Majelis Gereja Toraja Jemaat Sion, Eno (Seko Padang) |
Yo 2: 13 – 22
Khotbah pada kebaktian Hari
Minggu Prapaskah III, 4 Maret 2018
Dipersiapkan
untuk disampaikan di salah satu Jemaat di Seko Tengah, dalam rangka tugas
sebagai anggota Tim Kerja Sosialisasi Hasil Pertemuan Raya Masyarakat Seko
(Meli, Masamba, 2-4 Fabruari 2018) namun tidak sempat karena ada halangan.
Tetapi kemudian ditugaskan melayani di Gereja Toraja Jemaat Sion, Eno, Seko
Padang. Boleh disebut ini suatu “khotbah sulung”, karena merupakan kesempatan
pertama penulis melayani jemaat di Seko.
Zakaria J. Ngelow*
Pengantar: Tanah Seko Negeri
Para Martir Gereja
Saudara-saudara yang
dikasihi Tuhan Yesus. Saya ingin awali renungan Minggu Prapaskah ke-3 ini
dengan mengemukakan bahwa dalam perspektif sejarah gereja, Kekristenan Seko --
yang akan genap 100 tahun beberapa tahun lagi -- adalah Kekristenan di negeri
para martir. Martir (atau syahid) adalah orang yang dibunuh karena imannya.
Kampung-kampung Pohoneang,
Beroppa', Haunghulo, Lodang adalah situs, atau lokasi sejarah, para martir
Seko. Di Pohoneang dan Beroppa pembunuhan terjadi pada tahun 1953-54, sedangkan
di Haunghulo dan Lodang 10 tahun kemudian, pada tahun 1963.
Banyak lagi yang terbunuh
di tempat-tempat lain pada waktu yang berbeda-beda. Jumlahnya lebih 120 orang
laki-laki dan perempuan dalam daftar hasil penelitian yang pernah kami sempat lakukan
dan diterbitkan 10 tahun lalu. Darah Tuhan Yesus Kristus menyucikan kita dari
dosa, dan darah para martir memotivasi kita hidup dalam kesetiaan iman dan
pelayanan. Mereka menjadikan Kekristenan Seko teruji seolah-olah emas melalui
api.
Adakah yang sudah dilakukan
gereja di Seko untuk mengenang para martirnya? Sudah lama saya impikan ada
monumen yang dapat menjadi tanda, bahwa di negeri ini banyak orang tertumpah
darahnya dan kehilangan nyawanya karena kesetiaan imannya kepada Tuhan Yesus Kristus.
Saya menyebut monumen sebagai tanda, karena saya akan bicara tentang gedung
gereja sebagai tanda.
Info
· Sebagaimana dicatat dalam buku Masyarakat Seko Pada Masa DI/TII (1951-1965),
lebih seratus orang Seko dibunuh pada masa pendudukan DI/TII, termasuk Ds.
Pieter Sangka-Palisungan, Pendeta Gereja Toraja Resort Rongkong dan Seko, pada
bulan Oktober 1953 bersama beberapa martir lainnya di Malangke.
· Pada hari Minggu, tanggal 27 September 1953
gerombolan DI/TII menghukum mati dengan memancung delapan orang pemuda Seko di
Pohoneang (Seko Tengah), yang ditangkap karena berusaha meninggalkan Seko
ketika dipaksa masuk Islam.
· Pada bulan Juni tahun 1954 di Beroppa’ gerombolan
menghukum mati Guru Injil Paulus Rapa’ bersama delapan orang lain, yang
ditangkap di hutan karena melarikan diri. Sedang yang terbunuh dalam pengejaran
di hutan itu tujuh orang.
· Pada bulan September atau Oktober 1954 gugur
sebelas putera Seko dalam pertempuran melawan gerombolan DI/TII di Longa.
· Pada bulan Februari atau Maret 1963 gerombolan
menangkap dan membunuh Herman Batu Sisang, Kepala Distrik Seko di Pengungsian,
bersama 32 orang rombongannya, di kampung Haunghulo dan di kampung Lodang.
Bagian I Bait Allah Yahudi
Bait Allah sangat penting
bagi orang Yahudi, karena merupakan rangkaian dari 3 simbol kehadiran Allah di
tengah mereka sebagai umat Allah, yaitu Torat (firman Allah), Tanah Israel
dengan Kota Yerusalem, dan Bait Allah di dalamnya.
Pada abad ke-6 sM, kota
Yerusalem dihancurkan dan Bait Allah dijarah serta orang Yehuda dibuang ke
Babel. Mereka kehilangan Yerusalem dan Bait Allah, karena itu di Babel mereka
kembangkan pendalaman Torat dengan mendidik para Ahli Torat dan imam-imam,
supaya dapat mengajar umat mengenal Allah dan menaati firman-Nya. Mereka juga
diajar mencintai kota Yerusalem dan merindukan ziarah ke Bait Allah,
(sebagaimana diungkapkan dalam sejumlah teksa kitab Mazmur).
Setelah kembali dari
pembuangan, mereka mendirikan kembali kota Yerusalem dan membangun Bait Allah.
Demikianlah kehadiran Allah yang dikenal melalui Firman-Nya, dihayati dalam
ibadah bersama di Bait Allah, serta kehidupan sosial seisi kota Yerusalem,
bahkan seluruh bangsa.
Tetapi kemudian bangsa
Yahudi sekali lagi kehilangan Tanah Israel dan Bait Allah ketika pada tahun 70M
tentara Romawi di bawah Jendral Titus menghancurkan Bait Allah, dan mengusir
semua orang Yahudi dari, Tanah Israel, yang kemudian diduduki orang
Arab-Palestina. Baru pada tahun 1947 orang Yahudi mendirikan Negara Israel,
namun terus berkonflik memperebutkan kota Yerusalem. Sementara itu sejak tahun
681 penguasa Islam mendirikan Mesjid Al-Aqsa di bekas Bait Allah, yang berdiri
megah sampai sekarang. Orang Yahudi hanya menggunakan Tembok Ratapan, yaitu
dinding bekas Bait Allah, untuk berdoa (sambil menangis).
Bagian II Yesus dan Bait
Allah
Sesuai tradisi, di zaman
Tuhan Yesus Bait Allah dikunjungi orang Yahudi dari berbagai negeri perantauan,
khususnya pada hari raya, seperti Perayaan Paska Yahudi dan Pentakosta.
Karena orang selalu ramai
ke Bait Allah untuk beribadah dan membutuhkan berbagai keperluan ibadah seperti
hewan-hewan qurban. dan karena mereka datang dari berbagai negara, mereka
membawa mata uang yang berbeda-beda, sehingga perlu penukaran uang. Maka di
Bait Allah ramailah orang berjual-beli hewan qurban dan menukar uang.
Yohanes
2:14 (TB) Dalam Bait Suci didapati-Nya pedagang-pedagang lembu, kambing domba
dan merpati, dan penukar-penukar uang duduk di situ.
Yohanes
2:15-16 (TB) Ia membuat cambuk dari tali lalu mengusir mereka semua dari Bait
Suci dengan semua kambing domba dan lembu mereka; uang penukar-penukar
dihamburkan-Nya ke tanah dan meja-meja mereka dibalikkan-Nya. Kepada
pedagang-pedagang merpati Ia berkata: "Ambil semuanya ini dari sini,
jangan kamu membuat rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan."
Tuhan Yesus menentang
perdagangan di Bait Allah, bukanlah berarti bahwa orang Kristen tidak boleh
berdagang, melainkan karena perdagangan itu di Bait Allah merupakan pemaksaan
kepada umat. Agama dipakai memeras umat, yang dibacking oleh para pejabat agama.
Maka dalam Injil Matius 21:13 Yesus menyebut para pedagang sebagai penyamun:
"Ada tertulis: Rumah-Ku akan disebut rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya
sarang penyamun."
Selain menentang pemerasan itu,
Yesus mengusir para pedagang itu karena tempat mereka berjual beli di Bait
Allah itu adalah bagian yang dikhususkan bagi pengunjung yang bukan orang
Yahudi. Bagian dalam Bait Allah hanya bagi orang Yahudi. Dengan mengusir para
pedagang dari tempat itu, Yesus memberi tempat bagi para peziarah yang bukan
orang Yahudi, supaya orang asing itu belajar dan mengenal Allah dan
hukum-hukum-Nya. Nabi Yesaya menubuatkan orang akan berduyun-duyun ke Bait
Allah untuk belajar Firman Tuhan (lihat Yes 2:3, band. 51: 3-5).
Bagian III Memaknai Gedung
Gereja
Bagaimana menerapkan kisah Yesus
menyucikan Bait Allah ini? Kita bisa belajar dari orang Yahudi, yang menekankan
kehadiran Allah dalam pengenalan dan ketaatan kepada firman-Nya (Torat) dan
melalui ibadah di Bait Allah, yang merupakan pusat kehidupan persekutuan
seluruh masyarakat, dalam satuan yang kecil seperti kampung dan desa, sampai ke
seluruh bangsa bahkan umat manusia.
Singkatnya, Bait Allah
merupakan tanda adanya persekutuan orang yang mengenal Allah dan hidup dalam
ketaatan kepada firman-Nya, serta peduli dengan masalah yang dihadapi masyarakatnya.
Dalam pemaknaan ini, adanya
gedung gereja adalah tanda bahwa di tempat itu ada persekutuan jemaat, yaitu
orang-orang yang mengenal Allah dan menaati firman-Nya, serta peduli atau
melayani masyarakat umum.
Gereja bukan hanya
gedungnya, melainkan persekutuan yang hidup disekitar firman Allah yang
diberitakan di dalamnya. Sering kali ada gedung gereja yang dibangun mewah dan
mahal. Mungkin itu dapat dikritik sebagai penindasan kepada umat atas nama
agama. Sering pula di balik gedung hebat itu ada persekutuan yang penuh konflik
atau pementingan diri. Tidak ada pelayanan sosial kepada warga gereja dan warga
masyarakat yang membutuhkan. Pada hal panggilan gereja, sebagaimana juga umat
Allah dalam Alkitab, adalah menjadi berkat bagi segala bangsa. Jemaat yang hidup
dalam konflik, tidak saling melayani dan tidak melayani ke luar bersama-sama,
maka gedung gerejanya, sebenarnya reruntuhan.
Saya
percaya di sini, di negeri para martir Kristen, jemaat setia pada firman Allah
dan hidup saling melayani dan bersama-sama melayani masyarakat luas.
Amin
Bagian IV “Membangun dari
Reruntuhan”
(yang tidak disampaikan,
karena sudah agak panjang).
Tema pemberitaan pada Hari
Minggu Prapaskah III ini adalah “Membangun dari Reruntuhan”, yang dihubungkan
dengan sabda Yesus, “"Rombak Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan
mendirikannya kembali." (Yo 2:19)
Pengertian sabda ini telah
dijelaskan dalam ayat 21 dan 22,
“Tetapi
yang dimaksudkan-Nya dengan Bait Allah ialah tubuh-Nya sendiri. Kemudian,
sesudah Ia bangkit dari antara orang mati, barulah teringat oleh
murid-murid-Nya bahwa hal itu telah dikatakan-Nya, dan merekapun percayalah
akan Kitab Suci dan akan perkataan yang telah diucapkan Yesus.”
Tema “Membangun dari
Reruntuhan” memberi perspektif yang terkait dengan kehidupan jemaat, bahwa
dalam Kristus yang bangkit dari kematian, gereja selalu punya harapan, juga
ketika menurut ukuran dunia orang tidak berdaya lagi. Juga ketika kematian
seolah-olah menang, ketika kekerasan, kejahatan atau kebodohan tidak bisa
diatasi. Orang Kristen tetap percaya bahwa Allah bekerja mengubah, mengarahkan
dan membuat terobosan ketika semua jalan seolah buntu. Begitulah kematian yang umumnya
diterima sebagai akhir kehidupan, ternyata dalam Kristus dapat dilampaui.
Kebangkitan bukan kembali ke dalam kehidupan sehari-hari, melainkan hidup
melampaui kematian. Kata Paskah berarti melewati. Kalau kematian itu seakan sungai
besar yang mengakhiri kehidupan, kebangkitan adalah jembatan menyeberanginya.
Maka bagi gereja, “Membangun
dari Reruntuhan” bermakna menyambut kemenangan Kristus untuk menghidupkan
harapan ketika orang seolah tidak berdaya lagi. Dan sesuai panggilannya, gereja
menabur harapan di mana ada keputusasaan. Maka gereja hidup mengikuti doa
terkenal dari St. Fransiskus Asisi:
Gereja adalah
pembawa damai.
Bila terjadi
kebencian, membawa cinta kasih.
Bila terjadi
penghinaan, membawa pengampunan.
Bila terjadi
perselisihan, membawa kerukunan.
Bila terjadi
kesesatan, membawa kebenaran.
Bila terjadi
kebimbangan, membawa kepastian.
Bila terjadi
keputus-asaan, membawa harapan.
Bila terjadi
kegelapan, membawa terang.
Bila terjadi
kesedihan, membawa sukacita.
Ada banyak tantangan yang
dihadapi masyarakat, di mana gereja harus berfungsi memikirkan dan juga
melakukan pelayanan yang tepat.
Tadi saya mulai renungan
ini dengan menanyakan adakah perhatian gereja kepada para martirnya, yang baru
sekitar 50 tahun lalu terbunuh. Pertanyaan selanjutnya, apakah yang diperbuat
gereja terhadap masyarakat Seko selama dan setelah pengungsian? Apakah gereja
sempat membangun dari reruntuhan
masyarakat Seko?
Khusus di Makki (Karataun)
dan Karama, saya tahu yang dilakukan sendiri para pemuka masyarakat, pemerintah
dan gereja bagi masyaraklat Seko pengungsi masa itu: mererka mengumpulkan yang
tersebar berhamburan di berbagai tempat, dan mengatur supaya setiap kelompok
kampung dari Seko tetap berkelompok di pengungsian, supaya pemerintahan dan
kehidupan jemaat tetap berjalan normal, ditambah dengan aspek penting: ada
sekolah dasar (SR waktu itu) di setiap kampung. Dan untuk menjaga keamanan,
suatu organisasi keamanan dibentuk dengan susunan dan tugas yang jelas.
Apa yang dilakukan gereja
sejak kembali dari pengungsian sampai sekarang, biarlah menjadi bahan kajian
orang terpelajar Seko maupun ahli dari luar. Tetapi sekarang kita perlu
bertanya, apa yang difahami gereja mengenai keadaan masyarakat Seko dewasa ini,
dan apa yang perlu dilakukan gereja menghadapinya? Misalnya,
perusahaan-perusahaan besar akan masuk Seko; demikian juga jalan raya akan
lebih baik dan lebih lancar. Banyak orang dari luar akan datang cari hidup di
Seko. Tantangan (atau peluang) apa yang dilihat gereja pada perkembangan itu?
Apa yang perlu dipersiapkan gereja menghadapi perkembangan itu? Ada banyak hal
dapat dipikirkan. Sebagai satu contoh kita sebutkan pendidikan. Apakah
pendidikan Kristen (Sekolah Minggu, Katekisasi, Katekisasi Pranikah, Pembinaan)
diselenggarakan dengan mengantisipasi perkembangan-perkembangan itu, supaya
anak-anak kita teguh dalam imannya serta setia menyaksikan Injil dan kehidupan
Kristen? Bagaimana gereja mendukung pendidikan umum (SD, SMP, SMA, sampai
perguruan tinggi) untuk mengembangkan SDM yang bermutu dan dapat diandalkan menghadapi
berbagai perkembangan Seko dalam 5 - 15 tahun ke depan? Mudah-mudahan sudah dan
terus ada perhatian gereja terhadap dunia pendidikan. Misalnya mendirikan dan
menambah koleksi buku-buku dan bahan-bahan belajar lainya.
“Membangun dari Reruntuhan”
tidak harus menunggu hancur dulu, melainkan bisa juga dalam pendekatan sedia
payung sebelum hujan.
Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar