat di Seko, maka ketika jalan raya mobil yang diharapkan terpenuhi ke Seko maka masyarakat bukannya akan membawa kemajuan melainkan akan memnyebabkan masyarakat setempat tersingkir. Berbagai kasus di tempat-tempat lain memperlihatkan bahwa jalan raya tidak membawa kemajuan melainkan menyingkirkan penduduk setempat akibat lemahnya sumber daya manusia sehingga kalah bersaing dengan para pendatang. Pemuka masyarakat dan pemerintah harus menghindarkan masyarakat Tanah Seko dari nasib buruk itu. Sehubungan dengan itu maka gagasan-gagasan mengenai transmigrasi ke Seko mungkin akan memberi jalan raya yang cukup baik, tetapi akan menimbulkan problema sosial, bahkan dapat menimbulkan konflik dengan penduduk setempat.


Prakarsa dan Persatuan
Jadi, titik tolak pemecahan masalah-masalah masyarakat Tanah Seko adalah inisiatif dari masyarakat sendiri mengatasi masalah-masalahnya atau memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, dengan memberi perhatian utama pada pengembangan sumber daya manusia (SDM). Adapun bantuan dari luar, termasuk upaya-upaya pembangunan oleh pemerintah bergantung pada kesungguhan dan kemantapan masyarakat. Dalam hal itu beberapa prasyarat harus dipenuhi: kekompakan, kejujuran, keterbukaan ... Dan dari sinilah seharusnya semua upaya dimulai, yakni mengembangkan kesatuan, persatuan dan kekompakan seluruh masyarakat Seko. Kearifan tradisional dalam ungkapan mesa’ kada dipotuo, pantan kada dipomate, perlu dihidupkan dalam kesadaran bahwa pada dasarnya kemajuan masyarakat Seko terpulang kepada dukungan bersama seluruh masyarakat terhadap prakarsa-prakarsa pembangunan itu. Untuk itu para pemimpin atau penganjur masyarakat haruslah memperlihatkan kejujuran pengabdiannya, bukan menunggangi kesulitan-kesulitan masyarakat untuk mencari untung bagi dirinya. Kembali kearifan leluhur kita perlu dihidupkan di sini: ma’penava malambu’, ma’ bulo lollong, ma’ tallang tang kebuku.

Masalah ini sungguh berat, mengingat dinamika sosial sejak pendudukan gerombolan DI/TII dan pengungsian serta meknisme sosial pemerintah Orde Baru memang melemahkan prakarsa rakyat dan menimbulkan fragmentasi sosial yang parah. Peran para pemimpin tradisional dikooptasi para pemimpin formal dalam mekanisme top-down (bergantung pada petunjuk atau kehendak dari para pejabat pemerintah), sementara para pemimpin agama (khususnya gereja) kehilangan visi peran sosialnya. Sebab itu suatu upaya memberdayakan masyarakat perlu digalang dengan membangkitkan kesadaran bahwa masa depan masyarakat Seko ada di tangan masyarakat sendiri. Abdul Rahman Sulli dalam pertemuan di dusun Adil mulai dengan mengutip promosi suatu iklan: “Kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi”.

Dalam hubungan itu maka harapan kita adalah prakrasa-prakarsa yang ada, misalnya di bidang pendidikan dengan adanya beberapa yayasan, perlu diperkembangan sebagai upaya bersama seluruh masyarakat, dan yang dijalankan dalam kesungguhan, keterbukaan dan kejujuran. Para pengurusnya harus bekerja sedemikian sehingga masyarakat mempercayai bahwa usaha itu benar bermanfaat bagi masa depan seluruh masyarakat, dan karena itu bersifat non-profit (tidak mencari keuntungan materil) dan penyelenggaraannya dapat dipertanggung jawabkan. Sekat-sekat sosial baik antar-kampung maupun antar-agama atau golongan harus ditiadakan. Inilah prinsip “bersama-sama membangun masa depan bersama”. Sifat dasarnya mestilah “dari masyarakat Seko oleh masyarakat Seko untuk masyarakat Seko seluruhnya”, yang kemudian dapat diperkembangkan menjadi “pelayanan dari dan oleh masyarakat Seko terhadap semua orang”.

Dengan pendekatan prakarsa masyarakat itu kita menempatkan pemerintah bukan sebagai penentu dari atas, melainkan partner (mitra) yang mempunyai tugasnya mendorong, mendukung, mengkoordinasi dan mengawasi serta mengarahkan aktivitas masyarakat. Seperti dicatat di atas, ada masalah-masalah yang memang mengharapkan prakarsa dan tanggungjawab pemerintah, seperti pembangunan jalan raya dan pengawasan mutu pendidikan serta penyediaan sarama pelayanan kesehatan.

Institut Advokasi
Sudah jelas bahwa usaha-usaha pembangunan yang diprakarsai masyarakat di Seko perlu mendapat dukungan baik dari pemerintah maupun dari masyarakat umum. Untuk itu perlu ada usaha-usaha menginformasikan baik prakarsa itu maupun masalah-masalahnya. Sekaligus pula diperlukan forum komunikasi dan pendampingan untuk pengembangan wawasan supaya semua yang dilakukan itu dapat saling mengisi dalam mewujudkan visi bersama. Untuk kebutuhan itu perlu dibentuk suatu wadah yang khusus menekuni masalah informasi, komunikasi dan advokasi masyarakat Seko, termasuk memberi rekomendasi bagi fihak-fihak mitra yang diharapkan dapat membantu prakarsa masyarakat Seko.

Dan bertolak dari tanggung jawab moral sebagai warga Seko kami bertiga (Tahir Bethony, Abdul Rahman Sulli, Zakaria J. Ngelow) dengan dukungan sejumlah tokoh masyarakat Seko di Makassar dan dari berbagai tempat lain sepakat membentuk suatu Yayasan dengan fungsi seperti itu. Anggaran Dasar yayasan yang diberi nama Institut Advokasi dan pendampingan masyarakat tanah Seko (INASEKO, ina = ibunda) telah dipersiapkan untuk memperoleh pengesahan hukum dari notaris dan instansi berwenang. Sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan pembangunan masyarakat Seko yang dikemukakan di atas, pokok-pokok kegiatan yayasan tersebut adalah sebagai berikut:


1. Mengumpulkan dan menyediakan berbagai data yang terkait dengan kebutuhan pembangunan masyarakat Tanah Seko.
2. Mengajukan masalah pembuatan/perbaikan jalan raya poros Sabbang-Seko, dan sarana-sarana pelayanan masyarakat lainnya, kepada pemerintah daerah Tkt. II Kabupaten Luwu Utara dan Tkt. I Propinsi Sulawesi Selatan, dalam kerjasama dengan pemerintah kecamatan Seko, Limbong dan Sabbang (dan pemerintah pusat serta jajaran lembaga kenegaraan terkait lainnya).
3. Mendorong masyarakat di Seko memprakarsai usaha-usaha bersama di bidang ekonomi-pertanian, air bersih, tenaga listrik, kesehatan, kerajinan, dll.
4. Mengusahakan dukungan finansil kepada Yayasan-yayasan atau usaha-usaha bersama masyarakat di Seko dalam berbagai bidang dari pemerintah, lembaga-lembaga agama, lembaga-lembaga swadaya dan perorangan di dalam dan di luar negeri.
5. Memfasilitasi penyuluhan-penyuluhan yang terkait dengan kebutuhan masyarakat di Seko, antara lain di bidang hukum, ekonomi, pendidikan, agama dan kebudayaan.
6. Mengupayakan pengadaan beasiswa bagi putra-putri Seko yang menuntut ilmu di perguruan tinggi.
7. Mengadakan pertemuan-pertemuan berkala masyarakat Seko di rantau maupun di Tanah Seko.

***


Makassar, 21 Maret 2001

Introduction to Seko

Dramatic History

Seko is a remote region in the northeast of Northern Luwu residency in South Sulawesi, Indonesia, where the two tributaries of Karama river, Uro and Betue, flow westwards to Makassar straits through Mamuju regency. The region is on the highland of the Verbeek mountains that divided South and Central Sulawesi, where Kambuno and Malimongan are two of its peaks. The word ‘seko’ means ‘close friend’ or ‘friendly’. Maybe the meaning refers to the character of the inhabitants, ToSeko.

The history of ToSeko is a dramatic story. From 1920-1970 ToSeko experienced a series of social changes of revolutionary character.
* In early 1920's the remote tribe was opened to world history through the works of Christian missionaries and teachers. Some basic schools were set up where children were taught and converted to Christianity.
* Less than two decades, in 1942, the community was invaded and forced by the Japanese troops to leave their traditional religion. Up to 95% chose Christianity (instead of Islam). They also ordered the youths to join a semi military training.
* Some months after the proclamation of Indonesian independence the national revolution reached Seko. The trained youths participated in the independence struggle. But many of them were captured and put to prison in Masamba or sent to Makassar and further to Nusakambangan (in Java). Some of them had to wait until 1950 before being released and returning home.
* But then another period of turbulence arose in the early 1950's when the Moslem rebel guerillas in South Sulawesi occupied Seko and forced the Christians to become Muslim. But most of the people escaped from their dear ‘homeland’ and lived as Christian refugees in neighboring regions for more than a decade. ToSeko organized youths to combat the guerilla intruders in several campaigns. They won at last, but the whole affair of 1951 to 1965 left more than 80 casualties among the ToSeko.
* In the late 1960s the situation got better and people could return to Seko. But some people preferred to stay in diaspora. There are ToSeko communities in Palolo and Omu (Palu valley, Central Sulawesi), in Tana Toraja and in Seriti (Southern Palopo). Recent migrations found new communities in some other places. It is estimated that the ToSeko consists of 30 to 40 thousand people. Half of them live in the Seko region, and the rest live in various places outside the region. Here in Makassar we are a small community of 54 families (more than 300 people including 76 students).

Three decades since 1970 under the New Order of the Suharto regime resulted in no progress for the people in Seko. There are no public facilities such as centers for community health or electricity. No economic infrastructures. No roads for modern transportation. Instead their natural resources were exploited. The old traditional values of community goods were degraded. The leaders adopted the submissive and paternalistic attitudes as they were developed by the corrupt regime. There were no initiatives nor vision for the future of the people. The situation has not changed much in this Reformation era of multidimensional crises.

But now, after the region has been given the new status as a district, instead of being subordinated to the neighboring district of Limbong (Upper Rongkong), the people are waiting for improvement. They keep asking for a road from Sabbang to Seko (80-90 km) and a relatively good quality of basic education for their children. Good transportation will help them to improve their life, especially their economic needs. They can have cheaper sugar and salt, rather than being forced to accept unfair barter with their coffee or spend a week travel on foot to purchase needs in Palopo or in Toraja.

Vision

The small community of ToSeko here in Makassar is deeply concerned about the future of our people. We work to provide a dormitory for our students. But we need a long time to realize it. A semi permanent dormitory of 6 rooms was dedicated on Christmas 1999, 21 years after being planned. Of course it is not enough to host all of our almost 80 students. We are still working to set up other rooms on the vacant ground of the dormitory.

Last month, an agreement to set up a foundation was settled and legalized by a notary. It is called in short INASEKO, Institute for Advocacy and Empowerment of ToSeko. In one of the Seko languages ‘ina’ means ‘mother’. As reflected in its name, InaSeko works for advocacy and empowerment. Our vision is community development based on self-initiative, leadership and solidarity of the people at the grass-roots. InaSeko motivates the people to struggle for their own needs and future. In other words, we educate our people to be qualified human resources of self-supported, creativity and solidarity. InaSeko tries to provide support for the people in their ongoing effort to improve their life. As for support, we employ the principles of self-reliance and cooperation: first their own initiative and contribution, then asking support from outside. InaSeko also concerned with the reality of pluralism. ToSeko, as a minor tribe, consists of three sub-tribes and, despite the fact that the majority of them are Christians, some ToSeko put their faith in Islam. Learning from the experience of ethnic and religious group conflicts in our nation in the last years, we promote reconciliation among all people.

We put InaSeko vision into programs of:

1. Facilitating meetings of ToSeko leaders to set up a common vision and promote activities of the community development.
2. Gathering and describing information on the problems, plans and activities of ToSeko communities.
3. Motivating ToSeko to develop their concern towards community development in the fields of education, religion, agriculture, health, trade unions, home industries, crafts, etc.
4. Supporting human resource development through diverse training.
5. Finding national and international partners or donors to support community development initiated by the people.
6. Supporting the continuation of the extension of the Seko student dormitory in Makassar.
7. Raising funds and distributing scholarships ToSeko students
8. Gathering statistical data of the Seko people.